tirto.id - Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) menilai kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen di 2025 belum sesuai dengan apa diharapkan oleh buruh. Kenaikan UMP tersebut, bahkan jauh lebih rendah dari yang semula diusulkan oleh buruh sebesar 20 persen.
"Kalau dari ASPIRASI tentu ini tidak sesuai dengan apa yang kami inginkan. Bahwa kami awal menyampaikan 20 persen untuk UMP 2025," ujar Presiden ASPIRASI, Mirah Sumirat, saat dihubungi Tirto, Sabtu (30/11/2024).
Mirah menyampaikan, secara pararel saat mengusulkan kenaikan UMP 20 persen dia juga meminta pemerintah untuk menurunkan harga-harga pangan. Di samping pemerintah juga diminta untuk memberikan tambahan subsidi listrik, BBM, hingga transportasi bagi kawan-kawan buruh.
"Kalau itu dilakukan akan terwujud tuh pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang oleh pemerintah sebesar 8 persen dan akan meningkatkan daya beli luar biasa cepat," kata Mirah.
Lagi pula, kata Mirah, seandainya pemerintah menaikan upah minimum 20 persen, maka ketika ada kebijakan kenaikan rencana PPN 12 persen itu tidak lagi ada persoalan. Namun, jika kenaikan yang ditetapkan hanya 6,5 persen maka sulit untuk meningkatkan daya beli.
Karena secara psikologis, kata Mirah, ketika ada kenaikan upah maka diiringi dengan kenaikan harga-harga barang. Dan kenaikan itu akan menjadi percuma bagi kawan-kawan buruh.
"Kalau saya rata-ratakan upah nasional Rp3 juta misalnya dan naik 6,5 persen, maka cuma naik 200 ribuan. Sedangkan nanti secara psikologis kenaikan diiringi dengan kenaikan harga barang dengan kondisi ekonomi saat ini," jelas dia.
Kendati sudah terlanjur diumumkan, Mirah sendiri berharap dengan kenaikan 6,5 persen, maka pemerintah harus segera menurunkan harga-harga pangan agar daya belinya terjaga. Kedua pemerintah juga perlu memberikan subsidi untuk buruh pekerja listrik, BBM, serta bantuan sosialnya.
"Maka dari itu harapan saya dengan kenaikan 6,5 persen segera Pak Prabowo turunkan harga-harga dan berikan subsidi untuk menjaga daya beli," pungkas dia.
Sementara itu, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) justru menuntut adanya perubahan upah minimum menjadi upah layak nasional. Setidaknya di 2025 nanti mereka berharap harus ada peningkatan kenaikan upah sebesar 25 - 30 persen dari nilai UMK yang berlaku tahun ini.
Tuntutan kenaikan upah buruh untuk 2025 sebesar 25-30 persen itu, dilandasi atas banyaknya kebijakan ekonomi negara yang cenderung memproteksi lingkaran pengusaha semata tanpa melihat kondisi rakyat yang berada di bawah, khususnya kaum buruh.
"Padahal pengeluaran biaya hidup buruh dan keluarganya saja mengalami peningkatan cukup besar, namun dibalik tingginya biaya hidup tersebut kenaikan upah justru tidak terjadi," ujar Koordinator Presidium GEBRAK, Sunarno dalam pernyataannya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5 persen. Dia menjelaskan bahwa usulan awal dari Menteri Ketenagakerjaan adalah sebesar 6 persen. Namun, setelah bertemu perwakilan organisasi dan serikat buruh, Prabowo memutuskan untuk menaikkannya menjadi 6,5 persen.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengumumkan kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5 persen. Dia menjelaskan bahwa usulan awal dari Menteri Ketenagakerjaan adalah sebesar 6 persen. Namun, setelah bertemu perwakilan organisasi dan serikat buruh, Prabowo memutuskan untuk menaikkannya menjadi 6,5 persen.
"Menteri Tenaga Kerja mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 6 persen. Namun, setelah membahas juga dan melaksanakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan buruh, kami ambil keputusan untuk menaikkan rata-rata upah minimum nasional pada tahun 2025 sebesar 6,5 persen," kata Prabowo dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jumat (29/11/2024).
Prabowo menegaskan bahwa penetapan kenaikan upah pekerja tersebut merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap perlindungan sosial pekerja.
"Sebagaimana kita ketahui, upah minimum ini merupakan jaringan pengaman sosial yang sangat penting bagi pekerja yang bekerja di bawah 12 bulan dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak," katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang