tirto.id - Sepuluh tahun lalu, lazim terdengar suara unik serupa orang tertawa terbahak-bahak dari rerimbunan hutan di Kalimantan Barat (Kalbar). Di tengah kesunyian alam liar, barangkali suara itu terkesan seram. Tapi, itu hanyalah suara burung rangkong gading (Rhinoplax vigil), bukan makhluk jadi-jadian.
Rangkong gading sangat mudah dikenali karena berukuran besar. Ia memiliki panjang 130 sentimeter dari ujung paruh hingga ekor. Bentang sayapnya bisa mencapai 90 sentimeter dengan bulu berwarna hitam pekat. Fitur paling mencolok darinya adalah balung di atas paruhnya.
Suara rangkong gading dimulai dengan bunyi “hoop” berfrekuensi rendah dan diikuti lengkingan yang terdengar seperti “ka-kaka-ka”. Tak hanya khas, suaranya pun sangat keras dan bisa terdengar hingga radius tiga kilometer.
Dominikus Uyub, warga Dayak Kayaan yang tinggal di wilayah penyangga hutan primer Kalbar, berkisah bahwa buah ara adalah makanan favorit rangkong gading. Uyub kerap mendapati rangkong gading mampir di halaman belakang rumahnya yang ditumbuhi pohon ara. Tapi, itu adalah pemandangan 20 tahun silam.
Kini, suara tawa rangkong gading itu makin jarang terdengar karena hutan tropis habitatnya terdesak oleh pertambangan, perkebunanan kelapa sawit, hingga hunian masyarakat. Di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), misalnya, burung ini sudah sulit dijumpai. Padahal, pohon ara banyak tumbuh di TNGP.
Tak hanya itu, eksistensi rangkong gading juga terancam oleh maraknya perburuan ilegal.
“Perburuan sudah tinggi sejak empat tahun lalu. Tapi, 20 tahun terakhir memang sudah sangat jarang sekali terdengar suaranya, apalagi terlihat,” kata Uyub kepada Tirto pada Sabtu (12/12/2020).
Perburuan rangkong gading sejatinya sudah terjadi sejak zaman Dinasti Ming berkuasa di Tiongkok pada abad ke-14. Bangsawan Tiongkok suka menjadikan awetan rangkong sebagai hiasan. Balung rangkong gading adalah yang paling padat di banding spesies rangkong lainnya. Meski begitu, ia masih lebih lunak daripada gading gajah sehingga memudahkan perajin mengukirnya menjadi hiasan.
Balung rangkong juga biasa dijadikan anting untuk tetua beberapa suku Dayak. Selain, paruh dan balung, bulu ekor rangkong juga biasa dipakai untuk aksesoris tradisional. Rangkong gading juga dipercaya memiliki khasiat sebagai obat kejantanan pria.
“Perburuan rangkong gading sudah terjadi lama hingga tercium luas perdagangannya di tahun 2012,” ungkap peneliti dari Rangkong Indonesia Yokyok Hadiprakasa.
Seturut temuan penerima donor Tropical Forest Conservation Action (TFCA) ini, perburuan rangkong mulai marak sejak 1999. Bahkan, di kawasan hak pengusahaan hutan (HPH) Kalbar, masyarakat setempat bisa terang-terangan memperdagangkan rangkong gading kering sebagai cendera mata. Ledakan perburuan rangkong gading terjadi pada 2012.
Berdasarkan investigasi Rangkong Indonesia dan Chester Zoo Conservation and Research Funding Support, setidaknya enam ribu ekor rangkong gading diselundupkan ke Cina pada tahun itu. Jumlah itu diperoleh dari perhitungan jumlah kelompok pemburu dan total hasil tangkapannya.
“Penetapan angkanya berdasarkan nilai tengah penelitian sehingga jumlahnya bisa jadi lebih besar dari enam ribu ekor,” tutur Yokyok.
Perburuan dan perdagangan ilegal rangkong gading itu diduga juga melibatkan sindikat internasional. Salah satu negara tujuan utama perdagangan ilegal rangkong gading adalah Cina. Harga balung rangkong gading di sana bisa mencapai lima kali lipat harga gading gajah.
Jika melihat tren pertumbuhan ekonomi Cina kala itu, lonjakan perdagangan balung rangkong gading itu tidak mengherankan. Menurut data World Bank, pertumbuhan ekonomi Tiongkok konsisten naik 10 persen per tahun. Kondisi ini menjadikannya negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
“Polanya masuk akal. Tahun itu, jumlah orang kaya di Cina meningkat sehingga permintaan paruh rangkong gading sebagai barang antik ikut naik,” ujar Yokyok.
Perburuan Rangkong Gading
Sekira 50 tahun lalu, hutan-hutan di Kalbar belum terjajah sawit. Kala “jalur tikus” menuju Malaysia masih terhitung banyak dan terbuka lebar, habitat rangkong gading masih prima. Keberadaannya dengan mudah bisa diketahui dari suranya yang keras dan khas. Meski begitu, celah perdagangannya tidak terawasi.
Di masa itu, menurut Dehen—bukan nama sebenarnya, masyarakat sekitar hutan bisa memburu rangkong gading dengan mudah untuk dimakan atau dijual.
Dehen adalah saksi sejarah sekaligus pelaku yang ikut bertanggung jawab atas menyusutnya populasi rangkong gading. Pada dekade 1970-an, berburu merupakan kelaziman dalam komunitas Dayak. Rangkong gading bukanlah buruan utama karena orang Dayak juga berburu hewan lain seperti babi hutan.
“Tak ada larangan keras (untuk berburu rangkong gading) seperti sekarang. Ya, biasa saja,” kata Dehen saat ditanya soal patroli polisi atau pihak berwenang lain.
Dehen biasa menggunakan sumpit—alat berburu berupa selongsong bambu sepanjang 1-3 meter—untuk menargetkan rangkong. Katanya, beberapa kawan pemburu juga menggunakan cara tradisional dengan getah karet sebagai jebakan.
Selepas berburu, Dehen biasa berjalan kaki sejauh 200 kilometer dari desanya di daerah Sekadau, melewati Entikong, hingga ke Malaysia untuk menjual hasil tangkapan. “Jalan kaki sekitar dua hari untuk ditukar barang kebutuhan pokok,” kata Dehen.
Dalam sekali berburu, Dehen tak pernah menargetkan jenis maupun jumlah binatang buruan. Apa pun yang kena tangkap, itu yang dibawa pulang. Dia juga tak pernah bekerja secara tim layaknya pemburu rangkong sekarang.
Jika dikalkulasi, hasil transaksinya cukup untuk bertahan hidup satu bulan. Tindakan Dehen memang melanggar hukum, tapi tak bisa juga disalahkan. Selain karena tingkat kesejahteraan rendah, toh selama ini perekonomian warga sekitar perbatasan Kalbar-Malaysia memang bergantung pada Malaysia.
Kini, kala Dehen tak lagi berburu, frekuensi perburuan meningkat drastis. Para pemburu tak hanya berasal dari kampung yang sama, tapi juga dari luar kampung. Hal itu membikin perburuan rangkong jadi semakin sulit dan lama.
Suara rangkong gading yang makin jarang terdengar adalah indikasi populasinya telah menyusut. Populasi rangkong gading juga terancam oleh menyempitnya hutan tropis yang jadi habitat alaminya. Kondisi ini diperparah dengan perkembangbiakannya yang lambat, hanya satu anakan per tahun.
Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2016 menyebut, “Berdasarkan penutupan hutan tahun 2014, diperkirakan terdapat sekitar 27,4 juta hektar hutan lahan kering primer dan sekunder tersisa yang berpotensi sebagai habitat rangkong gading di Sumatera dan di Kalimantan.”
Modus Operandi
Yokyok menyebut, rata-rata pemburu adalah warga desa di sekitar hutan habitat rangkong gading. Tapi, ada juga kelompok pemburu dari lintas kecamatan. Para pemburu ini bekerja secara berkelompok—setiap kelompok biasanya terdiri dari dua sampai lima orang.
Mereka lazim memakai senjata api rakitan yang disebut lantak. Namun, di Kabupaten Ketapang—yang masih memiliki hutan primer habitat rangkong gading, terdapat satu kelompok pemburu yang memiliki senjata api organis jenis AK-47. Kelompok ini menyewa senjata itu dari seorang perwira militer setempat.
Adanya aparat yang ikut main di bisnis perburuan rangkong gading memang sudah jadi rahasia umum. Di Kabupaten Melawi, misalnya, seorang kolektor rangkong gading adalah seorang polisi. Amunisi senjata yang mereka gunakan dibeli dari Malaysia.
Para pemburu ini bergerak jika ada permintaan dari cukong. Mereka mengetahui permintaan itu dari pedagang kebutuhan rumah tangga keliling.
“Tukang kelontong keliling itu pemain. Mereka yang mulai untuk memberi tahu permintaan, dapat pembisik dari cukong,” terang Yokyok.
Dalam sekali perburuan, sekelompok pemburu bisa membawa pulang 2-20 ekor rangkong gading, tergantung musim. Sebelum kembali ke desa, mereka akan memenggal dan mengasapi buruannya hingga kering. Mereka lalu menyerahkan kepala rangkong gading buruannya ke pengepul kecil yang akan membawanya ke pemasok sebelum diekspor.
Di Ketapang, pengepul dari Cina biasa datang langsung menjemput barang. Rangkong gading keluar secara ilegal melalui jalur darat dan kargo kapal. Ekspor dari jalur lalut biasanya melalui Pontianak, Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan Batam. Sementara itu, ekspor ilegal melalui jalur darat dari Kalimantan biasanya dikirim ke Kuching, Malaysia.
“Pernah ada yang masuk ke Amerika dan diketahui keluarnya dari Serawak. Pengamanan perbatasan banyak jalan tikus,” kata Yokyok terkait celah-celah pengamanan di perbatasan Indonesia.
Aparat penegak hukum sebenarnya tidak tinggal diam. Kepolisian Daerah Kalbar, misalnya, pernah melakukan penindakan terhadap perburuan liar di Ketapang pada Februari 2020. Dua orang tersangka ditangkap berikut barang bukti rangkong gading kering.
“Kita amankan barang bukti berupa 6 paruh enggang kering,” kata Kepala Bidang Humas Polda Kalbar Komisaris Besar Polisi Donny Charles Go.
Masing-masing tersangka mengaku berprofesi sebagai pedagang daging dan sopir. Artinya, pekerjaan sebagai pengepul paruh rangkong gading bukanlah profesi utama mereka. Keduanya jadi pengepul karena tertarik pada keuntungannya yang menggiurkan.
“Tersangka sudah dua kali menjual. Pertama tahun 2013 antar ke Jakarta sebanyak 20 buah,” ungkap Donny.
Kebanyakan modus penyelundupan dilakukan dengan menyamarkan paruh rangkong gading dengan barang lain, termasuk makanan. Pada pertengahan 2019 silam, misalnya, polisi berhasil mengamankan 72 paruh yang dibungkus kertas alumunium foil dan dimasukkan dalam kaleng berisi biskuit di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang.
Meski begitu, polisi belum menemukan indikasi keterlibatan sindikat internasional penyelundup rangkong gading di Kalbar. Dari pemeriksaan terhadap para tersangka, polisi menyimpulkan mereka tidak memiliki kaitan langsung dengan pembeli. Polisi menyebutnya dengan istilah layering, penggunaan pengamanan berlapis guna memutus rantai antara pelaku utama dengan pelaku lapangan.
Tren Perburuan Turun, tapi Tidak Hilang
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar mengklaim, praktik perburuan liar burung rangkong sudah terkendali dan bisa dicegah sejak 2015.
“Data angkanya memang belum ada kajian khusus, tapi kasusnya (penangkapan rangkong ilegal) tergolong tidak ada,” ujar Kepala BKSDA Kalbar Sadtata Noor Adirahmanta.
Meski begitu, penurunan angka perburuan itu boleh jadi karena rangkong gading sudah makin sulit ditemukan di habitatnya.
Selama beberapa tahun terakhir, BKSDA Kalbar juga melibatkan warga dalam pemantauan sarang burung rangkong di Cagar Alam Gunung Nyiut (CAGN). Menurut Sadtata, pelibatan warga dalam pemantauan membuat frekuensi perjumpaan dengan pasangan rangkong yang bersarang jadi meningkat. Di kawasan konservasi ini, BKSDA Kalbar menemukan sembilan sarang perkembangbiakan pelbagai jenis burung rangkong.
“Beberapa sarang yang sudah ditinggalkan kembali digunakan bersarang pada musim kawin berikutnya,” ungkap Sadtata.
BKSDA Kalbar lantas mendorong penetapan CAGN sebagai kawasan perkembangbiakan dan riset rangkong gading. Kawasan konservasi ini dianggap memenuhi syarat dalam pelestarian burung rangkong di masa mendatang.
Pemerintah Indonesia sudah menetapkan status burung rangkong termasuk satwa dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Sebelumnya, pada 2015, rangkong gading telah ditetapkan berstatus critically endangered—satu tahap menuju kepunahan—oleh International Union for Conservation of Nature.
Begitu pula Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora(CITES) memasukkan semua jenis rangkong di Indonesia dalam daftar Appendix I. Artinya, ia terlarang untuk diperdagangkan karena terancam punah.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi