tirto.id - “Ada bukti yang sangat kuat bahwa virus Corona berasal dari laboratorium,” klaim Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dalam acara "This Week" yang tayang di saluran ABC pekan pertama Mei 2020. Laboratorium yang dimaksud Pompeo adalah Wuhan Institute of Virology (WIV), lab khusus yang meneliti dan mempelajari virus di kota Wuhan, ground zero SARS-CoV-2, virus di balik wabah COVID-19.
Sebagaimana dilaporkan David E. Sanger untuk The New York Times, keyakinan Pompeo didasari laporan badan-badan intelijen AS yang menyatakan “kemungkinan hewan yang terinfeksi virus Corona di laboratorium dihancurkan dan seorang pekerja laboratorium tidak sengaja terinfeksi dalam proses tersebut”.
Tudingan Pompeo bahwa virus Corona berasal dari WIV merupakan kelanjutan atas apa yang digaungkan bosnya, Donald Trump. Presiden Trump bulan lalu mengklaim Cina bertanggung jawab atas pandemi Corona. Trump menyebut Beijing “membuat kesalahan yang mengerikan dan tidak mau mengakuinya.” Namun, ketika ditekan soal bukti tuduhannya, Trump menyatakan dirinya “tidak diizinkan untuk memberi tahu.”
Masalahnya, intelijen AS menyebut laporan mereka soal dugaan laboratorium di Wuhan menjadi sebab kemunculan Corona “belum mencapai kesimpulan”. Lebih lanjut, intelijen AS menyatakan bahwa “tidak ada indikasi bahwa virus Corona dibuat oleh manusia atau dimodifikasi secara genetik.” Seorang pejabat intelijen AS yang diwawancarai Sanger dalam keadaan anonim mengatakan bahkan bahwa “bukti yang menunjuk pada kecelakaan laboratorium sebagian besar tidak langsung dan hanya didasarkan pada materi publik”. Maka, intelijen AS “sangat mungkin tidak akan menemukan bukti terkait kecelakaan laboratorium”.
Tuduhan Cina jadi biang keladi munculnya virus baru ke Bumi bukan hal baru. Ketika SARS melanda dunia pada 2002-2003, Rusia meyakini SARS-CoV-1, virus di balik SARS, berasal dari laboratorium milik Cina.
Kembali ke asal-usul COVID-19, benarkan SARS-CoV-2 berasal dari laboratorium di Wuhan?
Mencegah Wabah dengan Memahami Virus
“Selama hampir satu dekade,” tulis Joby Warrick, Ellen Nakashima, Shane Harris, dan Anna Fifield untuk Washington Post, “tim ilmuwan dari Wuhan, Cina, menjelajahi Asia Selatan untuk mencari kelelawar. Para ilmuwan masuk ke gua-gua, menangkap mamalia bergigi silet itu dengan jala dan mengambil sampel kotoran. Mereka juga menangkap serangga dan tikus yang tinggal di sekitaran sarang kelelawar. Tak ketinggalan, tim mengumpulkan sampel darah dari penduduk desa sekitar, yang saban harinya memburu kelelawar.”
Setelah sampel-sampel terkumpul, tim ilmuwan pulang. Namun, sebelum sampai di rumah masing-masing, tentu saja para ilmuwan terlebih dahulu transit di Wuhan Institute of Virology (WIV) dengan membawa tabung dan botol yang berisi patogen--parasit yang mampu menimbulkan penyakit pada inangnya--sampel dari kelelawar.
Menurut laporan Washington Post, di beberapa kesempatan para ilmuwan Cina itu sukses membawa pulang varian asing--atau varian yang belum dikenal dunia sains--dari virus Corona. Virus yang versi awalnya adalah Avian Coronavirus (IBV) itu, ditemukan pada dekade 1930-an oleh Arthur Schalk and M.C. Hawn.
Penelusuran virus baru dari kelelawar dilakukan khususnya selepas SARS melanda dunia pada awal dekade 2000-an. Kala itu tim peneliti Cina menemukan virus yang menewaskan sekitar 1.000 jiwa ini bersumber dari kelelawar ladam (Rhinolophidae) yang tinggal di gua-gua di Provinsi Yunnan, Cina.
Studi selanjutnya yang termuat dalam studi berjudul “Bats Are Natural Reservoirs of SARS-Like Coronaviruses” (2005) mengonfirmasi bahwa kelelawar adalah reservoir (organisme yang menjadi tempat hidup dan berkembang biak bagi parasit yang patogenik) alami untuk berbagai penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia).
Lantas, untuk apa ilmuwan WIV mengumpulkan sampel-sampel kelelawar?
Kelsey Piper, dalam paparannya di Vox, menyebut ilmuwan-ilmuwan itu mengumpulkan patogen untuk melakukan jenis penelitian kontroversial bernama gain-of-function, sebuah penelitian yang membuat virus lebih berbahaya dan lebih mudah menular. Penelitian gain-of-function dilakukan untuk mengetahui virus mana yang mengancam manusia--jika kelak bertransformasi/bermutasi--sehingga tindakan pencegahan sejak awal bisa dirancang.
Coronavirus, Explained, salah satu episode serial dokumenter garapan Vox dan Netflix, memaparkan penelitian virus dari kelelawar yang dilakukan ilmuwan Cina bertujuan untuk “menandai virus mana yang paling mudah melompat ke manusia”. Virus ditandai dalam dua jenis: berisiko tinggi dan berisiko rendah. Secara umum, virus yang diklasifikasikan berisiko tinggi memang berbahaya, mengancam jiwa manusia dalam tempo singkat. Namun, dalam kadar tertentu, yang paling berbahaya adalah virus berisiko rendah. Alasannya, jika berisiko rendah, virus akan sangat mungkin mudah menyebar karena ketika terpapar, orang yang terpapar tidak akan memunculkan gejala dengan segera.
Masih merujuk laporan Washington Post, hingga hari ini tim peneliti virus dari Wuhan sukses mengidentifikasi sangat banyak virus terkait kelelawar. Tim peneliti juga telah menerbitkan lebih dari 40 makalah ilmiah, termasuk tentang “ratusan virus Corona baru”. Yang menarik, salah satu publikasi yang dihasilkan ilmuwan virus Wuhan adalah sebuah studi berjudul “A Pneumonia Outbreak Associated With A New Coronavirus Of Probable Bat Origin" (Februari 2020). Studi itu menyebut keberadaan virus RaTG13, sebuah varian virus Corona berkategori berisiko rendah yang diprediksi mudah menyebar ke manusia. Dalam penelitian lanjutan yang dilaporkan dalam studi berjudul “Probable Pangolin Origin of SARS-CoV-2 Associated with the COVID-19 Outbreak” yang terbit pada 6 April lalu, virus Corona RaTG13 dan virus Corona SARS-CoV-2 memiliki urutan genom identik. Keidentikannya mencapai angka 96 persen.
Maka, katakanlah seandainya dalam penelitian yang dilakukan ilmuwan WIV menemukan SARS-CoV-2 yang kini membikin dunia kalang-kabut, mereka dapat terlebih dahulu mengetahuinya dan lebih cepat membuat penawar.
Institut Kesehatan Nasional AS, Departemen Pertahanan AS, dan berbagai lembaga federal AS pun diketahui mendanai berbagai penelitian gain-of-function terkait virus-virus yang bersumber dari kelelawar. Dalam laporan Warrick dkk, pendanaan berbagai badan federal itu mengalir pula ke ilmuwan-ilmuwan AS yang terkait langsung dengan para peneliti virus di Wuhan.
Namun, meskipun salah satu kerja gain-of-function research adalah memodifikasi virus, Shi Zhengli, pimpinan peneliti di Wuhan, mengatakan bahwa WIV “tidak pernah memiliki virus SARS-CoV-2 yang memicu pandemi”. Zhengli bahkan bersumpah laboratorium di Wuhan dan COVID-19 “tidak berhubungan”. Maureen Miller, ahli epidemiologi AS yang bekerja dengan peneliti Wuhan atas dana pemerintah AS, menolak keras anggapan bahwa SARS-CoV-2 lahir di lab Wuhan. Miller menyebut Zhengli sebagai ilmuwan “brilian” dan “sangat berkomitmen untuk mencegah skenario buruk terjadi”.
Di sisi lain, Jason Rao, ahli keamanan biologis sekaligus mantan penasihat Presiden Barack Obama, mengatakan bahwa alam "telah menciptakan patogen baru, SARS-CoV-2, yang saat ini mampu bergerak cukup efektif dari manusia ke manusia”.
Yuan Zhiming, profesor yang tergabung dalam WIV dan memberikan tanggapan soal rumor lahirnya SARS-CoV-2 di lab Wuhan kepada David Stanway dari Reuters, menegaskan bahwa WIV tidak memiliki niat dan kemampuan untuk merancang virus Corona baru. Selain itu, ujar Zhiming, "tidak ada informasi dalam genom SARS-CoV-2 yang mengindikasikan buatan manusia".
“Laboratorium Wuhan memiliki fasilitas perlindungan canggih dan langkah-langkah ketat untuk memastikan keselamatan staf laboratorium dan melindungi lingkungan dari kontaminasi,” tegas Zhiming.
Richard Ebright, profesor biologi kimia pada Rutgers University, menyatakan tuduhan pada lab Wuhan “tidak dapat dipercaya”.
Meskipun penelitian virus dalam kerangka gain-of-function research memiliki tujuan baik seperti yang dilakukan lab Wuhan, banyak ilmuwan mewanti-wanti bahwa penelitian tipe ini memiliki risiko yang besar. Kembali merujuk paparan Piper di Vox, risiko yang dimaksud adalah terkait kecerobohan manusia. Lab mungkin memiliki fasilitas keamanan yang mumpuni sehingga patogen tidak bisa kabur. Namun, faktor kelalaian manusia memungkinkan hal itu terjadi.
Pada 1978, misalnya, seorang juru foto Birmingham Medical School terinfeksi cacar akibat sampel virus cacar yang tengah diteliti “hilang” dari laboratorium biologis yang berlokasi di gedung tempat sang fotografer. Pada 2014, Food and Drug Administration (FDA) AS hendak pindah kantor. Ketika beres-beres, ditemukan ratusan sampel virus yang terbungkus kardus di pojokan kantor. Enam sampel di antaranya sudah terbuka. Investigasi lebih lanjut menyatakan bahwa kardus-kardus itu telah ada di pojokan kantor lama FDA sejak 1960-an.
Editor: Windu Jusuf