Menuju konten utama

KPK: Pasal Tipikor di RKUHP Bisa Hambat Pemidanaan Korporasi

KPK menolak RKUHP menempatkan pasal tindak pidana korupsi pada korporasi mensyaratkan posisi pengambil keputusan setingkat pejabat fungsional.

KPK: Pasal Tipikor di RKUHP Bisa Hambat Pemidanaan Korporasi
Koalisi Masyarakat Sipil mendukung KPK terkait penolakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang meletakan korupsi sebagai kejahatan biasa, Selasa (5/6/2018). tirto.id/Naufal Mamduh

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan tidak menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kini disepakati pemerintah dan DPR.

Namun, mereka tetap berpendapat agar pasal Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak dimasukkan dalam RKUHP.

"Saya tegaskan, KPK tidak dalam posisi menolak RKUHP. KPK meminta supaya ketentuan tindak pidana korupsi dalam RKUHP dikeluarkan, jadi tetap diatur dalam undang undang sendiri," kata Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rasamala Aritonang di daerah Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019).

Saat ini pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tengah berlangsung di DPR RI. Salah sejumlah pasal kontroversional, menurut Rasamala, terkait pengaturan tindak pidana korupsi korporasi dalam pasal 52 dan 53 RKUHP.

Ia mengatakan, KPK tengah menerapkan pemidanaan korporasi. Ia khawatir akan ada tantangan dalam pemidanaan korporasi jika RKUHP disahkan.

Sebab, RKUHP menyatakan korporasi bisa dipidanakan ke tindak korupsi selama melibatkan pejabat fungsional perusahaan.

Padahal, lanjut dia, saat ini UU yang digunakan oleh KPK serta Perma 13 tahun 2016 menggunakan pendekatan vicarious liabillity yakni siapa pun yang memiliki hubungan dengan korporasi, berarti bertanggungjawab terhadap tindak pidana korupsi.

"Apalagi sekarang komplektisitas korporasi itu layering-nya banyak. Pengambilan keputusan itu tidak lagi dilakukan pada level manajerial yang tinggi. Cukup supervisor atau bahkan pegawai staf sudah bisa mengambil keputusan, tinggal reporting saja [pimpinan perusahaan]," jelas Rasamala.

Akademisi STHI Jentera sekaligus mantan Pimpinan KPK, Chandra M Hamzah menilai RKUHP yang baru menambah substansi penindakan dalam tindak pidana korupsi.

Akan tetapi, kata Chandra, substansi pasal RKUHP dan UU Tipikor masih berpotensi tumpang tindih dalam pelaksanaan pemidanaan.

Oleh sebab itu, lanjut dia, pemerintah harus memilih untuk memasukkan unsur Tipikor dalam RKUHP atau tidak. Jika tidak ditangani dengan penjelasan dalam suatu pasal di RKUHP, ia khawatir ada masalah dalam pelaksanaan proses hukum.

"Pilihannya ada dua, jangan setengah-setengah. Keluarkan semua delik tindak pidana korupsi dari KUHP atau masukkan saja semua ke KUHP, apakah kewenangan KPK bisa hilang? Tidak. Yang dikhawatirkan adalah pasal pasal jembatannya itu rontok. Karena pasal jembatan itu cuma satu atau dua. Secara keilmuan tidak ada masalah," ujar dia.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali