tirto.id - Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian ESDM belum serius dalam memberantas korupsi di sektor tambang.
"KPK kurang progresif mencegah sekaligus memberantas praktik korupsi di [sektor] sumber daya alam, terutama di pertambangan,” kata Melky di Jakarta, pada Minggu siang (11/11/2018).
“Selama ini, catatan penting kami [...] pemberantasan dan pencegahan korupsi di sektor sumber daya alam yang diinisiasi oleh KPK sifatnya masih administratif," dia menambahkan.
Menurut Melky, seharusnya KPK bisa lebih gesit dalam menyasar praktik korupsi di sektor tambang yang melibatkan korporasi, pejabat pemerintahan maupun aparat penegak hukum. Dia berpendapat banyak laporan warga yang semestinya bisa ditindaklanjuti oleh KPK.
Dia berharap, KPK bisa melangkah lebih maju dalam memberantas korupsi di sektor pertambangan dan sektor industri ekstraktif lainnya dengan berfokus pada pelaku dari kalangan korporasi dan pejabat negara.
"Karena jika KPK hanya fokus ke administratif saja, untuk konteks pencegahan misalnya, bagi kami tidak cukup," kata dia. "Karena problem kita hari ini, hukum-hukum itu pun selalu saja dikangkangi."
Jatam memang sejak lama menyoroti indikasi korupsi pada penerbitan izin pertambangan di sejumlah daerah. Pada Mei lalu, organisasi ini menemukan ada ratusan Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) baru yang terbit menjelang Pilkada Serentak 2018. Koordinator Jatam, Merah Johansyah mencatat, sampai Mei 2018, terdapat 171 izin tambang di berbagai daerah yang terbit sejak 2017. Dia khawatir obral izin tambang ini menjadi sumber pendapatan politik bagi Calon Kepala Daerah.
Kekhawatiran itu beralasan mengingat, berdasar laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK berjudul "Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015", ongkos menjadi wali kota atau bupati mencapai Rp20-30 miliar, sementara untuk gubernur Rp20-100 miliar. Di sisi lain, KPK menaksir harta kekayaan calon kepala daerah pada Pilkada 2015 rata-rata hanya Rp6,7 miliar.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Addi M Idhom