Menuju konten utama

"Kemiskinan Hanya Turun 500 Ribu Orang"

Sejumlah indikator makro ekonomi menunjukkan perbaikan selama 2 tahun pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla. Namun, banyak kekurangan yang masih patut untuk dicermati.

Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati. [ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma]

tirto.id - Pencapaian sektor ekonomi sepanjang dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Bahkan masih jauh dari berbagai target yang dipatok di dalam Nawacita.

Enny Sri Hartati, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebut pertumbuhan ekonomi 5,18 persen tak mencukupi kebutuhan ekonomi negeri ini. “Kalau istilah saya, makro prudensialnya terjaga tapi semu,” katanya kepada Aditya Widya Purti dari tirto.id, Rabu (19/10/2016).

Masih menurut Enny, berbagai indikator juga mengalami kemunduran. Seperti pertumbuhan sektor riil, daya saing, atau daya beli masyarakat. Bagaimana Enny melihat kebijakan tax amnesty? Berikut wawancaranya;

Bagaimana Anda menilai pencapaian ekonomi selama dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla?

Kalau istilah saya, makro prudensialnya terjaga tapi semu, karena pertumbuhan ekonomi 5,18 persen tidak mencukupi kebutuhan ekonomi kita. Sementara untuk investasi, sekalipun sudah dikeluarkan 13 paket Kebijakan Ekonomi, industri tumbuh bukan di sektor riil tapi hanya di sektor fisik.

Pertumbuhan sektor riil justru melambat dengan indikasi pertumbuhan industri manufaktur terbatas hanya 4,5 persen. Pertanian dan pangan juga seperti itu. Akibatnya impor konsumsi naik tajam. Hal itu disebabkan investasi yang tumbuh hanya sektor fisik, bukan manufaktur yang produktif.

Akibatnya produktivitas pun menurun. Impor bahan baku ikut turun. Yang naik malah barang konsumsi. Jika penetrasinya impor konsumsi naik, berarti daya saing kita menurun. Padahal Nawacita jelas menyebut bagaimana meningkatkan produktivitas dan daya saing. Tapi untuk poin ini belum membaik. Indeks daya saing kita justru menurun dari 34 ke 37.

Terjadi impor untuk sektor pangan?

Untuk sektor pangan, pada periode Januari-Juli, impor pangannya sudah melampaui periode Januari-Desember 2015. Ambil contoh saja impor beras yang mencapao sekitar $400 juta yang awalnya $300 juta sekian. Ini miris ditambah fiskal kita yang juga buruk. Utang luar negeri juga naik.

Bagaimana dengan sektor perdagangan?

Kinerja perdagangan memang surplus. Tapi pertumbuhan ekspor kita minus dan yang naik impornya. Ya itu tadi, makronya terjaga baik tapi semu.

Inflasi juga 3 persen. Ini di bawah target 4 persen. Bukan kabar baik karena rendahnya inflasi mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat. Idealnya indikator makro yang naik itu diikuti mikro prudensial yang juga naik. Tapi kita mikronya justru babak belur.

Industri skala besar sampai menengah kita babak belur. Usaha besar dan menengah sedang turun. Kenaikan memang hanya untuk usaha kecil. Tapi ini justru membuktikan industrinya tidak bergerak.

Ada indikator lainnya?

Beberapa indikator lain juga mengalami kemunduran. Misalnya daya saing dan kesempatan yang turun. Ini berkaca pada ekspor yang turun tadi. Daya beli masyarakat juga turun jika dilihat dari inflasi.

Walaupun angka kemiskinan dan pengangguran turun, tapi kemiskinan penurunannya juga sangat terbatas. Kalau kita lihat angka kemiskinan 28,51 juta orang sementara anggaran untuk menurunkannya Rp 100 triliun, maka dengan anggaran sebanyak itu, kemiskinan yang turun hanya 500 ribu orang. Belum lagi ditambah fakta bahwa kemiskinan yang turun kebanyakan terjadi di kota. Sementara di desa, kemiskinan stagnan. Masih sama.

Selanjutnya angka pengangguran terbuka. Memang turun menjadi 430 ribu orang, tapi angkatan kerjanya juga turun. Jadi tidak ada perbaikan apapun. Apalagi kini pengangguran juga banyak yang bergeser ke sektor informal. Jadi meski terlihat turun, tapi tak berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat.

Bagaimana dengan nilai tukar rupiah?

Nilai tukar juga stagnan. Sementara untuk target kemandirian di bidang energi, impor energi kita justru meningkat 40 juta kilo liter. Sekarang ketika konsumsinya 64 juta kilo liter, secara otomatis impornya juga bertambah.

Apa yang menjadi catatan Anda?

Kalau kita melihat Nawacita, janjinya bakal meningkatkan pembangunan dari pinggir (desa). Dengan harapan akhir, yakni daerah perbatasan yang sejatinya kaya raya hidup masyarakatnya akan membaik. Tapi kini kan kawasan tersebut malah berada di zona merah, seperti Papua.

Bagaimana Anda melihat kebijakan tax amnesty?

Repatriasinya kan tidak sampai 14 persen. Padahal repatriasi seharusnya menjadi tolok ukur. Tapi repatriasi cuma mengumpulkan kira-kira Rp124 triliun dari target Rp1.000 triliun. Tax amnesty memang berhasil mengumpulkan lebih dari Rp3,000 triliun, tapi yang terbesar merupakan deklarasi dalam negeri. Jumlahnya mencapai Rp2.061 triliun.

Jadi hanya declare dan tak ada pembiayaan signifikan yang masuk. Kalau repatriasi kan seharusnya ada sumber dana baru. Bisa dipergunakan untuk membangun infrastruktur seperti pabrik. Kalau sekedar deklarasi, walaupun jumlahnya besar, hanya penerimaan dari tebusan. Tapi sumber dana baru yang masuk untuk menambah pembangunan, sebenarnya yang Rp1 000 triliun tadi. Bukan declare dalam negeri.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Mild report
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti