tirto.id - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut buruh di sektor perikanan Indonesia kini rentan mengalami eksploitasi karena adanya tuntutan pasar yang terlalu tinggi
Project Officer KIARA, Nibras Fadhlillah karena tuntutan permintaan pasar yang tinggi membuat perusahan mengabaikan keadaan bekerja yang layak.
"Industri perikanan [dituntut] menangkap sebanyak-banyaknya. Dengan target produksi tinggi dan cost sangat rendah. Jadi berujung ke ilegal fishing dan pasti ada ekpsloitasi," ucap Nibras usai diskusi bertajuk "Gerakan Buruh Perikanan Bersama Rakyat" di Bakoel Konfederasi, Jakarta pada Selasa (30/4/2019).
Dalam kajiannya KIARA mendapati adanya sejumlah persoalan buruh di sektor perikanan seperti perekrutan, upah, keselamatan kerja, dan hak-hak pekerja lainnya yang juga diabaikan.
Nibras mencontohkan dalam suatu kasus, ia mendapati adanya fenomena perusahaan perikanan mengincar buruh di bawah umur untuk bekerja di kapal. Mereka diminta untuk membayar sejumlah uang administrasi dan mengikuti pelatihan di luar kota bila ingin mendapat pekerjaan di kapal seperti pesiar.
Namun, kenyatannya, mereka ditipu kemudian sang agen justru mengarahkan mereka bekerja di kapal perikanan tangkap. Sebagian besar di antaranya pun terpaksa ikut lantaran alasan ekonomi dan sudah terlanjur menggelontorkan uang.
Masalahnya lagi ketika sudah bekerja di kapal pun mereka bekerja di bawah standar layak. Misalnya tidak disediakan perlengkapan yang layak untuk bekerja, waktu istirahat yang sedikit, ketidakjelasan pembayaran gaji, bekerja tanpa kontrak, dan makanan yang tidak layak.
Dalam kasus ekstremnya, Nibrah mengatakan sejumlah pekerja rentan sakit dan mengalami kekerasan. Bila ada yang meninggal mereka juga tidak mendapat perlakuan yang layak seperti tidak diberitahukan kepada keluarga atau mayatnya dibuang ke laut.
"Agensi di Indonesia merekrut dengan cara-cara yang ilegal. Mereka sengaja mencari yang bertalarbelakang perekonomian dan pendidikan yang rendah. Karena mereka yang membutuhkan pendapatan jadi berujung ke masalah eksploitasi," ucap Nibras.
Seolah belum cukup, Nibras mengatakan bahwa eksploitasi ini juga berdampak pada keluarga yang ditinggalkan. Bagi buruh perikanan yang sudah berkeluarga, dampak terberat biasa dialami oleh istri mereka.
Nibras mengatakan sepeninggal para buruh perikanan itu, perempuan rumah tangga itu menanggung beban ekonomi. Baik itu karena ditinggal pergi melaut dalam jangka waktu lama tanpa kejelasan pendapatan maupun bilamana sang suami meninggal akibat eksploitasi yang terjadi.
"Ketika suaminya pergi berlayar yang menghidupi keluarga adalah si perempuan. Saat suaminya meninggal di laut tanpa kabar yang jadi tulang punggung keluarga adalah perempuan," ucap Nibras.
Ma'ruf (26) buruh perikanan dari Rembang, Jawa Tengah pun tahu betul pengalaman itu. Sewaktu dipekerjakan di kapal asing berbendara Cina saat melaut di perairan Papua, ia mendapat perlakuan tidak adil. Seperti pendapatan yang berbeda dari pelaut asing lainnya hingga ancaman kekerasan dan kematian.
Ma'ruf mengaku ia hanya memperoleh penghasilan Rp1,75 juta dengan beban kerja hampir 24 jam sehari. Belum lagi sebagai satu-satunya orang Indonesia di kapal berbendera asing, ia kerap diperlalukan diskriminatif.
"Saya sempat kerja di sana tapi gak enak. Gak enaknya saya. Seperti orang asing di negeri saya sendiri," ucap Ma'ruf dalam diskusi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Irwan Syambudi