tirto.id - Arnold “Ucok” Purba mendekati Menteri Dalam Negeri Rudini yang berjalan kaki ke Gedung Serba Guna Institut Teknologi Bandung (ITB). Mahasiswa Teknik Geofisika, yang mengenakan topi petani itu, berbicara ke Rudini, “Silakan Bapak baca spanduk dan poster-poster kami.”
Terdapat beberapa spanduk dan poster yang dibentangkan. Salah satu spanduk bertuliskan, “Ganyang Rudini si Antek Rezim Penindas.” Ada pula yang memuat kalimat berikut: “Kampus ITB bukan Tempat Cari Dukungan!” Ratusan mahasiswa hadir di antara mereka.
Didampingi Gubernur Jawa Barat Yogie S Memet, birokrat ITB, dan beberapa staf, Rudini meneruskan langkah. Rombongan menuju Gedung Serba Guna untuk menghadiri acara Penerimaan Mahasiswa Baru dan pembukaan Penataran P4 pada Sabtu 5 Agustus 1989 tersebut.
Setelah Rudini masuk Gedung Serba Guna, aksi berlanjut di lapangan. Beberapa mahasiswa membakar ban bekas. Asap hitam membubung. Para tokoh mahasiswa berorasi, di antaranya M Fadjroel Rachman (Kimia) dan Mohamad Jumhur Hidayat (Teknik Fisika).
Di dalam Gedung Serba Guna, saat Rudini bicara di mimbar, 17 pemimpin mahasiswa, dari 14 himpunan jurusan dan 3 unit kegiatan, menginterupsi dan menyerahkan “Pernyataan Sikap Keluarga Mahasiswa ITB tentang Kehadiran Saudara Rudini.” Lalu, mereka keluar ruangan, walk out.
Dua hari kemudian, Senin 7 Agustus 1989, Ucok disergap beberapa pria tegap saat berjalan sendiri di Jl Ganesha, tidak jauh dari gerbang ITB. Ia sempat melawan tapi sia-sia. Ucok dimasukkan ke mobil yang langsung melesat cepat.
Pada hari yang sama, Jumhur dicokok di rumahnya di Jalan Babakan Jeruk, Bandung. Orang tua pria yang akrab disapa Denci itu bekerja Jakarta. Pulang ke Kota Kembang pada akhir pekan.
Keduanya dibawa ke kantor Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jawa Barat di Jalan Sumatra No 37, Bandung. Bergabung kemudian Abdul Sobur (Seni Rupa) pada 10 Agustus 1989. Ia disergap di lapangan parkir kampus. Sejumlah orang menyeret Sobur, menutup mata, dan menjebloskannya ke mobil.
Pada hari penangkapan Sobur, kampus diserbu aparat militer dari Bakorstanasda. Sekretariat Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM), organ warisan era Dewan Mahasiswa, dirazia dan dokumen-dokumen dirampas. Keesokan harinya, Sekretariat Program Pengenalan Lingkungan Kampus (PPLK) dan Forum Komunikasi Himpunan Jurusan (FKHJ) juga disatroni dan disegel. Sejumlah spanduk aksi 5 Agustus disita.
Pengejaran aparat berlangsung sampai awal September 1989. Total 11 mahasiswa ditahan: Enin Supriyanto (Desain), Wijaya Santoso (Teknik Fisika), Nur Adi Bijantara (Desain), Lendo Novo (Teknik Perminyakan), Bambang Sugianto LN (Teknik Sipil), Dwito Hermanadi (Teknik Fisika), Ammarsjah (Teknik Elektro), Ucok, Sobur, Fadjroel, dan Denci.
Mereka berperan penting dalam aksi. Bambang adalah koordinator lapangan; Wijaya menjadi koordinator walk out; Denci menjabat komandan lapangan; poster dan spanduk menjadi tanggung jawab Sobur dan Nur Adi; Dwito adalah kurir; Ucok, yang secara formal menjadi Ketua Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa ITB, membantu Dwito. Enin, Fadjroel, Lendo, dan Ammarsyah terlibat dalam rapat-rapat perencanaan.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Sebanyak delapan dari 11 mahasiswa tersebut juga dipecat Rektor ITB, Prof Wiranto Arismunandar. Abdul Sobur, Nur Adi Bijantara, dan Dwito Hermanadi lolos dari sanksi pemecatan. Sementara, lebih dari 30 mahasiswa diskorsing satu semester.
“Mereka telah melakukan sabotase. Bagi ITB, tindakan itu subversif…Mereka yang berbuat onar itu hanya segelintir mahasiswa. Ribuan lainnya punya itikad baik untuk belajar di ITB. Jangan sampai itikad baik ini terganggu oleh sekelompok mahasiswa yang tak jelas keinginannya,” kata Wiranto kepada majalah TEMPO (No. 28, 9 September 1989).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan mengaku tak mau ikut campur soal pemecatan ini. Kepada reporter TEMPO, ia bilang, “Konsekuensi otonomi perguruan tinggi, ya, rektor sebagai pengelola tunggal. Dialah yang berhak mengatur rumah tangganya.”
Rudini sendiri mengaku tak tersinggung dengan demo 5 Agustus. Bahkan, seperti diberitakan KOMPAS 25 September 1989, jenderal bintang empat ini bersedia jika diajak berdialog tentang berbagai persoalan yang menjadi kepedulian para mahasiswa.
Makan Cacing, Minum Air Seni, Dipukuli
Pemecatan itu menjadi catatan sejarah khusus. Sebelumnya tak ada aktivis mahasiswa ITB yang dipecat gara-gara berunjuk rasa. Para aktivis 1978 yang jelas-jelas menolak kepemimpinan Soeharto memang dipenjara, namun status mahasiswa tidak dicopot.
Dari 11 mahasiswa yang semula ditahan, 5 di antaranya kemudian dibebaskan. Yaitu, Lendo Novo, Wijaya Santosa, Abdul Sobur, Nur Adi Bijantara, dan Dwito Hermanadi. Sebanyak 6 mahasiswa lain diseret ke pengadilan.
Selama di tahanan, perlakuan tidak manusiawi diterima mereka. Ucok, misalnya, dipaksa memakan cacing dan minum air seni.
“Mereka juga masih menunjukkan kebarbaran dengan membenturkan kepala saya ke dinding….Perlakuan-perlakuan itulah yang membuat saya harus mengalami sakit kepala berkepanjangan…” tulis Ucok dalam pleidoi berjudul “Biarkan Rakyat Bicara: Tangan Besi Merampas Tanah Kami” yang dibacakan di Pengadilan Negeri Bandung.
Pengakuan senada disampaikan Fadjroel dalam eksepsi berjudul “Manifesto Politik: Memperjuangkan Kedaulatan Rakyat.” Di kantor Bakorstanasda, ia mengaku, rambutnya dijambak, punggung dan wajah ditinju oleh perwira ABRI yang menginterogasi.
Fadjroel juga mengisahkan pengalaman rekan-rekan senasib. Ammarsyah dan Enin beberapa kali dipukul dan disiram kopi, sementara wajah Bambang bengkak akibat dihantam seorang kolonel.
Perlawanan dari rekan-rekan bukan tidak ada. Beberapa mahasiswa ITB melakukan mogok makan untuk memprotes perlakuan kepada para aktivis “5 Agustus.”
Aksi mogok makan hanya bertahan beberapa hari. Tapi sudah sempat menjadi bahan pemberitaan media massa. Sosok yang paling lama menjalaninya adalah Theodorus Jacob Koekerits atau Ondos, mahasiswa Teknik Geologi. Ia mogok makan sampai 17 hari.
Ondos adalah Sekjen FKHJ 1986-1987. Ia tak sedang di Bandung ketika Aksi 5 Agustus terjadi – seperti kebanyakan mahasiswa lain karena saat itu sedang libur semester.
Pada hari ke-17 tersebut, Kamis 21 September 1989, Ondos terbaring lemas di salah satu ruangan di ITB. Seperti diceritakan dalam Keteguhan Hati yang Teruji: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1980-an, aneka cara dilakukan teman-temannya agar Ondos setop. Termasuk, meminta Rubini Soeria-Atmadja, guru besar Geologi yang sangat dihormati Ondos, untuk membujuk. Usaha itu pun kandas.
Sejumlah teman, tanpa minta persetujuan yang bersangkutan, akhirnya melarikan Ondos ke RS Hasan Sadikin, Bandung. Nyawanya pun tertolong.
Protes-protes itu diabaikan. Para aktivis “5 Agustus” tetap dipecat dan dimejahijaukan.
Kemarahan kepada Orde Baru
Jika membaca eksepsi dan pleidoi mereka, tampak sasaran utama kemarahan bukan Rudini atau Wiranto Arismunandar, melainkan rezim Orde Baru.
Dalam eksepsi, Fadjroel memaparkan, pengadilan dirinya merupakan mekanisme untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan Orde Baru dalam membungkam suara kritis rakyat dan mahasiswa. Padahal, Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat.
“Bukankah sekarang menjadi semakin jelas lagi siapakan sebenarnya yang melakukan penghinaan: kamikah (mahasiswa dan rakyat Indonesia) ataukah penguasa sekaligus pengusaha rejim Orde Baru dengan kaki tangannya?” kata Fadjroel yang kelak pernah menjadi Juru Bicara Presiden Jokowi dan kini Dubes RI untuk Kazakhstan.
Sementara, dalam pleidoi berjudul “Menolak Menunduk: Menentang Penindasan Budaya Orde Baru,” Enin menyoroti budaya represif yang dibangun Orde Baru. Ia menguraikan cara rezim mengatur, mengawasi, dan mengarahkan dinamika masyarakat demi melanggengkan kekuasaan. Misalnya dalam praktik eufemisme berbahasa.
Eufemisme merupakan salah satu cara untuk menyembunyikan realitas, membuat publik tak bisa melihat dengan jernih kenyataan sesungguhnya. Misalnya, kata “diamankan” banyak dipakai aparat keamanan, padahal substansinya adalah “ditahan.”
“…Peristiwa 5 Agustus sesungguhnya adalah reaksi logis atas realitas kebudayaan represif yang ada. Sebagai ekspresi dari budaya alternatif/tandingan atau subbudaya masyarakat yang dalam hal ini muncul dari kalangan mahasiswa/kampus,” tulis Enin yang kini menjadi penulis dan kurator seni rupa terkemuka.
Tapi kenapa mereka mendemo Rudini? Dalam eksepsi, Ammarsyah menyatakan mantan KSAD itu bukan orang yang menepati janji.
“Ucapannya yang sangat populer ketika itu adalah: jangan tipu rakyat. Ia pernah menunjukkan kata-kata manis ketika terjadi kasus Kedung Ombo. Tetapi ucapannya itu hanya kata-kata belaka dan tidak terbukti dalam kenyataan. Berkaitan dengan kasus Kaca Piring dan Badega, mahasiswa dan masyarakat juga sempat menaruh harapan agar ia turun tangan menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Tetapi kasus ini tak kunjung selesai,” kata Ammarsyah yang juga Presiden KPM ITB. Tiga kasus yang disebut merupakan kasus penyingkiran rakyat dari tanah mereka.
Panjang-lebar mereka beragumentasi, dengan mengutip buku dan jurnal ilmiah, majelis hakim tetap bergeming. Enin, Fadjroel, Denci, Ucok, Bambang, dan Ammarsyah divonis tiga tahun penjara. Sementara, Bambang tiga tahun tiga bulan.
Dibawa ke Nusakambangan
Drama belum berakhir. Jumat 7 September 1990, menjelang tengah malam, sebuah mobil tahanan berangkat dari LP Kebonwaru, Bandung. Cuma ada polisi bersenjata laras panjang, seorang supir, dan enam mantan mahasiswa ITB tersebut. Para napi tak diinformasikan hendak dibawa ke mana.
Ternyata mereka dipindah ke LP Nusakambangan, tempat banyak penjahat kelas kakap disekap. Itu terjadi hanya gara-gara mereka “mendemo” Kepala LP Kebonwaru setelah Denci dilarang menghadiri pernikahan kakaknya. Konon mereka berteriak-teriak, melempar kursi, dan menendang tong sampah (Jakarta-Jakarta No. 220, 15-21 September 1989).
Kabar pemindahan ke Nusakambangan menyebar cepat. Para mahasiswa dan aktivis HAM segera bergerak, bahkan mendatangi Dirjen Pemasyarakatan Baharuddin Lopa dan Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Protes yang membuahkan hasil.
Pada Selasa 11 September 1990 malam, enam anak muda tersebut telah kembali ke Bandung. Mereka tidak dikembalikan ke LP Kebonwaru, melainkan dikirim ke LP Sukamiskin sampai dibebaskan pada akhir Februari 1992.
Masa hukuman selesai, kemarahan anak-anak muda kepada rezim korup dan bengis itu tak berhenti, bahkan berkecambah di kampus-kampus lain, dan memuncak pada Reformasi Mei 1998.
Ucok dan Ondos sempat menyaksikan kejatuhan Orde Baru. Tiga tahun kemudian Ucok meninggal dunia karena sakit; Ondos - yang sudah menjadi anggota DPR RI - berpulang karena kecelakaan lalu lintas pada 24 September 2012.
Dalam pleidoinya, Enin mengutip sepenggal lirik lagu The Police, "Born in The 50’s".
we are the class they couldn’t teach, ‘cause we knew better.
Agaknya itu juga yang tertanam di benak Ucok, Ammarsyah, Bambang, Fadjroel, dan Denci ketika mendemo Rudini pada Sabtu siang tersebut.
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono