tirto.id - “Ini masalah komitmen. Kita berkomitmen. Penguatan KPK harus riil, penguatan KPK harus riil,” kata Joko Widodo dengan nada pengulangan tentang komitmen dan penguatan KPK, saat wawancara khusus dengan NET TV pada musim kampanye Pemilihan Presiden dua tahun lalu.
Jokowi pun memberi solusi penguatan lembaga antirasuah jika terpilih menjadi presiden. “Tambah anggarannya. Kalau perlu, hitungan kami kalau ekonomi bisa tumbuh di atas 7 persen bisa tujuh kali lipat dan kekurangan penyidiknya juga harus ditambah. Kekurangan berapa? Seribu ide? Tambah seribu ide,” jawab Jokowi sembari menekankan tak boleh sekedar basa-basi.
Sehari sebelum dilantik dan diarak menuju Istana Negara pada 20 Oktober 2014, Jokowi menyambangi Kantor KPK di Kuningan. Jokowi menemui empat pimpinan KPK, yaitu Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busro Muqodas dan Adnan Pandu Praja. Jokowi berjanji bakal rutin bertemu pimpinan KPK hingga masa jabatan lima tahun berakhir. Jokowi juga menyepakati bakal menjalankan rekomendasi KPK seperti tertuang dalam Buku Putih “8 Agenda Anti Korupsi KPK bagi Presiden 2014-2019”.
Namun, begitu menjabat beberapa bulan, KPK justru digoyang. KPK seolah diserang secara sporadis dan sistematis. Konfliknya bermuara pada pergantian Kapolri. Langkah KPK menjadikan Komjen Budi Gunawan –calon tunggal Kapolri-- sebagai tersangka, justru berujung pada kriminalisasi pimpinan KPK.
Gara-gara konflik tersebut, kinerja KPK terhambat. Tidak ada kasus pengungkapan korupsi signifikan di tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK. Regulasi yang keluar pun tak jauh berbeda dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Guna menguatkan komitmen pemberantasan korupsi, Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Tahun 2015 tentang Pemberantasan Korupsi.
Subtansinya pun tak jauh berbeda dengan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang Upaya Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dikeluarkan SBY. Pada tahun 2012, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang dan Menengah”. Maka Pesiden Jokowi pun seolah hanya melanjutkan tradisi pemerintahan sebelumnya.
Vonis Ringan Koruptor
Pada tahun 2015, tepat setahun pemerintahan Jokowi, Indonesian Corruption Watch (ICW) memberi rapor merah untuk pemberantasan korupsi. ICW memberikan nilai 5 karena kebijakan pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi-JK belum maksimal. Masyarakat cenderung kecewa dengan kebijakan Jokowi terkait pemberantasan korupsi.
Pemberian rapor merah bukannya tanpa tolak ukur. ICW menggunakan tujuh parameter sebagai bahan pertimbangan untuk menilai kinerja pemerintahan Jokowi di bidang pemberantasan korupsi. Yakni pemilihan Kabinet Kerja, pemilihan pimpinan penegak hukum, kinerja penindakan pemberantasan korupsi, regulasi terkait dengan pemberantasan korupsi, dukungan terhadap KPK, pernyataan pemberantasan korupsi Jokowi-JK, serta pelaksanaan program Nawacita bidang pemberantasan korupsi.
Lalu bagaimana dengan pengungkapan kasus-kasus rasuah selama dua tahun pemerintahan Jokowi? Tidak banyak kasus korupsi yang diungkap. Maklum, KPK sempat mengalami kevakuman untuk mengungkap kasus korupsi sejak terjadi kriminalisasi tadi. Apalagi KPK baru benar-benar memiliki pimpinan pengganti pada akhir 2015.
Jika melihat kasus korupsi yang diungkap, tercatat ada beberapa yang menyangkut nama pejabat atau pemegang kuasa. Pertama kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II yang menyeret Ricard Josh Lino.
Kedua dugaan suap yang dilakukan oleh Rio Patrice Capela, politisi Nasdem. Rio menjadi tersangka dugaan penerimaan gratifikasi terkait proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD di Provinsi Sumatera Utara oleh kejaksaan.
Kasus ketiga yang sempat membuat heboh, tak lain dugaan penyelewengan dana Bantuan Sosial oleh Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Politisi PKS ini dituding menyebabkan kerugian negara Rp2,2 miliar. Kasus lain menyangkut politisi adalah dugaan suap Mohamad Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta dari Gerindra. Sanusi diduga menerima suap Raperda Reklamasi dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sempat diperiksa sebagai saksi.
Kasus paling mutakhir tak lain dugaan korupsi yang dilakukan Irman Gusman, Ketua DPD RI. Irman diduga menerima gratifikasi dalam pengurusan kuota impor untuk Provinsi Sumatera Barat tahun 2012. Kasusnya sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan oleh KPK.
Menarik mencermati laporan ICW tentang vonis perkara korupsi. Menurut ICW, tren vonis bagi para koruptor dalam tahap mengkhawatirkan karena cenderung semakin ringan. Rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor pada tahun 2013 adalah 2 tahun 11 bulan. Kemudian pada tahun 2014 menjadi 2 tahun 8 bulan. Keduanya di era Presiden SBY.
Sementara di era Presiden Jokowi, yakni tahun 2015, rata-rata vonis adalah 2 tahun 2 bulan. Sedangkan sepanjang semester I tahun 2016 menjadi 2 tahun 1 bulan. Berbagai vonis tersebut dinilai ICW belum berpihak terhadap semangat pemberantasan korupsi.
Masih berdasarkan laporan ICW tadi, dari 325 perkara korupsi, nilai kerugian negara Rp1,4 triliun dan USD 219.770.392. Dari 325 perkara korupsi itu, sebanyak 319 terdakwa (83,1 persen) divonis bersalah, sementara 46 terdakwa (12 persen) divonis bebas, serta 19 terdakwa (4,9 persen) vonis yang dijatuhkan majelis hakim tidak dapat didentifikasi.
Masa pemerintahan Jokowi-JK masih tersisa tiga tahun lagi. Semoga terjadi peningkatan dalam hal membongkar berbagai kasus korupsi. Khususnya kasus korupsi yang terkait dengan pejabat publik atau politisi. Sebab di situ bakal menunjukkan political will dan keseriusan Jokowi, sebagaimana komitmennya di masa kampanye.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti