tirto.id - PT Kereta Api Indonesia (KAI) memasang target besar untuk mengembangkan operasi layanan kereta api di luar Pulau Jawa mulai tahun 2026. Langkah ini menjadi upaya memperluas jaringan transportasi nasional agar menjangkau wilayah-wilayah lain, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, mengungkapkan rencana tersebut saat berada di Beijing, Rabu (12/11/2025). Bobby mengatakan, target pengembangan ini merupakan arahan Presiden, Prabowo Subianto.
"Mau tidak mau kami harus mulai ekspansi itu di tahun 2026 dan tentunya Pak Presiden maunya dilaksanakan dan selesai dalam periode pertama beliau," kata Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, di Beijing, dikutip dari Antara.
Sebelumnya, saat peresmian Stasiun Tanah Abang pada 4 November 2025 lalu, Prabowo memang sempat meminta PT KAI untuk menyelesaikan penambahan 30 titik perpanjangan rel dan rangkaian kereta baru dalam waktu maksimal satu tahun.
Prabowo juga meminta ada pengembangan jalur kereta api di luar Pulau Jawa, termasuk Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pengembangan tersebut untuk mendukung distribusi barang logistik hasil bumi, seperti kelapa sawit, karet, kopi, timah, nikel.
Kehadiran Bobby di Beijing sendiri merupakan bagian dari kunjungan kerja bersama Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi, Direktur Jenderal Perkeretapian, Allan Tandiono, dan sejumlah pejabat lainnya.
Rombongan itu menjumpai Menteri Transportasi Tiongkok dan pemangku kepentingan industri perkeretaapian di Beijing, Qingdao, dan beberapa kota lain di China.
"Di China kami juga bicara mengenai financing proyek yang sifatnya lebih ekspansi seperti misalnya di Kalimantan, dari green field bagaimana kita membangun jaringan kereta di green field," ujar Bobby.
Istilah "green field" merujuk pada proyek pembangunan yang dimulai sepenuhnya dari nol. Proyek ini mencakup seluruh aspek mulai dari perancangan jalur, pembangunan jembatan, terowongan, tanggul, galian, hingga sistem persinyalan dan elektrifikasi.
Artinya, infrastruktur kereta tersebut benar-benar baru tanpa memanfaatkan jalur yang sudah ada. Dalam konteks Kalimantan, proyek semacam ini memiliki tantangan besar karena memerlukan investasi besar dan koordinasi lintas sektor.
Meski demikian, pemerintah telah menempatkan pembangunan kereta di Kalimantan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 16 Tahun 2025. Salah satu proyek yang tercantum adalah "Infrastruktur Kereta Api Logistik di Kalimantan Timur".
Tantangan Pembiayaan
Dalam hal pengembangan layanan kereta api, KAI sebenarnya berperan sebagai operator. Dengan demikian, menargetkan operasi di luar Pulau Jawa mesti terlebih dahulu memastikan prasarana di wilayah-wilayah yang dituju dan ini merupakan ranah pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Peneliti Senior Inisiatif Strategis Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, mengatakan, sebagai wilayah yang didominasi oleh komoditas ketimbang penumpang, pengembangan kereta logistik hingga ke luar Jawa sudah tepat.
“Di Jawa sendiri penduduk ada 60 persen, jadi memang luar Jawa lebih tepat untuk angkutan logistik, seperti hasil tambang, pertanian, industri, dan perkebunan,” tutur Deddy ketika dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (13/11/2025).
Kebutuhan itu dinilai paling penting dilakukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sementara kota-kota besar di luar Jawa, seperti Medan, Palembang, Denpasar dan Makassar, Deddy bilang, perlu adanya pembangunan KA perkotaan masif.
Akan tetapi, perluasan ini bukan berarti tanpa tantangan. Menurut Deddy, tantangan utama mengembangkan layanan kereta api logistik di luar Pulau Jawa adalah pembiayaan. Itu mengapa butuh komitmen dan kerja sama pemerintah dengan pihak lain.
“Walau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas, bisa saja pendanaan [digelontorkan] melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU/PPP),” lanjut Deddy.
KPBU merupakan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Tujuannya untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh menteri/kepala lembaga/kepala daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.
Kereta barang yang saat ini sudah beroperasi untuk menghubungkan pulau-pulau lain di luar Jawa, salah satunya yakni kereta api batu bara rangkaian panjang (Babaranjang). Babaranjang merupakan hasil kerja sama antara Bukit Asam dengan PT KAI. Kereta itu mengangkut batu bara milik PT Tambang batu bara Bukit Asam, yang berlokasi di Sumatera Selatan.

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, Babaranjang termasuk kereta yang bermanfaat secara maksimal.
“PT KAI juga membantu membangun double track, tapi baru parsial, perlu total. Dalam rangka untuk meningkatkan kapasitas angkutan karena itu potensialnya cukup tinggi, itu yang cukup besar pendapatannya dari angkutan ,” ungkap Djoko kepada Tirto, Kamis (13/11/2025).
Dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (Ripnas KA) disebutkan, perjalanan barang menggunakan kereta api pada tahun 2030 ditaksir mencapai 995,5 juta ton per tahun. Perjalanan barang dominan terjadi di Pulau Jawa-Bali, yakni sebesar 534 juta ton/tahun (53,6 persen) dan di Pulau Sumatera sebesar 403 juta/tahun (40,5 persen).
Biaya Logistik Tinggi karena Kemacetan Transportasi Darat
Sudah bukan rahasia umum bahwa biaya logistik di Indonesia termasuk tinggi ketimbang negara-negara lain. Dalam Indeks Kinerja Logistik (Logistic Performance Index/LPI) yang dikeluarkan Bank Dunia misalnya, pada 2023 Indonesia memiliki skor total 3,0 atau berada di peringkat 61. Nilai itu sedikit melorot dibandingkan LPI 2018 (skor 3,15 atau peringkat 46).
Apabila dibandingkan dengan negara Asia lain seperti China (skor 3,7), India (skor 3,4), serta negara-negara ASEAN seperti Singapura (skor 4,14), Malaysia (skor 3,43), dan Thailand (skor 3,26 atau peringkat 45), maka Indonesia bisa dibilang masih punya pekerjaan rumah yang sangat besar di sisi kinerja logistik.
Dengan adanya wacana pengembangan layanan kereta barang ke luar Pulau Jawa, Djoko dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, meyakini hal itu bisa berpotensi menurunkan ongkos logistik.

Akan tetapi Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, berpendapat, untuk melihat proyeksi itu, rencana ini harus dihitung dahulu dampak dan feasibility studinya. Apalagi, tingginya biaya logistik disebabkan karena kemacetan pada transportasi darat.
Penyebab lainnya yaitu lantaran Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga distribusi logistik di negara kepulauan kerap membutuhkan perpindahan moda transportasi yang membutuhkan bongkar muat.
Adapun pemain di pasar logistik juga disebut Esther terbatas dan ada kesepakatan antar perusahaan logistik untuk menerapkan tarif logistik.
“Tapi di sisi lain, biaya logistik ini tinggi karena tidak efisien sistem transportasi Indonesia. Contoh kalau barang diangkut dengan pesawat dari Kalimantan Barat ke Kalimantan Utara harus ke Jakarta dulu karena hub-nya di Jakarta,” tutur Esther lewat pesan teks, Kamis (13/11/2025).
Dalam jangka waktu empat tahun mendatang, alias pada 2029, pemerintah menargetkan biaya logistik nasional turun menjadi 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini diharapkan bisa mendekati standar efisiensi global dan memperkuat daya saing ekspor Indonesia.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Iqbal Shoffan Shofwan, mengatakan biaya logistik Indonesia kini masih berada di level 14,29 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan rasio di negara-negara maju yang berada pada kisaran 8–10 persen.
“Kami tuh baru mau akan menargetkan dari 14,29 persen menjadi 12 persen di tahun 2029. Kemudian di 2045, kami baru mau akan [mengupayakan] menjadi 8 persen,” kata Iqbal, dilaporkan Antara, Selasa (4/11/2025).
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































