tirto.id - Koalisi masyarakat sipil Yogyakarta yang tergabung Aliansi Reformasi KUHP menilai Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih banyak yang cacat, sehingga DPR didesak menunda untuk mengesahkannya.
"Ditunda pengesahannya 3 bulan sampai 1 tahun untuk memperbaiki pasal cacat [di RKUHP] [...] Desakkannya paling enggak dalam waktu 3 sampai 1 tahun ini sampai paling enggak DPR waras dulu lah, untuk mencabut pasal yang menghawatirkan masyarakat," kata Ika Ayu dari Jaringan Perempuan Yogyakarta saat jumpa pers, Rabu (31/7/2019).
Pegiat Perempuan Indonesia Antikorupsi Yogyakarta, Dyah Roessusita mengatakan, draf RKUHP saat ini mengenyampingkan aspek kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender. Ia menilai, niatan DPR RI mengesahkan sebelum masa paripurna tak beralasan.
"Kalau sudah disahkan, proses untuk juducial review [JR] sangat panjang. Pasalnya ada 700-an. Mau JR satu per satu [pasal] mau tujuh turunan nggak akan selesai. Apalagi kalau pasalnya sangat berat. Harus pembuktiannya, berapa daya masyarakat yang dibutuhkan," ujar dia.
Ia juga menambahkan, banyak sumber daya yang dibutuhkan jika harus melakukan JR. Belum harus melibatkan tim ahli dan masyarakat yang dianggap menjadi korban.
"DPR dengan gampangnya bisa di JR dalam waktu tiga tahun [usai disahkan]. Kita ingin mencabut pasal-pasal yang mengancam masyarakat itu [sebelum disahkan]," kata dia.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Candrika P. Ratri, salah satu pasal yang dinilai cacat dah harus dihapus adalah pasal soal kriminalisasi bagian yang mempromosikan alat pencegahan kehamilan.
"Di dalam diskusi tim besar kami, pemberi edukasi terkait alat itu banyak dilakukan masyarakat, kaum sebaya, konselor, dan relawan. Di pasal ini menyebutkan hanya boleh dilakukan pejabat yang berwenang," ujar dia.
Padahal kondisi saat ini menurut Ratri pejabat berwenang belum tentu memiliki kapasitas mumpuni. Dan pada kenyataannya masyarakat atau organisasi sipil yang aktif membantu dalam promosi alat pencegah kehamilan ini.
Anggota koalisi lain, Kepala Divisi Advokasi Samsara, Mazaya Latifa mengatakan ada juga pasal yang mengatur pemidanaan tindakan aborsi atau penghentian kehamilan dalam draf RKUHP itu. Ia juga menilai, sejumlah pasal yang berpotensi kriminalisasi itu harus dihapus.
"Ada ayat-ayat di pasal itu lebih baik di hapus. PR pemerintah banyak. Toh sudah ada UU Kesehatan, sebenarnya harus didorong diimplementasikan. Ini overkriminalisasi terhadap perempuan," kata Mazaya.
Ia juga mengutip Indonesia juga sudah ikut ratifikasi soal hak kesehatan seksual dan reproduksi. Namun, Mazaya menilai di dalam RKUHP itu justru lebih membawa semangat menghukum, bukan edukasi atau pencegahan.
"Seperti tidak melihat UU sektoral, seperti UU Kesehatan, UU KB. [Draf RKUHP] ditinjau lagi seharusnya. Pasal-pasal ini harus dikritisi ulang," ungkap dia.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Zakki Amali