tirto.id - Salah satu tema debat Cawapres 2019 putaran ketiga antara Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno adalah pendidikan. Pertanyaan yang diajukan panelis kepada kedua cawapres adalah soal komitmen mereka tentang upaya peningkatan riset, demi membangun masyarakat berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.
Panelis memang mengawali pertanyaannya dengan kalimat “Pendapatan domestik bruto Indonesia diprediksi menempati posisi 5 besar dunia pada tahun 2045”, dan untuk mencapainya mensyaratkan salah satunya pembangunan berbasis riset, maka kedua cawapres menjawabnya dengan riset-riset yang ujung-ujungnya pada kepentingan praktis atau dunia industri.
Sandiaga mengatakan, sejumlah riset yang telah dilakukan tidak tersambung atau tidak sinergis dengan yang dibutuhkan oleh dunia usaha. Persoalan riset memang tak hanya soal alokasi anggaran, yang nyatanya memang Indonesia jauh tertinggal.
Pada 2018, Indonesia hanya membelanjakan uang senilai $2,1 miliar sebagai modal riset dan pengembangan (R&D). Nilai itu, setara dengan 0,1 persen PDB Indonesia. Ini berdasarkan data UNESCO Institute for Statistics (UIS) yang menghitung total pengeluaran riset pemerintah, swasta, dan kampus. Yang menarik, anggaran riset sektor bisnis atau swasta lebih kecil dari pemerintah.
“Di bawah Prabowo-Sandi, bukan hanya besaran jumlah riset dan teknologi fund, tapi kita akan pastikan juga pengalokasiannya sinergis dengan dunia usaha juga dengan sistem akademisi,” imbuhnya.
Ia mengatakan, dirinya pernah mengelola dana riset dan teknologi, dan menurutnya ia melihat banyak anak-anak muda Indonesia yang memiliki kemampuan menciptakan sejumlah terobosan di bidang pertanian.
“Kita bisa meningkatkan produktivitas jika kita memastikan bahwa pupuk organik dengan kualitas terbaik hasil riset dan teknologi anak bangsa diberikan, sehingga harga bahan pokok kita akan turun,” ucapnya.
Ia yakin, riset yang berbasis revolusi industri 4.0 yang bersinergi dengan ekonomi kreatif pada akhirnya akan memberikan kepastian terhadap kebutuhan lapangan kerja generasi muda.
Kondisi seperti itu, tambahnya, bukan hanya akan menempatkan Indonesia pada lima besar dunia sebagai negara dengan berpendapatan bruto tertinggi pada tahun 2045, tapi juga akan benar-benar mampu menciptakan peluang kerja bagi seluruh warganya.
Sementara jawaban Ma’ruf Amin pun tak jauh berbeda, sama-sama normatif. Mula-mula ia mengutarakan bahwa ke depan seandainya terpilih, pasangan Jokowi-Ma’ruf akan membentuk Badan Riset Nasional agar semua kegiatan riset berada dalam satu koordinasi. Ia juga menjanjikan soal dana abadi riset.
Namun, pendapatnya ini buru-buru ditanggapi oleh Sandiaga dengan mengatakan bahwa penambahan lembaga riset hanya akan menambah birokrasi dan nirfaedah. Setelah itu, Sandiaga lagi-lagi menyampaikan, hasil riset harus berguna praktis dengan bisa dipakai oleh dunia usaha sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para periset.
“Sekarang ini risetnya, hasilnya tidak digunakan malah menumpuk dan mengumpulkan debu, kita pastikan mereka juga mendapatkan kesejahteraan yang baik dan hasil risetnya bisa dipakai oleh dunia usaha,” kata Sandiaga.
Usai mendapat sanggahan, Ma’ruf Amin mencoba meluruskan, pembentukan Badan Riset Nasional bukan berarti menambah lembaga riset, melainkan menyatukan semua lembaga riset yang telah ada. Lalu setelah itu ia menyampaikan sesuatu yang sama persis dengan yang dikatakan Sandiaga bahwa riset harus berkaitan dengan industri.
“Bahwasanya kita juga memang merencanakan untuk mengikutsertakan semua pihak terutama pemerintah, akademisi dan DUDI, artinya dunia usaha dan dunia industri,” ungkapnya.
Pemaparan kedua cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno tentang riset yang menjadi basis ilmu pengetahuan, tapi selalu dikaitkan dengan dunia usaha dan industri, memberikan kesan soal pemahaman yang menyeluruh.
Keberhasilan riset seperti yang disampaikan oleh Sandiaga dan Ma’ruf Amin, pada akhirnya hanya diukur oleh dipakai atau tidaknya hasil riset tersebut oleh dunia industri. Berfaedah atau tidaknya hanya ditakar oleh kemampuannya menciptakan lapangan kerja yang akan membawa pada kesejahteraan. Tak ada narasi tentang pengayaan wacana, pembentukan lanskap pengetahuan yang komprehensif, dan lain-lain.
Dalam imajinasi seperti itu, riset ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti misalnya filsafat, bahasa, sastra, seni, dan sejarah—karena dinilai tidak berguna praktis bagi dunia industri yang dibangun oleh perhitungan untung-rugi—bisa menjadi anak tiri yang tersisihkan.
Sebagai contoh, hasil-hasil riset bidang sosial-humaniora yang dipublikasikan dalam sejumlah buku, dan biasanya terdapat di toko-toko buku besar dengan harga yang sangat terjangkau, cukup banyak yang pendanaannya disokong oleh luar negeri, antara lain Departemen Luar Negeri Perancis lewat Institut français di Indonesia. Selain itu, para penulis dan penyuntingnya pun banyak dilakukan oleh orang asing.
Dalam data yang dihimpun oleh Scimago Journal & Country Rank, publikasi internasional Indonesia sepanjang 1996-2014, bidang ilmu sosial hanya menempati urutan 7 dari 10 kategori tema bidang riset. Angkanya hanya 2.548 riset, jauh dari peringkat pertama yang ditempati oleh bidang teknik atau rekayasa yang mencapai 7.261 riset.
Pada prioritas riset nasional tahun 2017-2019 yang didanai oleh pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), anggaran dana riset yang difokuskan pada Sosial-Humaniora hanya sebesar 25,96 persen dari total anggaran.
Dalam Rencana Induk Nasional Tahun 2017-2045 edisi 28 Februari 2017 yang diterbitkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, pada skenario alokasi anggaran periode 2017-2019, fokus riset bidang Sosial, Humaniora, Seni Budaya dan Pendidikan ternyata angkanya juga paling kecil.
Sembilan teratas berdasarkan besaran jumlah skenario anggaran dihuni oleh bidang Pangan-Pertanian; Kemaritiman; Energi-Energi Baru dan Terbarukan; Kesehatan-Obat; Transportasi; Pertahanan dan Keamanan; Kebencanaan; Teknologi Informasi dan Komunikasi; serta Material Maju.
Apa yang disampaikan oleh Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno dalam debat putaran ketiga pada Minggu (17/3/2019) tentang kebijakan riset yang mereka tawarkan, memang senapas dengan yang sudah direncanakan pemerintah. Bidang sosial-humaniora seolah tidak begitu penting dalam imajinasi semesta pembangunan.
Para kandidat terlampau fokus pada capaian pendapatan bruto Indonesia yang diprediksi akan menempati posisi lima pada tahun 2045. Padahal, bidang sosial-humaniora yang rata-rata tidak terkait langsung dengan dunia industri adalah tentang bagaimana karakter bangsa ini dibangun.
Semua tema riset pada bidang Pertahanan dan Keamanan misalnya, hanya fokus pada pengembangan teknologi alat utama sistem senjata (alutsista). Tak satu pun yang fokus pada persoalan ancaman yang bersifat laten, seperti misalnya meningkatnya gejala radikalisme atau intoleran yang semakin masif. Pada kenyataannya masalah-masalah itu sedang terjadi.
Editor: Suhendra