tirto.id - Batuk dan pilek bisa menjadi salah satu tanda adanya infeksi virus atau bakteri dalam tubuh kita. Di masa pandemi saat ini sering kali saat ada seseorang yang batuk pilek maka akan langsung menimbulkan keresahan adanya infeksi virus Corona.
Namun ternyata penyebab batuk dan pilek tak selalu karena infeksi. Pada beberapa kasus batuk dan pilek bisa disebabkan oleh reaksi alergi seperti alergi suhu dingin atau debu.
Lantas bagaimana cara membedakan batuk pilek karena infeksi dan alergi?
Konsultan Alergi dan Imunologi Anak, Prof. Budi Setiabudiawan mengatakan salah satu cara untuk membedakan batuk pilek karena alergi dan infeksi adalah dengan mengukur suhu tubuh.
"COVID-19 kan infeksi. Kalau di saluran napas bisa batuk, pilek karena alergi atau infeksi? Untuk membedakannya perhatikan ada tidak demam," ujar Budi dalam virtual gathering Bicara Gizi "Allergy Prevention" dilansir Antara.
Selain itu, amati bagaimana kejadiannya misal batuk dan pileknya, apakah terjadi sepanjang hari atau lebih ke malam hari dan terakhir, perhatikan apakah dahak atau ingus berwarna dan kental.
Batuk pilek karena infeksi
Budi mengatakan jika ada demam, lalu batuk pileknya muncul pagi dan malam hari serta dahak atau ingusnya kental dan berwarna, maka dia kemungkinan mengalami infeksi.
Batuk pilek karena alergi
Jika pada kasus batuk pilek karena infeksi biasanya disertai dengan demam, maka menurut Budi pada kasus batuk pilek karena alergi biasanya tanpa disertai demam.
"Kalau alergi biasanya tidak disertai demam. Kejadian batuk pileknya terutama pada malam hari dan biasanya dahak atau ingusnya bening, tidak berwarna," tutur Budi.
Deteksi alergi
Budi menekankan pentingnya deteksi dini alergi terutama pada anak agar bisa segera mendapatkan penanganan sehingga tidak menganggu tumbuh kembangnya.
Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak normal untuk mengenali bahan-bahan yang sebenarnya tidak berbahaya bagi orang lain.
"Deteksi dini dan nutrisi tepat mencegah alergi anak. Kalau tidak dicegah bisa menjadi komorbid pada anak yang menempatkannya rentan terkena COVID-19," tutur Budi.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyebut penduduk dunia mengalami alergi 30-40 persen. Lalu, hingga 550 juga orang diketahui mengalami alergi makanan, salah satunya alergi susu sapi. Di Indonesia sekitar 7,5 persen anak mengalami alergi susu sapi.
Lebih lanjut, alergi biasanya dialami pada anak dengan bakat alergi yakni diturunkan dari salah satu atau kedua orang tuanya.
Jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi maka berisiko membuat anak mereka 40-60 persen terkena alergi.
Risiko akan meningkat menjadi 60-80 persen jika orang tua memiliki manifestasi yang sama.
Bila hanya salah satu orang tua yang memiliki riwayat alergi, maka risiko anak terkena alergi sekitar 20-40 persen.
Risiko anak terkena alergi masih tetap ada yakni 5-15 persen bahkan jika orang tua tak memiliki riwayat alergi.
"Apabila dikenali dini, ditangani dini akan optimal tata laksana, sehingga tidak berlanjut ke penyakit seperti eksim, asma, rhinitis alergi. Kalau terlambat diagnosa, akan muncul dampak-dampak disebakan penyakit alergi, dari sisi kesehatan misalnya meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti obesitas, hipertensi dan sakit jantung," papar Budi.
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH