tirto.id - Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi Rara Jongrang atau Loro Jongrang merupakan salah satu tinggalan masa klasik di Indonesia. Rara Jongrang dihubungkan dengan salah satu arca yang terdapat di Candi Prambanan, yaitu arca Durga Mahisasuramardhini.
Di kompleks Candi Prambanan terdapat beberapa candi, termasuk tiga candi induk, yaitu Candi Siwa, Brahma, dan Wisnu. Lokasi kompleks Candi Prambanan tak jauh dari Jalan Raya Solo-Yogyakarta yang menghubungkan Yogyakarta, Klaten, dan Surakarta.
Semenjak KRL mulai aktif melayani Yogyakarta-Surakarta, akses menuju candi semakin beragam. Jika memakai KRL, pengunjung dapat turun di Stasiun Brambanan.
Kompleks Candi Prambanan merupakan bangunan bernapas Hindu tinggalan dari Kerajaan Mataram Kuno. Pembangunan candi ini diperkirakan terjadi pada tahun 850 M saat Kerajaan Mataram Kuno berada di bawah kekuasaan Rakai Pikatan. Pendapat itu dikaitkan dengan isi dari Prasasti Siwagrha (berangka 856 M) yang menyebut tentang peresmian bangunan candi.
“Dari prasasti Siwagrha tersebut diketahui informasi penting bagi sejarah, yaitu peresmian sebuah bangunan suci untuk Dewa Siwa dan disebut dengan Siwagrha atau Siwalaya yang diidentikan dengan Candi Prambanan,” tulis tim penulis buku Pelapukan Batu Candi Siwa Prambanan dan Upaya Penanganannya (2004, hlm. 15).
Laporan Awal Keberadaan Candi di Prambanan
Saat pertama kali ditemukan, kondisi sejumlah candi yang ada di Prambanan tidak terawat. Laporan pertama mengenai keberadaan candi-candi ini berasal dari uraian singkat Mpu Tanakun, seorang penyair yang berkelana dari Tumapel pada abad ke-15.
“Sebuah kompleks percandian besar dari masa purbakala berdiri tegak dekat dengan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebuah gunung, dan jalan di sana sepi,” tulis Roy Jordaan dalam “Candi Prambanan Sebuah Pendahuluan Mutakhir”--termuat di buku Memuji Prambanan: Bunga Rampai Cendekiawan Belanda tentang Kompleks Percandian Loro Jongrang (2009, hlm. 18).
Laporan berikutnya datang dari pegawai VOC bernama Cornelius Anthonie Lons. Pada tahun 1733 ia berkesempatan mengunjungi Yogyakarta dan mampir ke reruntuhan candi. Namun, masih belum diketahui dengan jelas apakah yang ia maksud Candi Sewu atau Candi Prambanan.
“Ia (Lons) menyebutnya sebagai sebuah bukit besar yang dipuncaknya menyeruak atap-atap reruntuhan bangunan batu,” tulis tim penulis buku Membangun Kembali Prambanan (2009, hlm 4).
Dari apa yang dilihat oleh Cornelius Anthonie Lons, kondisinya serupa dengan Candi Borobudur saat ditemukan kembali pada 1814. Bangunan candi yang lama tidak digunakan selama berabad-abad membuat kondisi candi menjadi tidak utuh seperti sebelumnya.
Beberapa Survei di Sepanjang Abad ke-19
Setelah laporan dari Cornelius Anthonie Lons, pada awal abad ke-19 candi-candi di Prambanan kembali mendapat perhatian. Tahun 1805 Gubernur Nicholas Engelhard memberikan perintah untuk melakukan survei awal.
Orang yang ditugaskan oleh Gubernur Nicholas Engelhard adalah Hermanus Christian Cornelius, seorang insinyur pasukan zeni Belanda. Cornelius tidak sendirian, ia ditemani kartografer bernama J.W.B. Wardenaar, dan J.A. van der Geugten, seorang guru. Mereka melakukan survei pada tahun 1805 hingga 1806.
“Pengukuran yang dilakukan oleh Cornelius meskipun dianggap kurang akurat namun menjadi awal bagi kegiatan selanjutnya yang lebih sistematis,” ungkap Sugeng Riyanto dalam “Candi Prambanan: Pengelolaan dan Potensi Persoalannya” yang terbit dalam Berkala Arkeologi (Vol 27, No. 2, November 2007, hlm. 67).
Dalam survei itu, Cornelius menghasilkan beberapa gambar, seperti peta area candi dan reruntuhan candi.
Kajian terhadap tinggalan candi di Prambanan kembali berlanjut meskipun Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan Inggris. Pada Januari 1812, Gubernur Thomas Stamford Raffles mengirim utusannya untuk melakukan survei terhadap tinggalan candi di Prambanan.
Tugas ini oleh Raffles diserahkan kepada Kolonel Colin MacKenzie dan Kapten George Baker. Survei yang dilakukan oleh MacKenzie tidak dapat dipisahkan dari hasil survei Cornelius.
Hal itu diakui sendiri oleh MacKenzie. "Beberapa insinyur Belanda kemudian menunjukkan kepada saya rencana dan profil dari beberapa candi ini yang diambil dari pengukuran pada tahun 1806, ketika mereka pertama kali menarik perhatian pejabat pemerintah Belanda,” catat Roy Jordaan dalam “Nicolaus Engelhard and Thomas Stamford Raffles: Brethren in Javanese Antiquities” yang terbit pada Indonesia (2016, hlm. 50).
Setelah masa Inggris dan Hindia Belanda kembali berada di bawah Belanda, kondisi candi-candi di Prambanan kembali sepi dari survei-survei para ahli. Kondisi itu bertahan selama hampir 73 tahun, hingga akhirnya pada 1885 Jan Willem Ijzerman--ketua dan pendiri Archeologische Vereniging Yogyakarta--mengalihkan pandangannya pada Prambanan.
Saat Ijzerman melakukan survei, sebagaimana dilaporkan De Nieuwe Vorstenlanden (5 Agustus 1885), kondisi candi-candi itu seluruhnya tertutup pasir, tanah, dan batu sehingga membentuk bukit.
Ijzerman bersama para anggota Archeologische Vereniging Yogyakarta kemudian membersihkannya. Pekerjaan ini dianggap sebagai usaha awal untuk menyusun kembali bangunan candi-candi di Prambanan.
Namun sayangnya pekerjaan yang dilakukan oleh Ijzerman dianggap cukup kasar.
“Bila dinilai menurut standar keilmuan terkini, maka metode itu sebenarnya cukup kasar, dan kita harus mengakui bahwa hasil-hasil penggaliannya diperoleh dengan mengorbankan banyak informasi penting dan tak bisa diperoleh kembali,” ungkap Roy Jordaan dalam tulisannya (2009, hlm. 18).
Apa yang dilakukan Ijzerman menurut Jordaan menghilangkan banyak keterangan tentang bangunan asli dan ornamentasi candi-candi. Kondisi itu bertambah buruk karena tidak ada catatan soal pekerjaan yang dilakukan.
Tak heran bila kemudian Jan Laurens Andries Brandes menyebut hasil pekerjaan Ijzerman sebagai pembantaian arkeologis secara besar-besaran.
Setelah Ijzerman, survei selanjutnya dilakukan oleh Isaac Groneman pada 1889. Apabila pekerjaan sebelumnya dikatakan cukup kasar, maka apa yang dikerjakan Groneman dapat dikatakan lebih kasar.
“Sebuah pekerjaan pembersihan yang membuat pekerjaan pemugaran selanjutnya menjadi jauh lebih rumit,” terang Jan Fontein dalam artikel “De Verdwenen Beeldjes van Prambanan” yang terbit dalam Aziatische Kunst (Vol 38, No. 4, 2008, hlm. 52).
Pekerjaan yang dilakukan Groneman membuat banyak bagian candi menjadi rusak bahkan hilang. Roy Jordaan menyebut Groneman mengumpukan arca-arca dan potongan batu candi untuk kemudian dipilah. Batu-batu candi yang tidak memiliki hiasan kemudian dibuang ke ngarai sungai yang ada di sebelah barat candi.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi