Menuju konten utama

Ketika Massa Mengepung Pengadilan

Beberapa kali terjadi massa mengepung pengadilan. Ada kalanya vonis sesuai tuntutan massa, tapi pernah juga tidak. Misalnya pada Sukarno.

Ketika Massa Mengepung Pengadilan
Ratusan pendukung Abu Bakar Ba'asyir berkumpul mengikuti proses sidang Peninjauan Kembali di halaman Pengadilan Negeri Cilacap, Jateng, Selasa (12/1). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

tirto.id - Pada 2000, lelaki bernama Nanang Sutrisno terbunuh di Sleman. Tersangka pembunuhan bernama Salman, yang kemudian ditangkap polisi dan diproses secara hukum. Salman adalah anggota Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKASWJ).

Setelah berkas kasusnya diserahkan ke Kejaksaan Negeri dan Salman berstatus tersangka dalam pengadilan, kolega-kolega Salman yang banyak jumlahnya tak melewatkan persidangan Salman. Ismail bercerita bahwa sidangnya dipenuhi orang-orang yang terkait Laskar Jihad, tak hanya dari kabupaten Sleman, tetapi juga DIY. Akhirnya, Salman divonis bebas.

Menurut catatan SiaR (19/04/2000), Salman sebetulnya dijerat Pasal 340 KUHP mengenai pembunuhan berencana. Salman terancam hukuman mati, seumur hidup, atau mendekam dipenjara sekitar 20 tahun. Dalam status tersangkanya, Salman tentu punya hak untuk didampingi pengacara.

Tapi alih-alih ditemani pengacara, Salman ditemani kawan-kawannya yang "mengawal' persidangan Salman yang jadi terdakwa itu. Mereka tak hanya datang dari sekitar Kabupaten Sleman saja, tapi lebih luas lagi: DIY. Tak hanya keluar-masuk ruang sidang, di antara mereka ada yang membawa senjata tajam di sekitar ruang sidang dan mengintimidasi majelis hakim.

DPRD Sleman, yang pada April 2000 mempertanyakan vonis bebas tersebut, mempertanyakan kinerja aparat Kepolisian Resort Sleman dalam pengamanan persidangan. Hakim Soelidarmi SH yang mengetuai persidangan merasakan betapa suasana ruang sidang begitu rawan dan tak terkendali yang membuat tersangka pembunuhan berencana itu pun bebas.

Tapi belakangan cerita soal vonis bebas setelah adanya unjuk kekuatan oleh sekelompok orang itu terlupakan.

Kepung-mengepung pengadilan tak terjadi belasan tahun silam dalam kasus Salman saja. Bulan Juni 2016, pendukung klub lokal Persebaya yang kondang disebut Bonek juga “mengawal” persidangan sengketa soal logo Persebaya oleh Bayangkara Surabaya United di Pengadilan Negeri Surabaya. Jumlahnya ribuan. Mereka bahkan membangun tenda di sekitar pengadilan.

Dalam pengadilan itu, pihak Bayangkara Surabaya United menggugat merek dan logo Persebaya. Namun, persidangan yang “dikawal” Bonek itu memenangkan kubu Persebaya di pengadilan. Pihak Persebaya Indonesia dimenangkan karena nyatanya logo dan merek itu sudah didaftarkan Persebaya ke Dirjen HAKI Kemenkumham terlebih dahulu. Kepemilikan Persebaya terhadap merek dan logo pun tak terbantahkan lagi.

Sidang Ahok

Di masa perjuangan, kepungan massa saat pengadilan Sukarno di zaman kolonial gagal memenangkan Sukarno. Massa yang berkumpul saat Sukarno diadili pada 1930 di Pengadilan Negeri Bandung, yang kini bernama Gedung Indonesia Menggugat itu, kurang mampu membikin Sukarno bebas dari vonis untuk mendekam penjara.

Padahal, pidato Sukarno yang berjudul Indonesia Menggugat terkait nasib orang-orang pribumi yang terjajah itu begitu menggetarkan. Dalam novel biografis dari Istri Perjuangan Soekarno, Inggit Garnasih, Kuantar Ke Gerbang yang ditulis Ramadhan KH, digambarkan betapa banyak massa yang tersihir oleh pidato Sukarno.

“Berjam-jam lamanya kami mendengarkan Soekarno berpidato dan kami merasa terpaku, dia terpikat. Sesungguhnya, aku merasa dan aku yakin demikian halnya bagi hadirin yang berjubel di ruangan itu, dan bagi banyak orang di luar gedung itu bahwa suasana pengadilan itu telah diubah, dijungkirbalikkan oleh sang terdakwa,” tulis Ramadhan. Tapi pengadilan kolonial menjatuhkan vonis penjara kepada Soekarno yang kena pasal karet.

Persidangan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tentu saja akan “dikawal” oleh banyak orang, setidaknya oleh massa Front Pembela Islam (FPI). Bedanya, massa ini tak mendukung terdakwa, tapi sebaliknya: menuntut Ahok dihukum.

Pelajaran dari beberapa fragmen sejarah itu tentu harus diperhatikan. Massa boleh punya aspirasi, tetapi proses persidangan tak boleh tertekan oleh kehadiran orang secara massif. Vonis harus berlandaskan bukti, bukan opini umum atas kasus yang disidangkan.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani