tirto.id - Standar jumlah tes COVID-19 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 1.000 orang per 1 juta penduduk dalam satu minggu, tak juga mampu dipenuhi Indonesia meski pandemi sudah memasuki bulan ke-9. Dengan asumsi jumlah penduduk sekitar 268 juta--berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)--maka untuk memenuhi standar tersebut, dalam satu minggu semestinya ada 268 ribu orang yang menjalani tes.
Namun, merujuk laporan Satgas COVID-19, mulai Kamis 12 November 2020 hingga Rabu 18 November 2020, jumlah orang yang dites hanya 240.517. Pekan sebelumnya malah lebih kecil, 205.213 orang.
Kapasitas laboratorium yang tidak pernah maksimal diduga menjadi salah satu biang keladinya.
Berdasarkan data Satgas COVID-19, terdapat 426 laboratorium yang dikerahkan untuk memeriksa sampel tes swab. PandemicTalks, inisiatif dari masyarakat yang menganalisis data-data terkait COVID-19 di Indonesia, menemukan dalam satu bulan terakhir persentase laboratorium yang melapor tidak pernah mencapai 100 persen, rata-rata hanya 66 persen.
Firdza Radiani, co-founder PandemicTalks, lewat keterangan tertulis pada Kamis (19/11/2020), menjelaskan “hubungan antara persentase lab yang melapor per hari dengan jumlah orang yang dites per hari tidak konsisten. Namun, ada kecenderungan persentase lab yang melapor menurun, jumlah orang yang dites juga menurun.”
Pada 9 November lalu, hanya 222 laboratorium yang melapor, alias 53 persen. Sisanya mangkir. Pada hari itu, hanya ada 24.747 orang yang diperiksa. Pada 30 Oktober, hanya 256 laboratorium atau sekitar 60 persen yang melapor. Jumlah yang dites saat itu 23.278 orang.
Dalam sebulan, kondisi terbaik pelaporan sampel terjadi pada 21 Oktober: dari 376 lab yang ada, sebanyak 300 melapor (79 persen). Saat itu, total orang yang diperiksa mencapai 30.597. Pada 11 November, dari 426 laboratorium, 295 lab melapor (69 persen). Hasilnya terdapat 37.611 orang yang dites. Angka itu merupakan salah satu yang tertinggi di bulan November.
Kondisi ini diperburuk dengan masalah klasik, yaitu keberadaan laboratorium tidak merata di semua daerah. Sebanyak 54 persen laboratorium berada di Pulau Jawa, paling banyak ada di Jawa Timur dengan 78 laboratorium. Sementara area luar Jawa hanya mendapat sisanya, yakni 185 laboratorium (44 persen). Paling sedikit di Sulawesi Utara, hanya 1 laboratorium.
Akibat ketimpangan ini, jumlah kasus yang ditemukan juga timpang. Dalam satu pekan sejak 10 November, rata-rata ditemukan 240 kasus di Jawa Timur, sementara di Sulawesi Utara rata-rata hanya ditemukan 50, bahkan pada 12 November tidak ditemukan kasus sama sekali dan 15 November hanya ditemukan dua kasus.
“Idealnya seluruh laboratorium di Indonesia melapor sehingga kita bisa tahu seberapa maksimal kapasitas tes spesimen per hari, test people per hari, dan kasus harian per hari,” kata Firdza.
Epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman mengatakan keterlambatan laboratorium mengakibatkan angka kasus harian yang selama ini disampaikan pemerintah tidak akurat. Akibatnya, pemerintah akan gagal mengambil kebijakan yang tepat untuk mengatasi pandemi. Contohnya keputusan untuk melonggarkan bahkan menghentikan pembatasan sosial.
“Itu yang selama ini enggak di-bold. Yang diperhatikan cuma data terkonfirmasi, yang meninggal, tapi soal keterlambatan laboratorium itu enggak,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Kamis (19/11/2020).
Pada skala mikro, keterlambatan itu mengakibatkan keterlambatan pula aspek pencegahan dan penanganan. Pasien yang positif tidak bisa segera diisolasi dan ditindak sehingga kontak erat semakin bertambah. Petugas pun tidak bisa segera melakukan surveilans sehingga ada kemungkinan kontak erat yang sudah terpapar menularkan ke orang lain. Dengan kata lain, virus sudah berlipat ganda.
Satgas COVID-19 yang dibentuk dengan harapan bisa melakukan terobosan-terobosan lintas kementerian dan lembaga harus bisa mengatasi ini. Terlebih, lagi-lagi, pandemi sudah menginjak bulan kesembilan dan akan memasuki bulan kesepuluh.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-10 Wiku Adisasmito mengakui sempat ada penurunan kapasitas tes pada pekan keempat dan kelima Oktober, tapi kembali melesat naik pada pekan pertama dan pekan kedua November. Selain itu, ada penurunan kapasitas tes terutama pada hari-hari libur.
Karenanya Wiku meminta pemerintah daerah memperbaiki mekanisme operasional laboratorium dengan menambah jumlah sif petugas dan memberikan insentif yang sepadan kepada mereka. Selain itu, perlu pemeriksaan kesesuaian jenis reagen dan alat tes yang digunakan.
“Kami sadar betul bahwa tidak mudah mencapai sistem kesehatan yang sempurna di negara yang cukup menantang secara geografis seperti di Indonesia,” kata Wiku. “Akan tetapi, kondisi ideal tersebut bukan tidak mungkin terjadi karena pencapaian saat ini sudah 86 persen lebih.”
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino