tirto.id - Kasus COVID-19 di Indonesia menunjukkan kecenderungan menanjak. Penambahan kasus harian semakin sering berada di angka 4.000-5.000. Bahkan, berdasarkan data Satgas, kasus konfirmasi positif pecah rekor di angka 6.267 pada Minggu 29 November 2020.
Angka kematian pun konstan di atas 100 sejak 24 November, dengan penambahan terbanyak pada 27 dan 29 November, 169.
Selasa (1/12/2020) kemarin Satgas mengumumkan kenaikan kasus selama satu pekan terakhir mencapai 19,8 persen atau dari 30.555 menjadi 36.600. 17 Provinsi mengalami kenaikan kasus. Kenaikan tertinggi terjadi di Jawa Tengah, dari 3.937 menjadi 7.617, meski Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan ada kesalahan pencatatan data.
Angka kematian pun melonjak 35,6 persen atau naik dari 626 menjadi 835 dalam seminggu terakhir. Jawa Tengah naik 134,1 persen, dari 82 menjadi 192. Kemudian disusul Jawa Timur dari 134 ke 224 kasus (67,2 persen).
Situasi ini sempat membuat Presiden Joko Widodo berang. "Ini memburuk semuanya," kata Jokowi, Senin (30/11/2020).
Pandu Riono, epidemiolog dari Universitas Indonesia, mengatakan hal ini disebabkan karena "masyarakat sudah mulai bosan" sehingga makin ke sini penerapan protokol kesehatan semakin longgar. "COVID 'senang' dengan masyarakat seperti ini. Makanya Indonesia akan semakin buruk," katanya kepada reporter Tirto, Selasa.
Kebosanan masyarakat sendiri menurutnya karena pemerintah tidak konsisten menangani pandemi. Salah satu contoh paling menonjol adalah ketidakmampuan mereka menahan kerumunan di beberapa kota. Oleh karena itu menurutnya ketika Presiden bilang situasi memburuk, semestinya ia "mengerjakan sesuatu." "Enggak usah nangis," katanya.
Irma Hidayana, penggagas LaporCOVID19, juga memberikan pendapat serupa. Ia mengatakan "pemerintahnya enggak serius" dalam menangani pandemi.
Ketidakseriusan tersebut tampak dalam banyak hal. Misalnya, tetap menggelar pilkada dan memaksa memutar roda ekonomi dengan embel-embel 'penerapan protokol kesehatan'. Irma bilang "imbauan normal baru itu seperti hanya berlaku buat masyarakat, pemerintah sendiri tetap berkegiatan tatap muka."
Atas dasar itu semua menurutnya pemerintah tidak bisa menyalahkan masyarakat.
Hermawan Saputra, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), mengatakan faktor lain kenapa orang-orang menganggap saat ini seperti tak ada pandemi adalah penengakan hukum yang lemah. Ia memberi contoh Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di Jakarta yang masih berlaku tapi tampak sekadar hanya jargon. Selain itu juga pencabutan maklumat Kapolri tentang kerumunan sehingga penindakan aparat berkurang dan lebih mengedepankan persuasi.
"Kalau sekadar imbauan, tidak semua orang punya pengetahuan yang sama, sense yang sama. Dalam kasus pandemi seperti ini kalau ada satu orang tidak disiplin, ada sebagian orang tidak peduli, akan ambyar situasi," kata Hermawan.
Dalam situasi seperti itu, Hermawan memprediksi rangkaian pilkada dan perayaan akhir tahun akan semakin memicu kenaikan kasus walaupun ada kebijakan pengurangan hari libur. Dampaknya akan terasa pada Januari 2021.
Saat ini, kata Hermawan, opsi terbaik dalam penanganan COVID-19 adalah meningkatkan tes spesimen untuk mendeteksi kasus. Paling tidak sehari harus mencapai 150 ribu. Tapi bahkan untuk sekadar kesiapan laboratorium pengujian saja belum selesai. Masih banyak yang molor melaporkan data.
"Itulah kondisinya, pemerintah rupanya masih gagap," kata Hermawan.
Satgas paham situasi masyarakat yang "sudah mulai lelah menghadapi pandemi." Namun, kata Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers Selasa (1/12/2020), mengatakan "kita tidak boleh kalah." Ia menyebut kasus aktif tinggi memicu penularan tinggi, apalagi jika tidak patuh protokol.
"Jangan pernah lengah karena masalah ini tetap masih ada di sekitar kita," kata Wiku.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino