tirto.id - Pemerintah Kabupaten Cirebon mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tiga tahun secara berturut-turut dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Predikat “kinclong” di bawah kepemimpinan Sunjaya Purwadisastra ini terakhir kali diberikan pada Mei 2018. Singkatnya, Pemkab Cirebon dianggap bersih dari praktik menyelewengkan APBD.
Akan tetapi, berselang lima bulan setelah predikat WTP didapatkan, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra ternyata terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (24/10/2018). Keesokan harinya, Sunjaya resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap jual-beli jabatan dan gratifikasi terkait proyek di lingkungan Pemkab Cirebon.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, Sunjaya merupakan kepala daerah ke-19 yang diproses komisi antirasuah melalui OTT pada 2018. Dia juga tercatat sebagai kepala daerah ke-100 yang diproses KPK selama ini.
Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik Piliang menyatakan, banyak motif tindakan korupsi yang sering dilakukan kepala daerah untuk mengakali pengeluaran mereka sebelum terpilih. Salah satunya adalah korupsi pengadaan barang dan jasa serta permainan dana hibah di APBD.
Namun, kata Akmal, penyelewengan APBD ini tidak menjadi pilihan utama. Menurut dia, kepala daerah yang nakal lebih sering bermain di masalah perizinan. Jika mereka tak mempunyai sumber perizinan, maka target selanjutnya baru APBD dan jual-beli jabatan serta mutasi. Di APBD, kepala daerah juga sering memainkan soal dana hibah dan perjalanan dinas.
“Ini yang kami catat dan yang terbanyak itu adalah mutasi dan perizinan,” kata Akmal di Jakarta, Sabtu (27/10/2018).
Menurut Akmal, hal itu terjadi karena kepada daerah memiliki wewenang yang cukup luas. Karena itu, kata Akmal, pihaknya telah berusaha mempertegas regulasi yang dikeluarkan. Setiap tahun, misalnya, Kemendagri mengeluarkan pedoman umum untuk menyusun APBD.
Dalam pedoman itu, kata Akmal, diatur juga soal pemberian izin. Akan tetapi, hal itu ternyata tidak cukup efektif menyelesaikan masalah karena substansi di dalam izin tersebut tidak diatur Kemendagri, melainkan diberikan sepenuhnya kepada kepala daerah.
“Persoalannya dia kan ada otoritas untuk menentukan berapa luas yang diberi izin. Kan itu otoritas kepala daerah, tapi aturan kami buat adalah ketika Anda membangun, ini ada izinnya, semua dilalui. Cuma terkait kuantitas, itu kan haknya kepala daerah sebagai pemilik aset,” kata Akmal berdalih.
Tidak Ada Solusi Pasti
Namun demikian, Akmal memastikan penangkapan kepala daerah yang terlibat korupsi ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa pengawasan kepala daerah lebih buruk dari tahun ke tahun. Akmal mengklaim tren korupsi turun dibanding tahun-tahun sebelumnya meskipun sepanjang 2018 sudah terdapat 19 kepala daerah yang menjadi pesakitan KPK.
Akmal merasa penangkapan secara massif oleh KPK ini juga sebagai bentuk keberhasilan penegak hukum. “Apakah keberhasilan pengungkapan itu sebuah kegagalan? Belum tentu. Ini dimaknai juga sebuah keberhasilan kita,” kata Akmal.
Buntunya solusi pengawasan dari Kemendagri membuat polemik lama soal pemilihan kepala daerah kembali muncul. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menyatakan, ia lebih setuju sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.
Dengan begitu, Prijanto berpandangan kepala daerah tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk berkampanye dan juga dana saksi. Harapannya, kata dia, tren korupsi untuk mengembalikan modal kampanye saat pilkada dapat dikendalikan.
“Saya sebenarnya belum jawab siapa yang salah, tapi memang ini karena sistem yang buruk dalam pilkada,” kata Prijanto.
Sebaliknya, ahli hukum tata negara dari Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono justru tidak yakin solusi yang ditawarkan Prijanto menyelesaikan masalah. Bisa jadi, kata dia, calon kepala daerah akan berlomba-lomba merebut hati anggota DPRD dengan janji-janji politik daripada janji kepada rakyat daerahnya.
“Nanti saya yakin [kriterianya adalah] bagaimana dia [calon kepala daerah] menservis anggota DPRD agar dia terpilih,” kata Bayu.
Partai Mesti Tanggung Jawab
Sementara itu, Ketua DPP Partai Perindo Wibowo Hadiwardoyo mengatakan, terlepas dari pilkada langsung dan tidak, partai pengusung kepala daerah yang bersalah karena korupsi patut bertanggung jawab. Selama ini, bila ada kepala daerah yang tertangkap karena korupsi, partai terkesan lepas tangan. Padahal partai harusnya memilih kader yang mempunyai integritas sejak awal.
Wibowo menganggap partai harus bertanggung jawab, terutama orang-orang yang membantu kepala daerah yang korupsi mendapatkan jabatannya. Bila perlu, kata dia, hukuman bagi koruptor dan yang ikut andil di dalamnya harus diperberat.
“Kalaupun sampai hukuman mati, ya tentu ada syarat-syaratnya, tapi kalau memang harus begitu untuk skala tertentu, ya silakan saja,” kata dia, dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu kemarin.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. Menurutnya partai harus membuat sistem pengkaderan yang lebih ketat demi mencegah korupsi dari anggotanya sendiri.
Selama ini, kata dia, dana kampanye dan saksi dibebankan kepada calon, belum lagi apabila ada mahar politik yang harus ditebus. Pengeluaran yang besar ini memicu kader partai yang menjadi kepala daerah mencari cara untuk mengembalikan modal politiknya.
“Saya enggak percaya korupsi akan berhenti jika tidak ada pembenahan sistem itu,” kata Robert.
“Selagi sumber pendanaan partai tidak jelas, berarti kan andalannya dari kader mereka. Mereka [kader] akan mendapat dana dari cara-cara normal atau di luar itu?” kata dia mempertanyakan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz