Menuju konten utama

Pilkada Langsung atau Tidak, Bukan Penentu Kepala Daerah Bersih

Pilkada tidak langsung juga mempunyai potensi korupsi antar anggota DPRD dan calon kepala daerahnya bila nanti terpilih.

Pilkada Langsung atau Tidak, Bukan Penentu Kepala Daerah Bersih
Petugas KPUD Kabupaten Temanggung menulis di papan saat rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil perhitungan suara Pilkada Serentak 2018 di Pendopo Pengayoman, Temanggung, Rabu (4/7/2018). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

tirto.id - Persoalan pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui cara langsung dan tidak langsung kembali mencuat. Hal ini muncul setelah dua pekan belakangan dua kepala daerah ditangkap KPK karena menerima suap.

Ahli hukum dari Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Bayu Dwi Anggono menyatakan pelanggaran hukum kepala daerah tidak ditentukan dari Pilkada langsung ataupun tidak langsung.

Dia menilai Pilkada langsung memunculkan potensi korupsi dari kepala daerah. Tapi Pilkada tidak langsung dengan cara pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga mempunyai potensi korupsi antar anggota DPRD dan calon kepala daerahnya bila nanti terpilih.

“Karena itu yang harus kita benahi adalah bagaimana menciptakan Pilkada dengan biaya yang murah,” tegas Bayu di Cikini, Jakarta, Sabtu (27/10/2018).

Bayu berpendapat, partai politik harus menghentikan praktik meminta mahar politik kepada kadernya yang ingin maju sebagai pimpinan daerah.

Meski tak bisa membuktikan, Bayu meyakini mahar poltik itu ada karena dari berbagai kasus pelanggaran kepala daerah. Motivasi mereka melanggar hukum untuk mengembalikan uang sebelum mereka menjadi kepala daerah.

“Bawaslu tidak mampu membuktikan itu karena berbagai faktor. Alasannya sulit membuktikan dan sebagainya, tapi orang meyakini mahar politik itu ada,” katanya.

Menurut Wasekjen Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono, memang masalahnya bukan pada Pilkada langsung atau tidak langsung tetapi lebih kepada integritas kepala daerah.

Sementara itu Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Wibowo Hadiwardoyo menyebut bahwa partai pengusung juga bertanggung jawab atas kelakuan kepala daerah yang mereka usung di pemilihan umum kepala daerah.

“Jadi misalkan si A melakukan korupsi, orang yang di sekitar situ kena juga. Dengan begitu mereka saling menjaga,” kata Wibowo di Cikini, Jakarta, Sabtu (27/10/2018).

Seharusnya hal ini juga yang dilakukan oleh penegak hukum. Wibowo merasa penegak hukum termasuk sistem peradilan belum berani menyasar kepada partai-partai pengusung. Alternatif lain yang ditawarkan agar kepala daerah tidak korupsi adalah dengan memberi hukuman seberat-beratnya.

“Jadi kalau ada ancaman hukuman 18 tahun, ya 18 tahun. Kalau memang lebih dari itu ya sesuai dengan berapa yang dia korupsi,” tegas Wibowo lagi.

Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kabupaten Cirebon Sunjaya Purwadisastra menjadi tersangka. Dengan ini, berarti Sunjaya menjadi kepala daerah ke-100 yang pernah dijadikan tersangka oleh KPK.

Baca juga artikel terkait KORUPSI KEPALA DAERAH atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Irwan Syambudi