tirto.id - Salah satu pernyataan menarik, tapi kurang dielaborasi oleh Sandiaga Salahuddin Uno ketika debat Pilpres 2019 tadi malam (17/3/2019) adalah janji meliburkan anak sekolah selama Ramadan. Disebut kurang elaboratif karena dia hanya menyatakan itu dalam sepenggal kalimat di segmen 6.
"... Memberikan liburan di bulan Ramadan, meneruskan program yang pernah dijalankan Gus Dur," kata Sandiaga.
Program libur sebulan penuh memang pernah dijalankan di era Presiden Abdurrahman Wahid (masa jabatan 20 Oktober 1999-23 Juli 2001). Mengutip Historia, kebijakan serupa juga dijalankan pemerintah sebelum era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Daoed Joesoef. Lewat SK Menteri P&K Nomor 0211/U/1978, dia menghapus libur puasa sebulan penuh jadi beberapa hari saja.
Kebijakan ini sebetulnya dikritik Majelis Ulama Indonesia. Namun, Daoed bersikeras dengan pendiriannya itu.
Dalam pertemuan dengan delegasi MUI, 16 Mei 1978, Daoed beralasan libur puasa anak sekolah itu kebijakan pembodohan dari pemerintah kolonial kepada bangsa Hindia Belanda yang beragama Islam. Daoed ingin anak-anak Indonesia belajar lebih keras untuk mencapai mutu intelektual yang lebih tinggi dari masa sebelumnya.
Libur Sebulan Penuh ala Sandiaga
Beberapa hari sebelumnya, di Hotel Sultan, Jumat (15/3/2019) malam, Sandiaga sempat mengatakan kalau meliburkan anak sekolah di bulan puasa salah satunya agar mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Menurut Sandi, membangun kedekatan dengan keluarga menjadi sangat penting dalam era digital seperti sekarang.
"Mereka [anak-anak] banyak waktunya habis di gadget. Ini juga kesempatan untuk mendekatkan mereka [anak-anak dan anggota keluarga lain]. Membangun karakter yang kuat, karakter yang ber-akhlakul karimah," kata Sandiaga.
Sementara Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan meski libur, tapi anak-anak tetap akan diminta berkegiatan, misalnya ikut pesantren kilat. Sementara penganut agama lain akan diarahkan untuk banyak belajar di lembaga pendidikan agama masing-masing.
"Semangatnya adalah pembelajaran toleransi. Jadi satu bulan itu bulan pendidikan akhlak. Pendidikan agama. Bukan cuma pendidikan Islam," katanya.
Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia, Santi Kusumaningrum, menilai kebijakan itu kurang tepat, bahkan tidak nyambung dengan tujuan yang disebut.
"Toleransi itu sikap yang dibangun dari intuisi, lalu penilaian, dan baru nalar. Yang pasti, satu bulan libur dan 'belajar toleransi' tidak bisa menginternalisasi ini," kata Santi kepada reporter Tirto.
Menurutnya jika memang tujuannya adalah membangun karakter toleran, maka yang diperlukan adalah kebijakan yang sistemik. Dan libur sebulan lebih, kata Santi, tak lebih dari sekadar "kosmetik."
"Buat saya ini lagi-lagi rencana kebijakan populis yang tidak jelas untuk memecahkan masalah apa," kata Santi.
Di sisi lain, Santi menilai ada banyak masalah lain di sektor pendidikan yang sayangnya luput dari pembahasan.
"Banyak riset... yang mengindikasikan rendahnya luaran pembelajaran anak-anak kita, rendahnya kemampuan literasi, matematika, dan sebagainya. Itu menandakan ada yang salah dengan kualitas pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Lalu apa kebijakan lain yang ditawarkan untuk mengatasi itu?" kata dia mempertanyakan.
Hanya Berlandaskan Definisi Sempit
Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Najelaa Shihab menilai serupa. Ia bilang, justru meliburkan siswa dan meminta mereka belajar di lembaga pendidikan agama masing-masing tak menyentuh substansi masalah.
"Ibadah di bulan Ramadan bukan hanya mengaji atau ritual rutin seperti kegiatan pesantren, tetapi termasuk memahami pengetahuan, berkontribusi pada berbagai aspek kehidupan, dan lainnya. Jadi justru kita perlu melatih anak aktivitas Ramadan yang lebih utuh, termasuk dengan jadwal sekolah dan bekerja biasa dalam semangat beribadah," kata Najelaa kepada reporter Tirto.
Najelaa menambahkan: “tidak perlu sebulan penuh mempersempit definisi ke-Islaman hanya dengan ilmu berlabel Islam, karena kegiatan belajar berkait alam, olahraga, seni, sosial dan lainnya pun Islami.”
Najelaa menilai, justru saat bulan puasa, anak-anak yang berbeda agama perlu ditemukan secara bersama-sama agar praktik toleransi lebih terasa.
“Toleransi sesuatu yang perlu ditumbuhkan, bukan saja dari yang tidak puasa ke yang berpuasa, tetapi juga sebaliknya. Termasuk ada yang berpuasa dan ada yang tidak tapi saling menghormati bahkan mempermudah pengalaman masing-masing, justru akan jadi pelajaran luar biasa,” kata dia.
Karena itu, kata Najelaa, jika ingin program pendidikan baik, maka perlu berpikir lebih dari sekadar kegiatan sekolah atau memodifikasi kurikulum.
“Karena proses pendidikan terjadi sehari-hari di banyak konteks,” kata dia.
Editor: Abdul Aziz