Menuju konten utama

Sejarah Demo Mahasiswa Turunkan Presiden Tahun 1998 di Yogyakarta

Sejarah mencatat, Yogyakarta menjadi salah satu kota di Indonesia yang mengawali aksi demo mahasiswa jelang Reformasi 1998.

Sejarah Demo Mahasiswa Turunkan Presiden Tahun 1998 di Yogyakarta
Ribuan mahasiswa berkumpul di bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Mereka akan melakukan long march menuju Jalan Gejayan untuk melakukan aksi unjuk rasa, Senin (23/9/2019) tirto.id/Irwan Syambudi

tirto.id - Gelombang unjuk rasa yang digalang gerakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Sejarah mencatat, Yogyakarta menjadi salah satu kota yang mengawali aksi demo dengan tuntutan: turunkan Presiden Soeharto!

Kemenangan Golkar di Pemilu 1997 yang berujung bakal semakin lamanya kekuasaan Soeharto disambut dengan aksi unjuk rasa oleh mahasiswa di Yogyakarta. Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) saat itu, Ridaya La Ode Ngkowe, masih mengingat momen tersebut.

Pada Oktober 1997, kenang La Ode dikutip dari IDN Times, mahasiswa di Yogyakarta sudah mulai bergerak setelah Ketua Umum Golkar kala itu, Harmoko, menggelar safari dan mengumumkan bahwa Soeharto akan maju lagi sebagai presiden untuk periode 1998-2003.

“Saat itu Harmoko sebagai Ketua Golkar mengatakan rakyat Indonesia ingin Soeharto melanjutkan lagi [sebagai presiden]," kisah La Ode.

Elemen-elemen gerakan mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta pun merapatkan barisan. Mereka tidak ingin Soeharto berkuasa lagi setelah bertahun-tahun lamanya tidak tergoyahkan dari pucuk kekuasaan. Terlebih, kondisi perekonomian Indonesia waktu itu mulai diterpa krisis.

Maka, digelar referendum tentang kepemimpinan nasional untuk menyaring pendapat para mahasiswa apakah mereka masih menginginkan Soeharto tetap dicalonkan menjadi presiden atau tidak.

Syaifruddin Jurdi dalam Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia (2016) menuliskan, dari 9.587 suara, sebagian besar menyatakan bahwa mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto. Jejak pendapat yang dilakukan majalah Balairung juga menunjukkan, 93 persen mahasiswa UGM tidak ingin Soeharto menjadi presiden lagi.

Namun, setelah hasil referendum diumumkan, datang tekanan dari kampus, bahkan dari intel militer dan aparat kepolisian. Para mahasiswa tidak kehilangan akal. Hasil referendum tersebut kemudian mereka laporkan ke media-media non-mainstream, termasuk BBC, Suara Australia, VOA, dan lain-lain.

Tuntut Presiden Turun

Pemberitaan media-media non-mainstream terkait sikap mahasiswa, termasuk di Yogyakarta, atas rencana pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden membuat situasi semakin panas. Gerakan mahasiswa di Yogyakarta pun kian bernyali untuk bergerak lebih masif lagi.

Pada Minggu, 8 Maret 1998, mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung Yogyakarta menggelar aksi “Diam Menuntut Perubahan” di Jalan Malioboro. Namun, tulis Octo Lampito dalam Lengser Keprabon (1998), ketika mereka hendak bergerak menuju Alun-Alun Utara, aparat telah mengadang. Para peserta aksi itu dinaikkan ke truk dan diangkut ke markas Polresta Yogyakarta.

Rezim penguasa jalan terus. Pada 10 Maret 1998, Sidang Umum MPR memilih Soeharto dan BJ Habibie sebagai presiden dan wapres untuk periode 1998-2003. Esoknya, tanggal 11 Maret 1998 yang bertepatan dengan peringatan Supersemar, barisan mahasiswa di Yogyakarta menyambut pelantikan Soeharto dengan unjuk rasa.

Republika edisi 12 Maret 1998 mewartakan, digelar demonstrasi besar-besaran yang diikuti lebih dari 30 ribu mahasiswa di Yogyakarta. Pekik “Merdeka” dan “Allahu Akbar” mewarnai unjuk rasa di kampus UGM. Mereka menginginkan dibentuknya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Aksi serupa juga dilakukan di berbagai perguruan tinggi di beberapa kota besar lainnya. Di Surabaya dan Solo, misalnya, bahkan terjadi bentrokan antara petugas keamanan dan pengunjukrasa.

Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu, Wiranto Arismunandar, yang menuding bahwa mahasiswa amatiran dalam berpolitik membuat situasi semakin gerah.

Awal April 1998, saat Mendikbud hendak melantik Rektor UGM di Yogyakarta, mahasiswa menggelar berbagai kegiatan untuk menyambut sang menteri, dari demonstrasi, aksi mogok makan, hingga mimbar bebas. Mereka menuntut Mendikbud agar menarik kembali ucapan yang menyakitkan itu.

Sayangnya, dikutip dari penelitian Angga Apip Wahyu Saputra dari Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), bertajuk “Peranan Mahasiswa Yogyakarta dalam Perjuangan Reformasi di Indonesia” (2012), upaya itu gagal karena Mendikbud meninggalkan UGM lebih awal dari jadwal.

Rangkaian aksi protes yang terjadi di berbagai kota termasuk Yogyakarta sempat membuat Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan bahwa reformasi bisa dilakukan saat itu juga. Namun, statement itu dinilai tidak serius dan hanya sebagai taktik agar demonstrasi mereda. Mahasiswa tetap menginginkan Soeharto lengser.

Dari Gejayan ke Senayan

Pada 2 April 1998, mahasiswa berencana melakukan long march dari Bundaran UGM menuju Gedung DPRD yang terletak di Jalan Malioboro. Rencana tersebut terhambat karena dihalangi aparat yang sudah bersiaga di luar kampus.

Para peserta aksi dianggap mengganggu ketertiban umum oleh aparat. Polisi kemudian menawarkan kepada mahasiswa agar menumpang bus–agar lebih mudah diawasi dan menghindari mobilisasi massa yang lebih besar, namun ditolak.

Mahasiswa tetap bergerak dan terjadilah bentrokan. Selama lebih dari sejam, tulis Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia (2018), aparat dan mahasiswa saling melempar batu.

Keesokan harinya mahasiswa berencana demonstrasi lagi, kali ini tujuannya adalah Keraton Yogyakarta. Kala itu, Sultan Hamengkubuwana X belum menyampaikan dukungannya terhadap gerakan reformasi.

Aparat kembali mengingatkan agar mahasiswa tidak keluar kampus. Sebagian ada yang patuh, namun tidak sedikit pula yang tetap bergerak dan berusaha menembus blokade polisi. Terjadi aksi saling dorong, yang disusul dengan gesekan fisik.

Hari demi hari di Yogyakarta saat itu memang sering sekali diwarnai dengan aksi demonstrasi.

Dalam peringatan Hari Kartini di Yogyakarta pada 21 April 1998, mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya termasuk dosen, agamawan, pelajar, hingga seniman berkumpul di depan Gedung Sabha Pramana UGM.

Para peserta aksi yang jumlahnya mencapai 15 ribu orang ini, dinukil dari Bergerak: Media Aksi Mahasiswa UI (1998), tergabung dalam Rapat Akbar Masyarakat Yogyakarta. Mereka menginginkan perubahan dan mengungkapkan keprihatinan atas apa yang tengah menimpa ibu pertiwi.

Berikutnya tanggal 5 Mei 1998. Dikutip dari tulisan Hendra Kurniawan berjudul “Mengenang Gejayan Kelabu” yang dimuat di Kedaulatan Rakyat (8 Mei 2018), mahasiswa mulai bergerak dan harus menghadapi kekuatan aparat keamanan. Bentrok fisik tak terelakkan.

Keesokan harinya, mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta kembali menggelar unjuk rasa, termasuk UGM, UNY (dulu bernama IKIP Yogyakarta), Universitas Sanata Dharma (USD), dan UIN atau IAIN Sunan Kalijaga.

Di Jalan Gejayan (kini Jalan Affandi) yang melewati IKIP dan Sanata Dharma, terjadi kericuhan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Sebanyak 29 orang demonstran ditangkap.

Puncak unjuk rasa di Yogyakarta terjadi pada 8 Mei 1998. Selepas salat Jumat, ribuan mahasiswa menggelar aksi di Bundaran UGM dan berlangsung tertib. Mereka menyatakan keprihatinan atas kondisi perekonomian negara, penolakan Soeharto sebagai presiden kembali, memprotes kenaikan harga, serta mendesak segera dilakukan reformasi.

Menjelang sore, para mahasiswa dan masyarakat dari Jalan Gejayan bergerak menuju Bundaran UGM untuk bergabung dengan barisan pengunjukrasa di sana. Namun aparat keamanan tidak mengizinkan. Suasana mulai panas.

Bentrok pecah sekitar pukul 17.00 WIB. Dirangkum dari berbagai sumber, pasukan keamanan menggerakkan panser penyemprot air dan tembakan gas air mata untuk membubarkan aksi massa di pertigaan antara Jalan Gejayan dan Jalan Kolombo.

Suasana mencekam terus terasa di Jalan Gejayan dan sekitarnya hingga malam hari. Masih ada sebagian orang yang bertahan dalam kepungan polisi dan tentara. Aparat mengisolir dan menutup jalan-jalan menuju tempat kejadian perkara.

Jumat kelabu ini tak hanya menyebabkan banyak korban luka-luka dari kalangan mahasiswa, namun juga warga biasa. Bahkan, ada pula yang harus kehilangan nyawa. Seorang mahasiswa bernama Moses Gatotkaca ditemukan bersimbah darah dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Peristiwa berdarah di Gejayan, ditambah rangkaian kejadian lainnya termasuk Tragedi Trisakti di Jakarta yang menewaskan 4 orang mahasiswa, membuat keinginan untuk meruntuhkan rezim semakin besar.

Dari Gejayan, berbagai elemen rakyat dan mahasiswa bergerak ke Jakarta menuju Senayan, bergabung dengan barisan serupa yang datang dari seluruh penjuru Nusantara. Tanggal 21 Mei 1998, reformasi akhirnya terwujud. Soeharto lengser, Orde Baru tumbang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH POLITIK atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz