Menuju konten utama

Kemendag: Sanksi WTO Tak Terkait Rezim Proteksionis Trump

Kemendag menilai desakan AS agar WTO menjatuhkan sanksi 350 juta dolar AS itu tak terkait dengan kepemimpinan Trump yang cenderung proteksionis.

Kemendag: Sanksi WTO Tak Terkait Rezim Proteksionis Trump
Kapal tunda melintas di dekat kapal yang melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (23/7). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Kementerian Perdagangan menilai permintaan Amerika Serikat (AS) yang mendesak World Trade Organization (WTO) agar menjatuhkan sanksi sebesar 350 juta dolar AS kepada Indonesia tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan Presiden Donald Trump yang cenderung proteksionis.

Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, pengajuan retaliasi tersebut merupakan kelanjutan dari gugatan terkait restriksi perdagangan yang dilakukan beberapa tahun lalu. Negeri Paman Sam itu sedang mengadukan Indonesia karena dinilai tidak melaksanakan putusan terkait sengketa perdagangan.

“Terkait DS (Dispute Settlement) 477/478 itu memang sudah berjalan sebelum pemerintahan yang sekarang,” ujar Oke di kantornya, Jakarta pada Senin (13/8/2018).

WTO sendiri telah memenangkan AS dan Selandia Baru dalam perkara gugatan restriksi perdagangan pada November 2017. Kedua negara itu melaporkan Indonesia terkait kebijakan pembatasan impor yang meliputi makanan, tumbuhan, serta produk hewani. Sejumlah komoditas yang lantas disorot ialah apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah kering, sapi ternak, daging sapi, dan daging ayam.

Oke mengatakan pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah penyesuaian terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang selama ini dikeluhkan AS. Adapun Oke mengklaim apabila Indonesia telah memenuhi poin-poin yang diputuskan panel per 15 Juni 2018, atau sekitar delapan bulan dari janji yang disepakati untuk mengubah peraturan menteri.

“Sudah selesai. Inti daripada keputusan [panel] itu yang paling utama adalah pihak AS tidak mau lagi ada pengaturan waktu untuk mengajukan perizinan dan pengaturan waktu untuk pemasukan komoditi,” ujar Oke.

Dengan demikian, Oke menyebutkan permintaan AS itu sebagai langkah untuk mengajukan haknya terlebih dahulu. Menurut Oke, sejak perubahan peraturan menteri itu disampaikan di Jenewa, Swiss pada 22 Juli 2018, AS memang memiliki hak untuk menyatakan puas atau tidak puas terhadap upaya yang dilakukan Indonesia.

“Mereka belum sempat mempelajari, tapi melakukan reserve dulu terhadap haknya [untuk retaliasi]. Angka 350 juta dolar AS itu potensi kerugian mereka pada 2017. Jadi mereka menyampaikan ke WTO bahwa ada potensi kerugian, dan angka tersebut [muncul] guna menjaga hak mereka,” jelas Oke.

Oleh karena itu, perwakilan AS dan Indonesia di WTO telah berencana untuk bertemu pada Rabu (15/8/2018) besok. Oke mengungkapkan bahwa agenda dari pertemuan itu ialah mendengarkan dan mempelajari penjelasan AS apabila masih ada poin-poin dalam peraturan menteri yang mereka keluhkan.

“Kami juga terus melakukan pembahasan, di antaranya lewat beberapa beberapa pejabat AS yang datang. Setelah kemarin Mike Pompeo [Menteri Luar Negeri AS], akan ada juga dari USTR (United States Trade Representative) dan USDOC (United States Department of Commerce) yang datang jelang akhir Agustus ini,” ucap Oke.

Adapun Oke berharap upaya retaliasi ini nantinya tidak sampai ke arbitrase internasional. Dengan duduk bersama dan menindaklanjuti apa yang dimaksud AS, Oke mengatakan tidak perlu adanya panel kepatuhan untuk membuktikan upaya yang telah dilakukan Indonesia selama ini.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri