tirto.id - Konflik antara warga dan perusahaan terkait tambang nikel kembali pecah di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara (Sultra), pada Selasa (9/7/2019) lalu.
Koalisi LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menduga ada keterlibatan purnawirawan jenderal Polri dan aparat kepolisian dalam konflik tersebut.
"Dari penelusuran dokumen 6 perusahaan tambang yang kini mulai beroperasi lagi tersebut, Jatam menemukan sejumlah nama purnawirawan jenderal kepolisian, elite politisi, dan pengusaha," kata Direktur Kampanye Jatam Melky Nahar di kantor KontraS, Jakarta pada Jumat (12/7/2019).
Melky menjelaskan, keterlibatan purnawirawan jenderal di perusahaan tambang tak hanya terjadi di Wawonii. Menurut dia, para pensiunan jenderal juga terlibat di banyak perusahaan tambang lain yang beroperasi di Indonesia.
"Keterlibatan purnawirawan ini kami bacanya agak lain, kami baca dalam konteks keamanan untuk meredam resistensi dari masyarakat lokal," ujar Melky.
Konflik tambang di Pulau Wawonii berawal saat PT Gema Kreasi Perdana hendak menerobos lahan warga untuk memasukkan alat berat dan memulai proses penambangan. Proses ini berlangsung dengan kawalan aparat kepolisian.
Upaya ini kemudian mendapat perlawanan berupa penghadangan oleh warga setempat. Sampai saat ini, warga masih berjaga-jaga mengantisipasi alat berat kembali menerobos lahan warga.
Padahal, pada Maret 2019, Gubernur Sultra Ali Mazi telah mencabut izin 9 perusahaan tambang di Pulau Wawonii. Sementara izin 6 perusahaan lainnya dibekukan sementara. Izin PT Gema Kreasi Perdana termasuk salah satu yang dibekukan.
"Kini 6 izin yang telah dibekukan akan beroperasi lagi dan sudah mulai kembali masuk ke Wawonii, mendatangkan karyawan dan alat berat dan diduga dibacking pemerintah provinsi hingga kepolisian," kata Melky.
Peneliti KontraS Rivanlee Anandar pun mengaku menemukan keterlibatan polisi dalam mengawal praktik penambangan emas di Pulau Romang, Maluku. Menurutnya, pola yang terjadi di Pulau Wawonii mirip dengan yang terjadi di Pulau Romang.
"Model pola yang terjadi adalah polisi selalu ikut ke mana pun buldozer pergi atau di mana alat-alat tambang itu ada. Jadi dia di tempat atau di lingkaran tertentu dan selalu dijaga minimal dua brimob dengan senjata laras panjang," ujar Rivanlee di kantor KontraS pada hari ini.
Keterlibatan aparat kepolisian dalam praktik pertambangan, jelas Rivanlee, didasari oleh MoU antara Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Polri tahun 2017 yang intinya soal jaminan keamanan untuk berinvestasi di Indonesia.
Selain itu, ada pula Keppres Nomor 63 tahun 2004 yang mengatakan pengamanan objek vital nasional bisa didukung oleh satuan kepolisian di daerah tertentu. Namun, UU Polri tidak menjelaskan soal pendanaan operasional pengamanan.
"Jadi apakah operasi keamanan yang berlansung di pertambangan atau kegiatan ekstraktif lainnya apakah itu masuk ke kas-nya institusi atau kantong personal? Itu memang yang tahu hanya polisi dan jajarannya," ujar Rivanlee.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Addi M Idhom