tirto.id - “Jerman bermutasi jadi negara yang berbeda,” komentar Arthur Wagner terhadap kebijakan Kanselir Angela Merkel membuka perbatasan dan menerima gelombang pengungsi. Wagner, politisi dari partai ultra-kanan AfD (Aliansi untuk Jerman), menuduh bahwa Merkel telah membuat kesalahan besar.
Mayoritas pengungsi yang diterima Merkel berasal dari Suriah yang waktu itu tengah dilanda perang sipil dan beberapa wilayahnya dikuasai ISIS.
Wagner dikenal sebagai politisi yang dikenal anti-Islam dan anti-imigran. Sikap ini sesuai dengan kebijakan yang diusung oleh partainya.
Bagi AfD, “Islam tidak bukan bagian dari Jerman”. Partai tersebut juga mengklaim bahwa penyebaran Islam di Jerman akan membahayakan ketertiban sosial.
Tak hanya beropini, AfD yang merupakan partai politik terbesar ketiga di Jerman itu juga pernah mencoba melarang pembangunan masjid di Jerman, bahkan menuntut polisi perbatasan menembaki para pengungsi jika hal itu bisa menghentikan arus migrasi mereka. AfD pun pernah memperingatkan kedatangan warga Muslim di Jerman lewat iklan mirip kampanye anti-Yahudi oleh Nazi pada tahun 1930-an.
Arthur Wagner duduk di kursi komite legislatif untuk negara bagian Brandenburg. Kerja-kerja Wagner berfokus pada gereja dan komunitas iman di Brandenburg.
Selasa lalu (24/1) ia diberitakan oleh media-media internasional karena masuk Islam.
Adalah surat kabar harian Jerman Tagesspiegel yang pertama kali melaporkan kepindahan agama Wagner. "Itu urusan pribadi saya," katanya kepada surat kabar tersebut ketika dimintai tanggapan.
Kendati akhirnya keluar dari AfD, Wagner mengatakan bahwa tidak ada upaya partai untuk memaksanya mengundurkan diri setelah masuk Islam. Dilansir dari The Local, juru bicara AfD Daniel Friese membenarkan keluarnya Wagner karena alasan pribadi.
"Agama adalah isu pribadi. Kami percaya pada kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam konstitusi," ujar Friese. Sekalipun demikian, AfD mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan fakta bahwa Wagner telah menjadi seorang Muslim.
“Di dalam AfD terdapat juga Muslim, Kristen, dan homoseksual,” tutur Friese kepada Guardian. Klaim ini tentu saja tidak berpijak pada kenyataan politik bahwa AfD adalah partai yang paling konsisten menggelorakan sentimen anti-imigran dan anti-Muslim.
Sebelum bergabung dengan AfD, Wagner adalah anggota partai Demokratik Kristen (CDU) yang mengusung Angela Merkel. Ia menyeberang ke AfD pada 2015 dan duduk di kursi wakil ketua komite komunitas Jerman-Rusia. Wegner diketahui juga pernah bekerja sebagai penerjemah bahasa bagi para pengungsi dari Chechnya.
Dari Kanan ke Kanan
Wagner bukanlah satu-satunya politikus dari ultra-kanan Eropa yang akhirnya memilih untuk memeluk apa yang selama ini ia benci. Jauh sebelum Wagner, Belanda mengenal Arnoud van Doorn, seorang politikus VVD (Partai Kebebasan dan Demokrasi).
Sehaluan dengan AfD di Jerman, VVD yang didirikan dan dipimpin Geert Wilders mengkampanyekan penutupan masjid, pelarangan peredaran Al-Quran, hingga pembatasan kuota imigran di Belanda. Geertz boleh saja tak menang di Pemilu 2017, akan tetapi perolehan kursinya bertambah berkat kampanye kebencian yang sudah jadi ciri khasnya sejak lama.
Bagi Wilders, Islam moderat adalah mitos dan Al-Quran setara dengan Mein Kampf karangan Hitler. Politisi keturunan Sukabumi ini juga mengatakan bahwa seandainya Nabi Muhammad hidup hari ini, ia akan diburu sebagai teroris.
Wilders pernah bikin gempar dunia Islam secara khusus ketika meluncurkan sebuah film berjudul Fitna pada 2008. Film yang memperlihatkan sosok Nabi Muhammad dengan sebuah bom di kepalanya ini menggambarkan Islam sebagai agama yang mempromosikan kekerasan dan terorisme.
Van Doorn turut andil dalam mempromosikan film yang dikecam dunia Muslim ini.
Namun semua itu berubah pada 2013. Tak hanya masuk Islam, Van Doorn bahkan langsung bertolak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia juga menyesali keterlibatannya dalam film Fitnadan ingin menebus kesalahannya dengan memproduksi film yang menunjukkan Islam dalam bingkai yang positif.
Dua tahun sebelum pindah agama, Van Doorn dipecat dari VVD. Kini ia memimpin PveD (Partai Persatuan), sebuah partai lokal di Den Haag yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam.
Namun kontroversi tak lepas juga dari Van Doorn. Pada 2014, NL Times memberitakan bahwa Van Doorn melontarkan pujian pada ISIS kendati mengambil jarak dari tindakan eksekusi sewenang-wenang organisasi ekstremis tersebut. “Dasar-dasar ISIS itu baik,” ujar Van Doorn sebagaimana dikutip NL Times.
Van Doorn terkenal aktif di sosial media. Saat pergi berhaji ia mencuit sejumlah foto kegiatannya. Pada 2015, seorang pebisnis Yahudi bernama Steve Maman rela membayar uang kepada ISIS untuk membebaskan ratusan tawanan Yazidi dan Kristen. Van Doorn kemudian mengomentari berita tersebut dengan cuitan “Untuk dijual lagi demi laba?
Setelah kicauan tersebut, berbagai surat kabar di Belanda mengecam pandangan Van Doorn sebagai “anti-Semit”. Pada Juli 2016 lalu, Van Doorn mengomentarinya percobaan kudeta di Turki sebagai “Konspirasi Zionis dan Barat” via akun Facebook pribadinya.
Nampaknya Van Doorn bergerak dari satu ekstrem kanan (ultra-nasionalis) ke jenis ekstrem kanan lainnya (ultra-religius).
Muslim di Belanda dan sejumlah negeri Eropa Barat cenderung mencoblos calon dari partai sosialis dan kiri lainnya. Sementara di Amerika Serikat, suara komunitas muslim secara tradisional jatuh ke Partai Demokrat yang liberal. Dalam hal ini, Van Doorn adalah anomali di Barat.
Faktor-Faktor Pindah Agama
Umumnya, mengubah agama adalah sesuatu yang kompleks karena diyakini agama berakar kuat dalam hubungannya dengan keluarga, tradisi budaya, ideologi, dan atau adat istiadat yang telah mendarah daging. Para peneliti telah mencoba mengurai perilaku pindah agama dalam berbagai macam perspektif mulai dari psikologi, sosiologi, antropologi hingga faktor politik.
Dalam Anthropology of Religious Conversion (2003), Diane Austin-Broos mengemukakan bahwa perpindahan agama bukan sekadar soal pengalaman pribadi atau supernatural, melainkan sebuah praktik sosial. Dalam kerangka itu, politik dan kekuasaan juga punya andil dalam mendorong konversi agama. Meski sering dinarasikan sebagai tindakan sukarela, dalam beberapa kasus pindah agama dilakukan karena faktor keterdesakan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam kasus kolonialisme, penaklukan wilayah, dan banyak peristiwa politik lainnya.
Di Indonesia misalnya, setelah peristiwa pembantaian massal 1965, banyak orang memeluk salah satu agama yang diakui negara agar tidak dituduh komunis. Sebagaimana dicatat Mujibburahman dalam Feeling Threatened:Muslim Christian Relations In Indonesia's New Order (2006), populasi umat Katolik di Indonesia meningkat hingga 7,45 persen dalam kurun waktu 1966- 1967. Peristiwa ini pula yang menyebabkan para penganut kepercayaan lokal terpaksa mencantumkan agama resmi di KTP mereka.
Namun perpindahan juga tak melulu antaragama yang berbeda. Beberapa orang hanya pindah denominasi, misalnya seorang Kristen yang pindah dari penganut Anglikan ke Katolik Roma karena beda pandangan soal imam perempuan.
Tak sedikit yang mengatakan bahwa perpindahan keyakinan Arnaud van Doorn dan Arthur Wagner sebagai “hidayah” yang artinya kira-kira “mendapat kebenaran dari Allah”.
“Hidayah”, “pertobatan” istilah-istilah sejenis seringkali digunakan untuk merujuk pengalaman spiritual yang melatarbelakangi pindah agama. Dalam studi-studi agama, fenomena disebut oleh John Lofland dan Norman Skonovd dalam “Conversion Motifs” (Journal for the Scientific Study of Religion, Desember 1981), sebagai “pindah agama karena pengaruh intelektual.” Persinggungan dengan teks, elemen-elemen kultural, dan perjumpaan intens dengan agama tertentu mewakili kategori ini.
Narasi-narasi agama juga akrab dengan kisah-kisah serupa pengalaman Arthur Wagner—dari pembenci ke penganut—misalnya cerita tentang Santo Paulus yang awalnya mempersekusi orang-orang Kristen tetapi akhirnya mengikuti jalan Yesus, maupun Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad yang dulunya menunjukkan permusuhan kepada Islam.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf