tirto.id - “Petugas partai” PDI Perjuangan itu genap dua tahun memerintah Indonesia pada Kamis, 20 Oktober 2016. Salah satu “prestasi” Presiden Joko Widodo adalah dukungan kuat dari partai politik, yang sempat berseberangan dengan dirinya saat pemilihan presiden lalu.
Jokowi juga menunjukkan kepiawaian dalam melakukan berbagai lobi politik demi memuluskan berbagai kebijakan yang dicanangkannya sebagai presiden. Bukti paling nyata adalah semakin kuatnya barisan partai politik yang mendukung pemerintah.
“Hal terbaik di masa pemerintahan Jokowi saat ini adalah politik,” kata Hendri Satrio, peneliti masalah komunikasi politik kepada tirto.id, pada Selasa (18/10/2016), ketika ditanya apa prestasi terbaik Jokowi -JK menjelang genap dua tahun memerintah,
Masih menurut Hendri, Presiden Jokowi banyak melakukan konsolidasi demi memperkuat basis dukungan politik buat pemerintahannya. “Oposisi tinggal dua partai, itu juga PKS abu-abu. Hal yang sangat bagus,” katanya.
Jika melihat peta kekuatan pengelompokan partai politik pasca-Pilpres 2014 dan saat ini, apa yang disampaikan Hendri benar adanya. Pasca-Pilpres 2014 atau di awal pemerintahan Jokowi-JK, peta kekuatan tak seimbang antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintah dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang berseberangan.
KIH hanyalah terdiri dari empat parpol, yakni PDI Perjuangan, PKB, Nasdem dan Hanura yang berkekuatan 207 kursi. Sementara KMP berisi lima partai, yakni Golkar, Gerindra, PAN, PKS dan PPP dengan kekuatan 292 kursi. Belum lagi “dukungan” dari Partai Demokrat yang menyatakan diri netral namun hampir selalu mendukung KMP dengan 81 kursi. Total jenderal, barisan “lawan” pemerintah mencapai 288 kursi.
Kini, posisi tampaknya sudah berbalik. KIH yang menjelma menjadi Koalisi Kerjasama Partai Pendukung Pemerintah berkekuatan 388 kursi. Tambahan dukungan berasal dari PPP yang merapat sejak 7 Oktober 2014, PAN sejak 2 September 2015, dan puncaknya Golkar yang berkekuatan 91 kursi sejak 1 November 2015.
Sementara KMP, hanya tersisa Partai Gerindra dan PKS dengan 113 kursi. Kalaupun Demokrat masih dihitung sebagai partai di pihak seberang, kekuatan mereka hanyalah 194 kursi.
Naik Turun dengan PDIP
Jika dari sisi dukungan politik dari parpol lain semakin kuat, tidak demikian halnya dengan dukungan dari PDIP. Demikian juga hubungan antara Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri.
Memburuknya hubungan Jokowi-Megawati terlihat gamblang saat digelar Kongres IV PDI Perjuangan di Bali, pada 9-11 April 2015. Saat membaca pidato pembukaan, Megawati menyinggung soal keberadaan “penumpang gelap” di pemerintahan Jokowi-JK melalui relawan tim sukses.
“Namun praktik yang berlawanan kerap terjadi. Mobilisasi kekuatan tim kampanye sangatlah rentan ditumpangi kepentingan yang menjadi 'penumpang gelap' untuk menguasai sumber daya alam bangsa," kata Megawati di hadapan Jokowi dan JK yang turut hadir.
Megawati bahkan menekankan pentingnya mekanisme kerja antara pemerintah dan partai pengusungnya. "Landasan konstitusionalnya sangat jelas. Hukum demokrasi yang mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai," tegas Mega.
Lalu bagaimana sikap Jokowi? Beberapa jam setelah pidato Megawati tadi, Presiden Jokowi saat mendarat di Bandara Internasional Lombok, mengaku tak terlalu paham dengan pernyataan Megawati. "Apa ya, saya enggak begitu ini, apa ada kata-kata itu?" kata Jokowi.
Namun, Jokowi sempat mengatakan bahwa semuanya hanya masalah komunikasi. "Kalau ada komunikasi baik antara pemerintah, partai dan dewan, saya kira semua persoalan bisa dipecahkan. Bisa dicarikan solusinya," katanya.
Gangguan hubungan Jokowi dan Megawati secara tidak langsung juga terlihat dari “perlawanan” Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang merupakan menteri dari PDIP. Misalnya saat muncul kasus pelantikan Menteri ESDM Arcandra Tahar. Arcandra yang dilantik menjadi Menteri ESDM pada 27 Juli 2016, belakangan kemudian terbongkar memiliki paspor Amerika Serikat yang membuat Jokowi tak punya pilihan lain selain memberhentikannya pada 15 Agustus 2016.
Blunder pengangkatan Arcandra menunjukkan sinyal kurang solidnya dukungan Megawati, ketika Yasonna justru terkesan menyudutkan presiden dengan pernyataan penegasan bahwa Arcandra memiliki paspor AS.
"Beliau (Arcandra Tahar) memang memiliki kewarganegaraan melalui paspor AS dan paspor WNI," kata Yassona, di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II-A Cipinang, Jakarta Timur, pada Senin (15/8/2016).
Sebenarnya tak hanya sekali itu Yasonna menunjukkan sikap “perlawanan” terhadap Presiden Jokowi. Sangat jelas perbedaan kebijakan antara presiden dengan pembantunya tersebut terkait pemberian remisi atau keringanan hukuman bagi para terpidana kasus korupsi pada hari Kemerdekaan RI.
Pada 17 Maret 2015, Presiden Jokowi saat wawancara khusus dengan Radio Elshinta Jakarta menyampaikan bahwa pemberian remisi bagi para narapidana kasus korupsi merupakan wacana dari Kementerian Hukum dan HAM. “Kalau dari saya nggak usah saja dikasih remisi,” kata Jokowi.
Nyatanya, sebanyak 1.938 narapidana korupsi tetap saja mendapat remisi umum 17 Agustus dan Remisi Dasawarsa 2015. Yasonna sendiri yang mengumumkan pemberian remisi tersebut. Tak selesai di situ, pada HUT RI ke-71 pada Agustus lalu, Yasonna kembali memberikan remisi bagi 128 narapidana korupsi.
Kini, hubungan Presiden Jokowi dan PDIP serta Megawati sedang solid. Salah satunya bisa dilihat dari dukungan resmi PDI Perjuangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, pada Rabu malam (20/9/2016).
Keputusan partai banteng mendukung Ahok, panggilan akrab gubernur petahana itu, tentu saja merupakan keputusan Megawati yang memiliki hak prerogatif untuk menentukan berbagai hal penting di partainya. Padahal, sebagian kalangan elite di pimpinan pusat partai secara terbuka menghendaki calon lain yang jelas-jelas merupakan kader partai seperti Tri Rismaharini, Walikota Surabaya.
Ahok dikenal sangat dekat dengan Jokowi sejak menjadi wakil gubernur hasil Pilkada DKI Jakarta 2012. Lobi politik Jokowi, terlihat kasat mata saat Jokowi mengajak Ahok semobil dengan Megawati menuju Rapimnas Golkar, pada Kamis malam (28/7/2016).
Hal itu diakui oleh Ahok. "Kata dia (Presiden Jokowi), ya sudah kita antar ke Bu Mega deh. Sampai di sana, enggak tahunya Bu Mega juga mau ke Golkar," kata Ahok.
Tak Usik Menteri PDIP
Selama dua tahun menjabat, Presiden Jokowi agaknya memang sedang memainkan “permainannya” sendiri. Di satu sisi, berupaya mandiri dan tak mau terlalu didikte partai pengusung, sementara di sisi lain terus berusaha menjaga “hubungan” dengan PDI Perjuangan dan tentunya Megawati.
Hal itu setidaknya terbukti dari dua hal. Pertama, mengangkat Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada 9 September 2016. Budi Gunawan yang merupakan ajudan Megawati saat menjabat wapres (1999-2001) dan presiden (2001-2004), sebelumnya gagal menjadi Kapolri setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Januari 2015.
Kedua, Jokowi tak sekalipun “menyentuh” para menteri asal PDI Perjuangan saat melakukan dua kali reshuffle Kabinet Kerja. Saat pertama dilantik, Jokowi memberi empat menteri kepada PDI Perjuangan, yakni Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkop UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga.
Saat melakukan perombakan pertama kabinet pada Agustus 2015, Jokowi justru menambah satu menteri asal partai banteng, yakni Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet. Kemudian pada reshuffle kedua pada 27 Juli 2016, meski melantik 12 menteri baru dan kepala BKPM, tak satu pun dari lima menteri asal PDI Perjuangan tersentuh. Yasonna yang “membangkang” pun aman-aman saja.
Pola hubungan pasang surut Jokowi-Megawati pernah dikritik oleh Burhanuddin Muhtadi, peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting. Menurutnya, PDI Perjuangan belum menjadikan Jokowi sebagai excellent asset. Hal itu terlihat dari beberapa kebijakan yang justru saling berseberangan antara Jokowi dengan PDI Perjuangan. "Sering kali melihat Jokowi ancaman bukan peluang, terutama di tahun 2015," katanya, saat melansir hasil survei bertema 'Kinerja Pemerintah Dua Tahun Pilpres”, pada 24 Juli 2016.
Sementara menurut Hendri Satrio, meski harus memainkan posisi sebagai presiden di sudut netral, Jokowi tetap harus memperbaiki komunikasi politik dengan partai pengusungnya. “Kesolidan Jokowi di (Pilpres) 2019 bisa terancam dan akan membuka ruang bagi calon penantang lain dengan gigi yang lebih tajam,” katanya.
Namun, Presiden Jokowi pastilah punya kalkulasi politik tersendiri. Sejauh ini, dia membuktikan masih piawai dalam menjaga hubungan dengan Megawati, PDI Perjuangan, maupun parpol koalisi. Jurus tersebut sejauh ini berhasil membawa stabilitas politik dan pemerintahan.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti