tirto.id - Lebih dari 150 petisioner kembali berkumpul di Komite 4 Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat, untuk mempresentasikan pandangan mereka mengenai sengketa Sahara Barat atau Sahara Maroko. Pertemuan dijadwalkan berlangsung sejak Rabu hingga Jumat (4-6 Oktober 2023).
Salah seorang petisioner dalam pertemuan itu adalah wartawan senior yang juga dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa. Dia menjadi petisioner ke-22 dalam daftar petisioner di sesi tahun ini.
Bagi Teguh yang kini memimpin Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), ini adalah kali ketiga dirinya hadir sebagai petisioner sengketa Sahara Maroko. Sebelumnya ia hadir pada 2011 dan 2012.
Teguh mengatakan, dirinya lebih memilih menggunakan istilah “Sahara Maroko” dan bukan “Sahara Barat” karena menurutnya wilayah yang sedang diperbincangkan ini secara historis merupakan bagian dari Kerajaan Maroko sejak lama.
Maroko kehilangan kontrol atas wilayah Sahara pada 1912. Awalnya Maroko menandatangani perjanjian dengan Prancis yang menempatkan Maroko sebagai wilayah yang diproteksi Prancis pada Maret 1912. Namun setelah Perjanjian Fes itu ditandatangani, pada November di tahun yang sama secara sepihak Prancis memberikan wilayah Sahara kepada Spanyol.
Prancis meninggalkan Maroko pada 1956, dan sejak saat itu pejuang-pejuang Maroko di utara berkerja keras untuk merebut kembali wilayah mereka di Sahara yang masih dikuasai Spanyol. Di pertengahan era 1970an, akibat hantaman krisis yang begitu keras, Spanyol akhirnya memutuskan angkat kaki dari Sahara.
Namun, salah satu kelompok yang didirikan para pejuang Maroko untuk merebut kembali wilayah Sahara dari tangan Spanyol berubah haluan. Kelompok yang bernama Polisario itu memilih mengikuti agenda Aljazair dan Blok Timur pada era Perang Dingin untuk memisahkan diri dari Maroko. Aljazair menampung Polisario di sebuah kamp pengungsi yang ada di teritori Aljazair yang dikenal dengan nama Kamp Tindouf. Tidak hanya itu, Polisario juga mendirikan negara yang mereka sebut sebagai Republik Demokratik Arab Sahrawi.
Maroko dan Polisario yang didukung Blok Timur sempat terlibat dalam konflik bersenjata sampai gencatan disepakati pada tahun 1991, setelah Uni Soviet menghadapi krisis internal yang berujung pada kehancuran Blok Timur.
Ketika menyampaikan petisinya di hari pertama atau Rabu (4/10/2023), Teguh merujuk kembali pada apa yang telah dilakukannya untuk mengenali konflik ini dari jarak yang sangat dekat.
Teguh pernah mengunjungi Sahara Maroko dan bertemu dengan berbagai kelompok masyarakat di kota Laayoune, Boujdour, dan juga Dakhla.
“Saya menemukan pembangunan yang sangat mengesankan di kawasan ini dan jelas memperlihatkan bahwa penerapan Sustainable Development Goals (SDGs) di kawasan ini merupakan salah satu perhatian utama Maroko,” ujar Teguh yang pernah menjadi Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
“Bagi saya, pembangunan di kawasan ini juga merupakan wujud komitmen Maroko untuk menerapkan usulan perdamaian dalam kerangka otonomi khusus,” sambung anggota Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) PP Muhammadiyah.
Teguh juga menggarisbawahi peran Kerajaan Maroko di Afrika yang semakin signifikan. Maroko tanpa ragu-ragu memberikan bantuan terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di sejumlah negara di Afrika. Pengaruh Maroko berkembang jauh hingga ke selatan Afrika.
Namun, integrasi sisi utara Afrika masih terganggu oleh aktor yang memanfaatkan isu Sahara ini. “Menyelesaikan masalah Sahara tidak diragukan lagi akan mempercepat integrasi tersebut,” kata Teguh.
Di hadapan Komite 4 Majelis Umum PBB, Teguh juga mengatakan, dalam salah satu kunjungan ke Maroko beberapa tahun lalu, dia bertukar pikiran dengan beberapa tokoh pendiri Polisario yang telah kembali ke pangkuan Kerajaan Maroko. Mereka berusaha meyakinkan pihak lain yang masih setia pada kelompok bersenjata Polisario untuk mengambil jalan yang sama dengan jalan yang mereka ambil, yakni kembali ke Maroko.
“Saat ini kita menyadari bahwa usulan otonomi yang ditawarkan Kerajaan Maroko telah didukung oleh banyak negara di dunia sebagai solusi terbaik dan usulan perdamaian yang paling kredibel. Hal ini juga merupakan solusi paling tepat yang dapat diterapkan dalam konteks geopolitik saat ini demi menciptakan perdamaian, stabilitas, dan keamanan di kawasan,” urai Teguh.
Dia menambahkan, hingga saat ini tidak kurang dari 28 negara telah membuka konsulat di kota-kota utama Sahara Maroko, yang berarti itu adalah pengakuan kuat terhadap kedaulatan Kerajaan Maroko atas Sahara.
Di saat bersamaan, satu per satu negara anggota PBB mencabut dukungan mereka pada negara boneka yang dibentuk Polisario dan Aljazair.
Berdasarkan berbagai perkembangan terbaru ini, Teguh pada akhir pernyataannya mengatakan “yakin insyaallah konflik ini akan berakhir segera dengan damai.”