tirto.id - Mungkin di sekolah dulu kita tidak menyangka bahwa hukum penawaran ternyata bisa sangat mengerikan. Kasus minyak goreng belakangan ini adalah buktinya. Ketika harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan hanya Rp 14 ribu/liter, penawarannya menjadi sedikit. Orang-orang mengantre, panik, bahkan di beberapa tempat terjadi kekisruhan. Namun, saat angkanya berubah jadi Rp20 sampai 24 ribu, maka komoditas tersebut tiba-tiba muncul di mana-mana.
Kenaikan harga minyak goreng sebenarnya telah terjadi sejak tahun lalu, tepatnya November 2021. Dari yang diperkirakan berkisar Rp11 ribu/liter melonjak menjadi Rp16.500 sampai Rp18.300/liter.
Saat itu disinyalir harga minyak goreng naik karena produksi bahan bakunya, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), mengalami penurunan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksiCPO pada 2021 menurun 0,31 persen dibanding 2020, yaitu sebanyak 46,88 juta ton dari sebelumnya 47,03 juta ton. Tren penurunan ini telah terjadi sejak 2019. Sebelumnya produksi CPO dalam negeri selalu mengalami kenaikan.
Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, dalam sebuah acara pada November lalu mengatakan tren kenaikan harga akan terus berlanjut sampai kuartal pertama 2022--dan kita tahu bahwa itu menjadi kenyataan. Hal ini disebabkan karena menurunnya pasokan CPO tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di pasar global. Selain Indonesia, pemasok CPO yang dominan adalah Malaysia. Produksi mereka juga menurun.
Naiknya harga CPO secara global karena penawaran yang menurun menggoda perusahaan lebih banyak mengekspor. Menurut Gapki, meski peningkatan ekspor hanya 0,6 persen dibanding tahun sebelumnya, tapi nilai ekspor meningkat tajam karena harga yang naik itu. Pada 2020 nilainya 22,9 miliar dolar AS, sementara pada 2021 menjadi 35 miliar dolar AS.
Dari sudut pandang lain, menurunnya produksi CPO dianggap tidak terkait dengan kelangkaan minyak goreng. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyebut Indonesia tidak pernah kekurangan CPO. BPDPKS mengatakan produksi CPO mencapai 56 juta metrik ton dan untuk membuat minyak goreng hanya dibutuhkan 8,9 juta metrik ton.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri selama ini, hanya 18,4 juta metrik ton saja yang digunakan. Sisanya, 34,2 juta metrik ton, diekspor.
Pernyataan BPDPKS ini sejalan dengan temuan di lapangan baru-baru ini: bahwa sebenarnya pasokan minyak goreng tersedia di pasar, tetapi sedikit yang mau menjualnya dengan harga yang dianggap rendah. Mereka ingin menjual lebih tinggi, yang sejak 2021 selalu diusahakan berbagai pihak agar tidak menjadi kenyataan.
Pada saat HET dicabut pemerintah Rabu 16 Maret lalu, pasokan minyak goreng langsung memenuhi pasar.
Pemerintah Tidak Mampu
Pada hari ketika HET dicabut, LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan dugaan ekspor ilegal minyak goreng ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Komoditas tersebut disamarkan sebagai sayuran. Karena semestinya dijual ke masyarakat dalam negeri, kasus ini juga dianggap memperparah kelangkaan.
Ketika itu sebanyak 23 kontainer telah dikirim. Hanya tersisa satu yang berhasil diselamatkan. Keuntungan dari 23 kontainer diduga mencapai Rp 10 miliar.
Kita bisa menyebut mereka sebagai mafia. Dan pemerintah, termasuk Kementerian Perdagangan, sebetulnya sudah tahu keberadaan mereka. Masalahnya, pemerintah sendiri yang mengaku tidak bisa berkutik. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meminta maaf karena tidak bisa mengendalikan orang-orang yang ingin meraup untung lebih banyak dari ekspor--karena harganya lebih mahal.
“Kemendag tidak bisa melawan penyimpangan-penyimpangan tersebut,” kata Lutfi dalam rapat kerja dengan DPR Komisi VI, Kamis (17/3/2022).
Di sisi lain, Kemendag justru sempat menuding masyarakat menimbun minyak goreng, dalam arti membeli melebihi kebutuhan. Sebab menurut Kemendag produksi minyak goreng seharusnya telah mencukupi, tapi ternyata masih langka.
Seorang anggota dewan mengatakan “agak membingungkan kalau masyarakat yang dipersalahkan” karena faktanya “masalah ini sudah berbulan-bulan.” Sementara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan pernyataan itu tidak cukup kuat karena kemampuan masyarakat menampungnya tentu terbatas. “Apakah benar memang itu terjadinya di masyarakat atau di tingkat yang lebih tinggi, misalnya di pedagang atau di distributor,” kata Pengurus Harian YLKI Agus Suyanto.
Dalam konteks kekisruhan ini, Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri mengeluarkan pernyataan yang kelak memicu perdebatan. Ia meminta masyarakat mencari alternatif selain menggoreng. “Apa tidak ada cara untuk merebus, lalu mengukus atau seperti rujak,” kata Mega, Jumat (18/3/2022).
Ia juga merasa aneh mengapa ibu-ibu sampai rela berebut. “Saya itu sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng? Sampai begitu rebutannya.”
Tentu pernyataan tersebut menuai kritik. Ia, misalnya, dianggap “kurang peka dan tak solutif.”
Belakangan Mega mengatakan heran mengapa pernyataannya mendapatkan kritik, sebab menurutnya cara memasak lain--dari mengukus hingga merebus--lebih sehat.
Di masa lalu, pada awal 1990-an, ketika muncul kasus kelaparan akibat kemarau panjang di berbagai daerah, Soeharto meminta masyarakat membiasakan diri mendiversifikasi makanan seperti jagung, singkong, ubi, dan tiwul--olahan dari singkong yang sering dimakan sang diktator semasa kecil. Kampanye makan tiwul itu dilakukan dalam skala nasional melalui saluran televisi.
Ketika Harmoko, yang pernah memegang sejumlah jabatan penting di masa Orde Baru termasuk Menteri Penerangan, mengatakan bahwa tiwul susah diperoleh di Jakarta, Soeharto hanya tersenyum.
Di masa pandemi, ada anggapan bahwa pemerintah kerap menyalahkan masyarakat karena tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan. Namun menurut epidemiolog dari Universitas Padjajaran Deni Kurniadi Sunjaya, yang sepatutnya disorot justru program pemerintah yang kurang jelas.
“Upaya pemerintah bukan sosialisasi tapi lebih ke diseminasi informasi, akibatnya sulit menciptakan kesadaran perilaku di masing-masing individu untuk menerapkan protokol kesehatan,” kata Deni dilansir BBC Indonesia.
Berdasarkan berbagai pengalaman tersebut, termasuk prahara minyak goreng, tampaknya memang elite dan pemerintah suka sekali menyalahkan masyarakat dan meminta mereka mengalah alih-alih menyelesaikan masalah.
Editor: Rio Apinino