tirto.id - Tahun 1838, saat H.M.S Dido memulai ekspedisinya ke Borneo, pulau itu masih berhutan lebat. Jejak-jejak hewan liat masih mudah ditemui. Ekspedisi itu lalu dibukukan, ditulis oleh Henry Keppel dan James Brooke dan diberi judul The Expedition to Borneo of H.M.S. Dido For the Suppression of Piracy.
“Di malam hari, kami mendarat lagi di Barat Borneo. Pantainya dilapisi batu; kayu mulia, dan hutan yang tak begitu banyak belukar, memungkinkan kami untuk menembus dengan mudah sejauh yang diizinkan. Jejak binatang liar banyak dan tampak masih baru, namun kami tak bertemu satupun dari mereka. Hutan tampak gelap. Pepohonan menjulang lurus dan tinggi,” tulis Keppel dan Brooke dalam buku itu. Buku yang tampak seperti catatan harian dari sebuah perjalanan.
Saat Dido melakukan ekspedisinya, Borneo belum terbagi-bagi dalam negara, tetapi masih dalam bentuk kerajaan. Kini, Pulau Borneo dimiliki tiga negara; Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ia menjadi pulau terbesar ketiga di dunia, setelah Greenland dan New Guinea. Meskipun total lahannya hanya satu persen dari tanah dunia, Borneo memiliki enam persen dari keanekaragaman hayati global di dalam hutan-hutan tropisnya.
Di hutan Borneo, hidup berbagai hewan, mulai dari gajah hingga orang utan. Di hutan itu, tumbuh pula berbagai jenis tanaman, mulai dari Rafflesia hingga kantong semar raksasa. Hutan Borneo kaya akan sumber daya alam yang penting bagi keberlangsungan hidup sekitar 11 juta orang penduduknya.
Sayangnya, keberadaan hewan dan tanaman itu terancam seiring semakin dibabat habisnya hutan Borneo. Dalam tiga dekade terakhir, pulau ini telah kehilangan sepertiga keragaman hayatinya.
Seperti layaknya hutan hujan tropis di seluruh dunia, hutan-hutan di Borneo dibabat habis untuk perkebunan sawit, pulp and paper, kayu, karet hingga tambang mineral. Aktivitas-aktivitas yang menggerus hutan ini seiring dengan perdagangan hewan ilegal.
Perkebunan sawit menjadi salah satu persoalan besar di Borneo. Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati termurah. Permintaan komoditas ini sebagai sumber makanan dan energi diperkirakan akan meningkat pesat. Pemerintah Indonesia merespons permintaan yang meningkat ini dengan menetapkan target untuk meningkatkan produksi kelapa sawit dari 20 juta ton pada tahun 2009 menjadi 40 juta ton pada tahun 2020.
Menurut WWF, apabila hutan-hutan Borneo dibersihkan untuk perkebunan kelapa sawit, dampaknya akan sangat buruk bagi daerah tangkapan air. Pada akhirnya, keanekaragaman hayati juga terpengaruh. Ia juga bisa mengakibatkan erosi tanah berskala besar, banjir dan meningkatkan risiko kebakaran.
Tambang-tambang mineral tak kalah jahatnya. Terlebih banyak pengusaha tambang batubara di Indonesia yang tidak mereklamasi lubang tambangnya. Sebagian besar pulau Borneo adalah milik Indonesia, ia diberi nama Kalimantan.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Kalimantan saja, ada 3.585 perusahaan tambang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sebagian besar adalah batubara. Dari total jumlah perusahaan tambang itu, ada 3.092 yang tidak membayar dana jaminan reklamasi. Itu menyebabkan Kalimantan penuh bopeng. Lubang-lubang tambang yang penuh dengan air mudah sekali ditemukan. Beberapa bertempat tepat di pinggir jalan. (Baca: Utang Reklamasi Tambang yang Kerap Tak Dilunasi)
Tahun ini, WWF Indonesia bersama dengan WWF Malaysia mempublikasikan laporan berjudul The Environmental Status of Borneo 2016. Laporan itu menyebut Borneo dalam bahaya. Secara perlahan, pulau itu kehilangan ekosistem utamanya. Ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan dan perekonomian masyarakat Brunei, Kalimantan, Sabah, dan Sarawak.
Menurut laporan itu, dari total sekitar 74 juta hektar hutan, pada 2015, sebanyak 55 persennya bukan lagi hutan. Ia sudah berubah menjadi lahan pemukiman, perkebunan, atau tambang. Dalam skenario business as usual (BAU), WWF memperkirakan Borneo akan kehilangan 75 persen hutan pada 2020.
Apabila tingkat deforestasi pada 2005 sampai 2015 terus berlanjut, maka 6 juta hektar hutan lain akan mengalami deforestasi dalam periode lima tahun berikutnya.
“Kita perlu bertindak cepat untuk menyelamatkan hutan Borneo,” ujar Dato’ Dr Dionysius Sharma, Direktur Eksekutif WWF-Malaysia pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni lalu.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
WWF merumuskan beberapa solusi. Salah satunya adalah kolaborasi lintas batas. Masyarakat serta pemerintah Brunei, Malaysia, dan Indonesia harus berkolaborasi untuk melakukan konservasi dan meminimalkan deforestasi.
Solusi lain adalah gencar menerapkan green business. Ekonomi hijau penting sekali untuk memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan. Bentuk ekonomi hijau ini bisa dalam bentuk ecotourism, pemanfaatan hasil hutan yang berkelanjutan, hingga perkebunan sawit yang bertanggung jawab.
Ketika pohon-pohon ingin dimanfaatkan kayunya, maka harus dipastikan adanya penanaman pohon kembali. Begitu juga dengan kebun sawit. Pembukaan lahan tentu harus memperhatikan keanekaragaman hayati, sehingga tidak dengan membabat habis habitat orang utan atau gajah.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra