tirto.id - Ombudsman RI menilai ada potensi maladministrasi dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh pemerintah dan DPR, karena diduga tidak transparan dan tak melibatkan publik.
"Kalau dalam proses ini tidak ada keterbukaan sebagaimana yang dirasakan banyak pihak, tentu ini ada prosedur yang punya potensi maladministasi," kata Komisioner Ombudsman RI, Niniek Rahayu di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (5/5/2019).
Menurut dia, prinsip keterbukaan penyusunan undang-undang diamanatkan dalam pasal 5 undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Prinsip keterbukaan, kata dia, mencakup pada keseluruhan prosedur, dari perencanaan, pembahasan, hingga penetapan. Kemudian, lanjut dia, berimplikasi potensi undang-undang ini akan merugikan sejumlah pihak, hingga terbukanya potensi gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
"Apa yang hendak ditutupi? Karena ini [RKUHP] kan punya kita semua," kata Niniek.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mengkritisi penyusunan Rancangan KUHP yang dinilai tidak transparan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menyebut, terdapat 9 rapat internal pemerintah terkait RKUHP yang sifatnya tertutup dan tidak dapar diakses publik periode Maret-Juli 2018.
Dia mencatat tanggal rapat yakni pada 26 Maret 2018, 9 April 2018, 16 Mei 2018, 28 Mei 2018, 5 Juni 2018, 25 Juni 2018, 26 Juni 2018, 28 Juni 2018, dan 9 Juli 2018.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali