Menuju konten utama

Utang Reklamasi Tambang yang Kerap Tak Dilunasi

Sebagian wilayah Kalimantan penuh bopeng. Gara-garanya adalah perusahaan tambang yang tak menambal lubang bekas tambangnya sehingga membunuh manusia. Masalahnya ada di birokrasi: izin usaha tambang kerap didapat tanpa perusahaan membayar jaminan reklamasi.

Utang Reklamasi Tambang yang Kerap Tak Dilunasi
Galian bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan tergenang di Desa Suo-Suo, Kabupaten Tebo, Jambi. Antara Foto/Regina Safri

tirto.id - Satu lubang bekas tambang batubara di Samarinda itu penuh terisi air hujan sehingga terlihat seperti danau buatan. Penunjuk gambar lubang tambang itu, Seny Sebastian dari Jaringan Advokasi Tambang, menyebutkan luasnya seukuran lapangan sepakbola. Kedalamannya 40 meter. Jaraknya dari permukiman warga hanya 189 meter saja.

Seny juga menjelaskan, batubara di lubang itu sudah dikeruk habis oleh PT Graha Benua Etam (GBE). GBE beroperasi dengan luas izin 493,7 hektar sejak 18 Mei 2011. Izinnya berakhir pada 9 November 2015. Setelah habis, si pengeruk ini kemudian pergi meninggalkan lubang itu begitu saja. Tak ada reklamasi, tak ada kegiatan pascatambang. Lubang pun dibiarkan menganga. Tak ada pos jaga, plang, maupun rambu yang menandakan krowak ini bukan danau atau kolam yang bisa dijadikan tempat berenang.

Tepat pada peringatan hari ibu dua tahun lalu, seorang anak bernama M. Raihan Saputra ditemukan tenggelam di kedalaman delapan meter di lubang itu. Itu adalah hari ibu paling menyedihkan bagi Rahmawati, ibu Raihan.

Kisah tenggelamnya Raihan ramai diberitakan di media-media Samarinda hingga media di Jakarta. Ini karena Raihan bukanlah korban pertama lubang tambang. Sebelumnya ada delapan anak lain yang juga tenggelam dan mati keracunan.

Raihan bukan pula korban terakhir. Setelah itu, korban-korban lain yang juga masih kanak-kanak, berjatuhan di lubang tambang yang berbeda. Pada rentang 2011 hingga 2016, ada 28 warga yang tenggelam di lubang-lubang bekas tambang, mayoritas anak-anak dan hampir seluruhnya terjadi di Kalimantan.

Pada 10 Mei 2016, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Samarinda mencoba menghitung tingkat keasaman air di lubang tempat Raihan meregang nyawa. Hasilnya mengejutkan. Derajat keasaman (pH) air di lubang itu hanya 3,2. Ini artinya, air di lubang itu sangat asam.

Dari enam sampel air di lubang bekas tambang yang diuji coba oleh Jatam, air di lubang bekas GBE-lah yang tercatat paling asam. Pada semua sampel juga terdeteksi adanya konsentrasi logam berat.

GBE adalah satu dari 1.192 usaha pertambangan di Kalimantan Timur yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Agung Budiono dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan lebih dari 7.000 IUP di Indonesia tidak memenuhi ketentuan reklamasi dan kegiatan pascatambang.

“Porsinya sekitar 75 persen dari total IUP yang ada,” kata Agung. GBE adalah salah satunya. Kini, pihak GBE tak diketahui di mana rimbanya.

Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

Sedangkan kegiatan pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan, untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

Sebelum sebuah perusahaan tambang mendapatkan IUP ataupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), mereka harus menyertakan perencanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang itu. Mereka juga harus menyertakan dan membayar jaminan reklamasi dalam bentuk bank garansi atau deposito atau rekening bersama.

Jaminan reklamasi ini besarnya beragam, tergantung luas area pertambangan dan reklamasi seperti apa yang dilakukan. Namun, banyak sekali perusahaan yang tak punya rencana reklamasi dan tak membayar jaminan reklamasi, tetapi berhasil mendapatkan IUP.

Seny Sebastian menyebutkan, 83 persen perusahaan tambang di Indonesia tak membayar dana jaminan reklamasi. Itu artinya ada 8.725 perusahaan tambang dari total 10.388 yang lalai. Angka itu didapat dari penelusuran yang dilakukan Jatam.

Ia merinci, di Kalimantan saja, ada 3.585 perusahaan tambang yang memiliki IUP. Sebagian besar adalah batubara. Dari total jumlah perusahaan tambang itu, ada 3.092 yang tidak membayar dana jaminan reklamasi. Itu menyebabkan Kalimantan penuh bopeng. Lubang-lubang tambang yang penuh dengan air mudah sekali ditemukan. Beberapa bertempat tepat di pinggir jalan.

Tak hanya di Kalimantan, di Bangka Belitung pun kealpaan membayar dana jaminan reklamasi banyak ditemui Jatam. Dari total 1.085 IUP, ada 790 yang tidak membayar.

Agung dari PWYP mengatakan aspek paling karut marut di sektor minerba dari hulu sampai hilir adalah aspek perizinan. “Jika konsep kepatuhan diukur dalam skala 1 sampai 10, poinnya masih di bawah 3,” katanya.

Jika izin usaha bisa didapat tanpa terpenuhinya prasyarat, Anda tentu tahu masalahnya tak cuma melekat pada perusahaan-perusahaan itu, tetapi juga pada birokrasi.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani