tirto.id - Prabowo mengklaim menang Pilpres 2019. Ia mendeklarasikan diri sebagai Presiden Indonesia pada Rabu malam, 17 April 2019. Pendukungnya berkumpul, mendengarkan, bersorak, meneriakkan takbir.
Klaim Prabowo itu berdasarkan real count (hitung nyata) yang kata Prabowo didapatkan para relawannya dari 320.000 tempat pemungutan suara (TPS). Entah seperti apa sebaran lokasinya, tidak dijelaskan. Yang jelas, klaim itu bertolak belakang dari hasil hitung cepat yang dilakukan berbagai lembaga survei.
Hasil hitung cepat Charta Politika, CSIS-Cyrus Network, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), dan Indikator menunjukkan hasil seragam: Jokowi-Ma’ruf mengungguli Prabowo-Sandi dengan selisih suara yang signifikan.
Sampai Kamis, 18 April pukul 17.08, ada 97,72% suara yang masuk ke SMRC. Dari total angka itu, Jokowi-Ma’aruf meraih 54,85% suara, sedangkan Prabowo-Sandi 45,15% suara.
Dari total 809.497 TPS di Indonesia, SMRC memilih 6.000 TPS di 80 daerah pemilihan (dapil). Namun metode pemilihan sampling dilakukan dengan ketat agar sebisa mungkin menggambarkan populasi.
SMRC memakai metode stratified systematic cluster random sampling. TPS dikelompokan menurut wilayah dapil DPR RI dan status pedesaan-perkotaan. Dari masing-masing kelompok, dipilih TPS secara random sampling dengan jumlah proporsional. Margin of error hitung cepat ditaksir 0,47% dengan tingkat kepercayaan 95%.
“Kami pakai metode sampling yang sama pada Pilpres 2014, dan terbukti paling mendekati hasil official count KPU,” kata Sirojudin Abbas, Direktur SMRC.
Menurutnya, dalam memilih sampel, kuantitas harus dibarengi sebaran yang merata, yang merepresentasikan populasi, dari segi jenis kelamin, agama, asal, hingga suku. Sebab jika tidak, hasilnya akan bias.
Jadi, jika 320.000 TPS yang disebut Prabowo hanya tersebar di Sumatera hingga Jawa Barat, bisa dipastikan hitung nyata itu belum bisa menggambarkan populasi. Sebab Sumatera, terutama Aceh, Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Selatan, memang lumbung suara Prabowo sejak 2014.
Sebaran Suara Jokowi vs Prabowo
Berkaca pada data hitung cepat SMRC, total perolehan suara nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin memang lebih unggul. Namun, dari data yang sama, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sekalipun suara totalnya lebih rendah, mampu melebarkan sayap perolehan suara ke beberapa provinsi baru.
Pada pilpres 2014, Prabowo berhasil unggul di 10 wilayah provinsi. Sementara pada pilpres 2019, dia berhasil unggul di 14 wilayah provinsi. Empat wilayah baru milik Prabowo itu adalah Jambi, Bengkulu, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Pertanyaan sederhana: Mengapa Prabowo yang berhasil unggul dan menambahkan jangkauan suara di empat provinsi baru tetap menghasilkan suara nasional yang rendah?Beberapa jawabannya sebagai berikut:
Pulau Jawa tetap jadi kunci
Sekalipun jangkauan wilayah perolehan suara Prabowo bertambah, patut digarisbawahi, kunci pertambahan suara itu bukan terjadi di wilayah-wilayah Pulau Jawa.
Dengan membandingkan secara sederhana hasil hitung resmi KPU 2014 dan hitung cepat SMRC, tiga wilayah di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tidak memberikan hasil positif yang signifikan bagi Prabowo.
Seperti ditunjukkan dalam data, Jawa Barat tidak memberikan hasil tambahan bagi suara Prabowo, sekalipun menjadi pemegang suara unggul di wilayah ini.
Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur (dan bahkan DI Yogyakarta), Prabowo gagal menambah suara.
Kebalikannya, Jokowi berhasil menambah suara hampir 35 persen yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta.
Pertambahan suara yang signifikan bagi Prabowo (di atas 10 persen) terjadi di wilayah luar Pulau Jawa. Di Aceh, misalnya, suara Prabowo melompat hampir 33,53% dari Pilpres 2014. Suara tambahan Prabowo juga muncul dari Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Jambi.
Artinya, Prabowo terlihat tidak cukup kuat menaklukkan suara di Pulau Jawa. Padahal, wilayah ini memiliki hampir setara 50 persen total keseluruhan suara nasional.
Singkatnya, gagal di Pulau Jawa, sama artinya gagal di nasional.
Mengapa Sumbar, Sumsel, Jabar, dan NTB jadi milik Prabowo?
Untuk menjawab hal ini, data lain yang bisa dipakai adalah perolehan suara Pileg 2019. Masih menggunakan data hitung cepat SMRC, setidaknya ada beberapa pola afinitas pertambahan/penurunan suara calon presiden/wakil presiden dengan perolehan suara terbanyak partai politik di satu wilayah.
Pola yang kami temukan: keunggulan suara Prabowo ekuivalen dengan perolehan suara terbanyak Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN.
Gerindra mampu jadi pemenang utama di Sumatera Barat; Demokrat di Aceh; PKS di Riau; dan PAN di Bengkulu. Partai-partai ini adalah barisan koalisi pendukung Prabowo.
Sementara, keunggulan suara bagi Jokowi ekuivalen dengan perolehan suara terbanyak PDIP, Partai Golkar, dan Partai NasDem. Meski ada lebih banyak jumlah partai koalisi Jokowi, setidaknya dalam analisis data ini, tiga partai itu adalah pemain kunci.
Suara Bengkulu dan Jambi
Di Bengkulu, jika pola pertambahan/penurunan suara itu dipakai, PAN agaknya berjasa karena mampu menggarap wilayah ini.
Pada 2014, Bengkulu adalah wilayah kekuasaan suara untuk NasDem dan PDIP. Namun, pada 2019, PAN mampu menggarap pertumbuhan suara hingga sekitar 7%.
Bagaimana caranya?
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan memiliki beberapa kerabat yang menguasai Bengkulu. Beberapa bahkan memimpin PAN dan menjadi pejabat lokal. Apakah pertumbuhan suara 7% PAN di Bengkulu berasal dari jaringan keluarga ini, bagaimanapun, perlu ada studi lebih lanjut.
Di Jambi, yang paling terlihat adalah penurunan suara Demokrat. Pada 2014, Demokrat mampu memperoleh 13,92% suara. Kini hanya sekitar 9,73% suara.
Menariknya, dari hasil sementara hitung cepat SMRC, partai yang meraup suara terbanyak di Jambi adalah Golkar, sekalipun bukan partai koalisi pendukung Prabowo sementara Prabowo menang di Jambi.
Analisis kasarnya: Bisa saja Partai Golkar menguasai basis suara di Jambi tapi pemilih yang sama mencoblos Prabowo. Prabowo sendiri pernah menggelar kampanye terbuka di provinsi ini, 14 Maret 2019. Salah satu isi pidato Prabowo adalah mengkritik kebijakan impor pemerintahan Jokowi.
Faktor Jusuf Kalla di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
Sekalipun suara Partai Golkar memenangi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Jokowi gagal menguasainya. Padahal, pada Pilpres 2014, Jokowi unggul di dua provinsi tersebut.
Suara Jokowi tergerus parah di dua wilayah itu. Di Sulawesi Selatan, suara Joko Widodo tergerus hingga 32,44%. Sementara di Sulawesi Tenggara, suara Joko Widodo hanya 40,27% (Bandingkan pada 2014 yang mencapai 57,88% suara).
Mengapa?
Orang mungkin akan menunjuk faktor Jusuf Kalla. Pengaruh JK besar di dua wilayah ini. Namun, karena JK tak bisa lagi mendampingi Jokowi pada Pilpres kali ini, suara dukungan bagi JK pada Pilpres 2014 besar kemungkinan bermigrasi ke Prabowo.
Agaknya Jokowi pun menyadarinya. Maka, saat kampanye terbuka di Makassar, Jokowi mengajak JK, naik becak bersama. Meski begitu, siapa yang tahu soal pilihan para elektorat di TPS?
Sekalipun demikian, bandul suara partai koalisi Jokowi masih bisa menyelamatkannya.
Di Sulawesi Selatan, NasDem menjadi penolong. Suara partai bentukan Surya Paloh ini melonjak hampir setara dua kali lipat dibandingkan pemilu 2014. Pada 2014, NasDem memperoleh 7,18% suara, sementara pada 2019 sanggup meraup 16,31% suara.
Adapun di Sulawesi Tenggara, PDIP menjadi penangkal. Pada 2014, PDIP hanya meraup 8,22%, kini melonjak menjadi 12,93%.
Para pemain lapis kedua
Mengacu pada hasil sementara hitung cepat SMRC, perolehan suara Partai Gerindra di Aceh turun: 12,95% suara dari 15,82% suara pada Pemilu 2014.
Tapi, PKS dan PAN, koalisi partai Prabowo, mampu menambah suara di Aceh. Pada 2014, PKS meraup 7,76% suara, kini 12,11% suara. Sementara PAN memperoleh 14,48% suara dari 10,41% pada 2014.
Seperti telah disinggung di atas, PAN agaknya juga mampu menggarap Bengkulu, menggeser suara NasDem dan PDIP.
Adapun PKS, selain mendominasi Riau, masih mengamankan suara di DKI Jakarta dan Jawa Barat. PKS meraup suara kedua terbanyak di Jakarta setelah PDIP dan di atas Gerindra; mendapatkan suara terbanyak ketiga di Jawa Barat setelah Gerindra dan PDIP, di atas Golkar.
Pertambahan suara Jokowi di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur boleh jadi karena faktor PDIP dan PKB. Di tiga wilayah Pulau Jawa itu PKB adalah pemilik suara terbanyak kedua.
Menempatkan Kiai Ma'ruf Amin sebagai pendampingnya, dan meletakkan pada basis kolektif keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), sangat mungkin menjaga suara Jokowi di kedua basis tradisional PDIP dan PKB tersebut. Faktor lain adalah dana desa, yang dipakai Jokowi sebagai kampanye keberhasilan dirinya, yang digarap oleh kementerian yang dikepalai Eko Putro Sandjojo, kader PKB.
Faktor lain adalah kedua gubernur di Jawa Tengah dan Jawa Timur dari PDIP dan PKB. Ganjar Pranowo, kader PDIP, jauh hari mengirim sinyal bahwa Jateng masih menjadi "kandang Banteng" sekalipun tim sukses Prabowo mengeksploitasi daerah ini dengan menempatkan "lebih banyak pos pemenangan."
Sementara di Jatim, Khofifah Indar Parawansa, yang memenangkan kursi gubernur pada Pilkada 2018, berhasil menjaga militansi Muslimat, jaringan perempuan NU, yang pada Pilpres 2014 pun berkontribusi besar bagi pemenangan Jokowi-JK di Jatim.
Jaringan lokal yang memenangkan Jokowi-Ma'ruf di Jateng dan Jatim itu berhasil mengatasi strategi eksploitasi kampanye tim sukses Prabowo-Sandi.
Dalam basis data kampanye kedua kandidat presiden yang kami himpun, Prabowo-Sandi menempatkan Jateng dan Jatim sebagai target kunjungan terbanyak. Rekapitulasi kami: 18,32% kunjungan Prabowo-Sandi dilakukan di Jawa Tengah; dan 23,16% di Jawa Timur.
Sekalipun begitu, Prabowo-Sandi masih kalah di kedua basis tradisional PDIP dan PKB tersebut. Dalam perhitungan cepat sementara SMRC, suara Jokowi-Ma'ruf mencapai 77,43% di Jateng, dan 66,14% di Jatim.
Pendeknya, Jokowi berhasil menjaga suara di Jakarta dan Jawa Barat sekaligus memperdalam suara di lumbung lamanya, kendati suara bagi Prabowo melebar ke beberapa provinsi di luar Jawa.
Editor: Fahri Salam