Menuju konten utama

Nestapa Warga Muslim Saat Modi Bawa India Semakin Hindu-sentris

India semakin Hindu-sentris di era Perdana Menteri Narendra Modi. Diskriminasi dan kekerasan terhadap warga muslim semakin meningkat.

Nestapa Warga Muslim Saat Modi Bawa India Semakin Hindu-sentris
Perdana Menteri India Narendra Modi dari Bharatiya Janata Party (BJP). (Foto AP / Saurabh Das)

tirto.id - Uttar Pradesh di India sejak lama terkenal sebagai destinasi wisata sejarah dan peziarahan. Di sanalah berdiri tiga situs yang ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO: Taj Mahal, Benteng Agra, dan Fatehpur Sikri. Ketiganya berhubungan dengan Imperium Mughal yang pernah menguasai India pada periode modern awal.

Pada era berkuasanya Jalaluddin Muhammad Akbar atau Akbar I (1556-1605), Uttar Pradesh menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan Mughal. Kala itu, Sultan Akbar I memusatkan pemerintahannya di Kota Agra dan Fatehpur. Karenanya, tidak mengherankan jika Pemerintah Negara Bagian Uttar Pradesh menginisiasi pembangunan Mughal Museum pada 2015.

Sesuai namanya, museum ini didedikasikan untuk menampilkan warisan budaya Mughal di Kota Agra. Ia akan diisi miniatur semua monumen bersejarah dari era Mughal yang berdiri di Agra. Ia juga akan memajang peta digital yang menampilkan lanskap Agra sejak era Mahabharata hingga Imperium Mughal, termasuk detail situs bersejarahnya. Lain itu, akan ada pula ruang khusus untuk serbaneka kerajinan khas Agra.

Mughal Museum hanya berjarak 1,3 kilometer dari Taj Mahal, situs peninggalan Mughal paling terkenal di Uttar Pradesh. Namun, proses pembangunannya kini terkatung-katung karena kesulitan pendanaan. Tak hanya itu, Mughal Museum juga terancam berganti konsep menjadi museum beraroma Hindu.

Pasalnya, Menteri Utama Uttar Pradesh Yogi Adityanath baru-baru ini memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Chhatrapati Shivaji Maharaj Museum.

Adityanath beralasan bahwa mengenang Imperium Mughal yang bercorak Islam sama artinya dengan merendahkan diri sendiri. Dia pun menyebut bahwa Mughal bukanlah pahlawan bagi India. Sebagai gantinya, Adityanath mengubah nama museum menjadi Shivaji—raja Maratha yang melawan Mughal pada abad ke-17.

"Museum akan didedikasikan untuk identitas India yang sebenarnya, yaitu tradisi dan warisan budaya Braj,” terang Sekretaris Pemerintah Uttar Pradesh Awanish Kumar Awasthi kepada Times of India.

Keputusan Adityanath itu lantas mengundang kontroversi. Pasalnya, keputusan Adityanath itu bertentangan dengan ide awal Akhilesh Yadav, menteri utama pendahulunya. Penggantian nama dan konsep museum itu juga dituduh berlatar sentimen agama dan hanya untuk kepentingan pemilu.

Salah satu kritik paling keras disampaikan oleh Wajid Nisar, pemimpin Samajwadi Party—salah satu partai lokal Uttar Pradesh. Nisar menilai Adityanath tidak punya visi yang orisinal untuk pembangunan Uttar Pradesh.

Menurut Nisar, perubahan nama museum itu juga sembrono dan ahistoris. Pasalnya, Raja Shivaji yang dijadikan nama baru itu tidak punya peran sejarah yang signifikan bagi Agra. Pertautan Raja Shivaji dengan Agra hanyalah ketika dia pernah ditahan di Benteng Agra usai dikalahkan tentara Mughal.

“Yogi Adityanath boleh saja mengubah nama kota, bandara, dan museum, tapi dia tidak akan pernah punya kekuatan untuk mengubah sejarah,” tegas Nisar sebagaimana dikutip India Today.

Menanggapi kritik itu, Adityanath berkilah bahwa pengubahan nama dan konsep museum itu berlatar patriotisme. Hanya saja, sejarah Mughal dan Islam bukanlah bagian dari semangat patriotisme India yang dia maksud.

“India masa kini adalah India Hindu yang patriotik. Nama Shivaji akan membangkitkan semangat nasionalisme dan kepercayaan diri orang India,” katanya sebagaimana dikutip The New York Times.

India Semakin Hindu-Sentris

Kasus pengubahan nama Mughal Museum itu adalah salah satu fenomena dari tren besar pasang naik nasionalisme Hindu di India. Pasang naik ini mengemuka sejak naiknya Narendra Modi ke tampuk kekuasaan tertinggi India. Modi yang populis itu dianggap menggiring India semakin Hindu-sentris.

Modi kerap dianggap terang-terangan menyulut api perpecahan antar-agama dan menyapu bersih jejak sekularisme India. Pemerintahannya dianggap hendak menegakkan supremasi Hindu dan menyingkirkan warisan Islam dalam narasi sejarah India. Kebijakan Adityanath di Uttar Pradesh pun sejalan dengan visi politik sang Perdana Menteri.

Itu tidak mengherankan mengingat Adityanath, seperti juga Modi, adalah anggota Bharatiya Janata Party (BJP)—partai nasionalis Hindu yang bercorak ekstrem kanan. Sejak terpilih menjadi Menteri Utama Uttar Pradesh pada 2017, Adityanath tidak ragu menunjukkan ketidaksukaannya pada kalangan muslim.

Kebijakan pengubahan nama tengara atau lanskap yang berbau Islam seperti Mughal Museum itu adalah salah satu caranya. Sebelumnya, pada 2017, rezim Adityanath menghapus gambar Taj Mahal dari brosur-brosur pariwisata Uttar Pradesh. Pengamat pariwisata India Sohail Hashmi menyebut hal itu sebagai bagian dari politik BJP.

“BJP berkuasa atas dasar ideologi bahwa identitas India adalah Hindu. Karenanya, Taj Mahal tidak cocok dengan idologi itu," kata Hashmi kepada Al Jazeera. "Mereka mengotak-kotakkan peninggalan sejarah India dalam dikotomi Hindu dan Islam."

Kemudian, pada 2018, Adityanath mengubah nama Kota Allahabad menjadi Prayagraj. Allahabad adalah nama yang disematkan oleh Sultan Akbar I. Karenanya, kelompok Nasionalis Hindu mendesak untuk menggantinya sesuai nama kuno kota itu. Bagi kelompok ini, raja-raja Mughal adalah perampok asing.

“Mughal adalah penjajah asing yang menaklukkan dan menjarah India. Oleh karena itu, ia tidak pantas dielu-elukan sebagai pahlawan nasional,” kata salah satu pentolan gerakan Nasionalis Hindu Vinod Bansal sebagaimana dikutip The New York Times.

Infografik India Semakin Kanan

Infografik India Semakin “Kanan” di bawah Narendra Modi. tirto.id/Fuadi

Didiskriminasi dan Distigma

Tidak hanya berusaha menghapus jejak sejarah dan budaya Islam, rezim Narendra Modi juga bertindak diskriminatif. Pada Desember 2019 lalu, BJP yang punya pengaruh kuat di Parlemen India berhasil mendorong disahkannya RUU Amandemen Kewarganegaraan menjadi undang-undang.

Undang-undang baru ini menggunakan agama sebagai kriteria untuk menentukan apakah migran ilegal di India layak mendapat kewarganegaraan. Undang-undang Kewarganegaraan itu memberi keistimewaan bagi semua agama di Asia Selatan kecuali Islam. Komunitas muslim India menyebut hal itu sebagai diskriminasi yang telanjang.

Pihak oposisi dan kelompok pembela HAM terang-terangan menyebut pengesahan undang-undang itu sebagai pukulan bagi demokrasi India. Komunitas muslim yang mencakup 14 persen dari total populasi India khawatir UU Kewarganegaraan itu akan digunakan untuk mencabut status kewarganegaraan mereka.

Gara-gara itu, demonstrasi besar-besaran pecah di seluruh India. Demonstrasi itu adalah goncangan terbesar yang pernah dihadapi Modi dan BJP sejak berkuasa pada 2014. Namun, Modi yang kekuatan politiknya tak tergoyahkan itu menolak disebut diskriminatif.

“Hormati Parlemen!” seru Modi dalam sebuah rapat umum di New Delhi. “Hormati Konstitusi! Hormati para wakil rakyat! Jika ada aroma diskriminasi dalam kebijakan-kebijakan saya, biar negara yang menentukan hukumannya.”

Gelombang protes itu pun pada akhirnya tak berpengaruh apa-apa sebab pandemi COVID-19 mulai melanda India. Seiring dengan ditetapkannya lockdown secara nasional, demonstrasi pun lindap.

Di masa pandemi ini, posisi warga muslim juga semakin terjepit. The New York Times melaporkan terjadinya peningkatan signifikan kasus kekerasan fisik maupun psikologis terhadap warga muslim selama masa pandemi. Mereka juga distigma sebagai penyebar utama virus korona di seluruh negeri.

Sudah babak belur begitu, warga muslim India masih juga dituduh playing victim oleh para pendukung Modi seperti Vinod Bansal.

“Ketika India merdeka dari Inggris, semua bendera dan identitas Inggris ditanggalkan. Patung Raja George V dan Ratu Victoria dirobohkan, tapi tidak ada penganut Kristen yang marah dengan hal itu dan menganggapnya sebagai serangan terhadap agama Kristen,” kilah Vinod.

Baca juga artikel terkait INDIA atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Politik
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi