Menuju konten utama

Kelemahan DP 0 Rupiah Anies-Sandi: Warga Bergaji UMP Tak Bisa Beli

Program pembiayaan hunian DP 0 Rupiah yang pembangunannya telah dimulai oleh Pemprov DKI hanya memungkinkan bagi warga yang penghasilannya di atas UMP.

Warga melihat maket hunian DP Nol Rupiah berupa rumah susun sederhana milik (rusunami) yang akan dibangun di lahan seluas 1,4 hektare milik Pemprov DKI Jakarta di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Jumat (19/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Pembiayaan rumah dengan DP 0 Rupiah merupakan salah satu program andalan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat kampanye di Pilkada DKI Jakarta 2017. Program ini mencoba direalisasikan dengan dimulainya pembangunan rusun sederhana milik (rusunami) di daerah Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Kamis pekan lalu (18/1/18).

Namun, program pembiayaan hunian DP 0 Rupiah ini menuai kritik karena dianggap tak sesuai dengan janji Anies saat masa kampanye debat Pilkada. "41 persen warga Jakarta tidak punya rumah sendiri. Karena itu, kami siapkan solusi dari sisi pembiayaan. Supply itu datang dari pemerintah atau masyarakat, dan aksesnya buat masyarakat miskin yang tidak punya rumah."

Penekanan Anies saat itu memang program ini menyasar pada masyarakat miskin. Pada kenyataannya program pembiayaan ini memang lebih mirip dengan program pembiayaan rumah/rusun subsidi yang diselenggarakan pemerintah pusat dengan nama Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Bedanya dengan FLPP, pada program pembiayaan DP 0 Rupiah, calon pembeli tak perlu mengeluarkan uang muka. Sedangkan FLPP masih mensyaratkan 1 persen dari harga hunian yang dibeli sebagai DP. Pada DP 0 Rupiah, 1 persen DP yang dihapus akan disubsidi oleh Pemprov DKI Jakarta.

Pemerintah pusat memakai program FLPP dengan mensyaratkan pesertanya masuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Konsep ini juga dipakai dalam program DP 0 Rupiah yang mensyaratkan penghasilan sama-sama maksimal Rp7 juta (untuk rusun). Kedua program ini sama-sama memfasilitasi bunga kredit flat 5 persen per tahun dengan jangka waktu selama 20 tahun masa kredit.

Tentu, dengan penghasilan seperti itu, jauh dari istilah miskin menurut BPS, yaitu penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan di DKI Jakarta mereka yang pengeluaran per kapita sekitar Rp500 ribu per bulan.

Ketentuan maksimal Rp7 juta per bulan memang tak dibuat batas minimalnya karena sangat tergantung berapa harga rusun yang dijual dengan kemampuan mencicil calon pembeli. Biasanya bank mensyaratkan maksimal beban cicilan adalah 30 persen dari penghasilan per bulan.

Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi, termasuk yang menyayangkan tingginya harga jual rusunami yang ditawarkan Pemprov DKI dalam program pembiayaan dengan DP 0 Rupiah. Rusunami yang dijual dengan harga Rp185 juta sampai Rp320 juta dengan cicilan per bulan dari Rp1,5 juta sampai Rp2,6 juta.

Ini artinya masyarakat yang mampu hunian ini adalah mereka yang penghasilan minimal Rp4,5 juta per bulan. Asumsinya besaran cicilan adalah 30 persen dari penghasilan (Rp1,5 juta), sedangkan Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta tahun 2018 hanya Rp3,6 juta.

“Dari skemanya mirip sama program sejuta rumah Jokowi. Sayangnya harga yang dijual jauh lebih tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah," kata Prasetio saat dihubungi Tirto.

Pada program pembiayaan oleh pemerintah pusat menawarkan rumah subsidi dalam rentang yang variatif di seluruh Indonesia Rp113-135 juta untuk rjenis umah tapak (non rusun) dengan cicilan Rp825 ribu sampai Rp1,1 juta per bulan dalam waktu 20 tahun. Sedangkan untuk rusun juga tergantung wilayah masing-masing, dalam rentang Rp7 juta sampai Rp10 juta per meter. Hal ini sempat diatur dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No 3 tahun 2014 tentang FLPP dalam rangka pengadaan perumahan melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumah sejahtera.

"Dengan begitu (harga Rp113-113 juta), sesuai dengan persyaratan bank masyarakat dengan pendapatan Rp3 juta per bulan masih bisa mencicil," jelas Prasetio.

Namun, untuk menghadirkan rumah tapak di DKI Jakarta dengan harga Rp113-125 juta sangat sulit karena harga tanah yang sudah terlampau tinggi. Bila melihat harga yang dijual oleh pengembang PD Pembangunan Sarana Jaya dan PT Totalindo Persada dalam program DP 0 Rupiah pada rentang harga Rp185 juta dan Rp320 juta, masih sesuai dengan ketentuan harga yang pernah diatur pemerintah pusat. Pondok Kelapa termasuk wilayah Jakarta Timur, harga rusun subsidi yang ditetapkan maksimal Rp8,8 juta per meter. (rusun tipe 21: 21xRp8,8 juta=Rp185 juta).

Masih Menunggu Hingga April 2018

Pemprov DKI Jakarta akan membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai pihak yang menangani program pembiayaan ini. Artinya meski secara fisik rusunami mulai dibangun tapi proses pemasarannya masih menunggu BLUD.

“Kami nanti akan menyiapkan BLUD untuk program perumahan ini, Insya Allah bulan April akan selesai. Kami akan menyiapkan fasilitas transportasi ke sini,” kata Anies.

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta, Agustino Darmawan mengatakan bakal ada dua tower bangunan Rusun dengan kapasitas 703 unit untuk program ini. Namun, penjualannya baru bisa dimulai usai BLUD mengurus program tersebut terbentuk pada April 2018.

Fungsi dari BLUD ini selain melakukan penjualan juga melakukan verifikasi bagi para calon pembeli. Sesuai dengan syarat, penghasilan maksimal Rp7 juta per bulan yang boleh sebagai pesertanya.

“Nanti akan dicek sama mereka [petugas BLUD] tempat tinggalnya, slip gaji dan lain-lain, dibuktikan juga dengan surat keterangan berpenghasilan rendah,” kata Agustino.

Peluang para warga DKI Jakarta yang berpenghasilan hanya UMP atau di bawah UMP untuk mendapatkan program pembiayaan sangat kecil. Ia mengakui masyarakat berpenghasilan di bawah UMP tidak bisa lolos dalam seleksi dari pihak bank. Sebab, dengan tenor 20 tahun, cicilan yang harus dibayarkan berkisar Rp750 ribu hingga Rp1,8 juta per bulan. Apalagi harga rusun yang akan dibeli mencapai Rp320 juta maka cicilan per bulan bisa lebih dari Rp2 juta.

“Perbankan biasanya punya standar biaya cicilan maksimal adalah 30 persen dari total gaji atau pendapatan per bulan. Jadi misalnya gaji dia Rp3 juta-an, 30 persen cicilannya sekitar Rp900 ribu, itu hampir [30 persen pendapatan], biasanya bank enggak mau karena bisa mengganggu kelangsungan kebutuhan keluarga," katanya.

Rusunawa Jadi Alternatif

Agustino menyarankan, masyarakat berpenghasilan rendah yang punya penghasilan di bawah UMP sebaiknya menempati Rusun Sewa Sederhana (Rusunawa) yang telah dibangun Pemprov DKI Jakarta. Sempat ada wacana dari Pemprov DKI Jakarta, dengan membayar sewa bulanan dengan batas waktu yang cukup panjang, kepemilikan akan berakhir di tangan penyewa.

"Kalau Rusunawa kan cicilannya (sewa) Rp300 sampai Rp400 ribu. Kalau DP 0 rupiah kan (bisa) di atas Rp2 juta. Hampir Rp2 juta lah," ujar Agustino.

Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno berpendapat bahwa ide yang disampaikan Agustino itu juga sempat terpikirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah mewujudkan mimpi punya rumah warga berpenghasilan di bawah UMP. Konsepnya sambil menyewa nantinya kepemilikan unit akan jatuh ke tangan penyewa, tentu dengan masa sewa yang sangat lama.

"Dulu terpikirkan opsinya dibuatkan Rusunawa. Jadi mereka menyewa di situ, tapi konsepnya menyewanya itu mungkin yang jangka panjang sekali sehingga di ujung penyewaan itu, mereka mempunyai opsi untuk memiliki dengan skema itu,” kata Sandi di Balai Kota, pada Senin (22/1/2018).

Namun, Sandi meminta Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk mengkaji kembali skema yang tepat dan lebih baik untuk merealisasikan program tersebut.

Sebelumnya, hal serupa juga dinyatakan oleh Anies Baswedan yang mengaku masih memikirkan cara agar warga bisa menyewa terlebih dahulu rusun milik Pemprov DKI sebelum menjadi hak milik.

"Dalam diskusi yang kami siapkan adalah (warga) bisa menyewa dalam jangka waktu panjang. (Kalau) mereka tertib, nanti di ujung, (hunian) menjadi miliknya," ujarnya Anies, Jumat pekan lalu.

Respons Warga DKI Jakarta

Program pembiayaan DP 0 Rupiah pada dasarkan tak akan bisa tersentuh bagi masyarakat miskin termasuk mereka yang berpenghasilan MBR di bawah UMP. Bahkan beberapa warga yang punya potensi kemampuan membeli rusun dari program ini masih belum tertarik.

Ferna, pegawai honorer di kawasan Salemba, Jakarta Pusat mengaku belum tertarik untuk mendaftar sebagai calon pembeli Rusun dengan skema pembiayaan DP 0 Rupiah yang ditawarkan Pemprov DKI. Alasannya, dengan harga seperti ditawarkan Pemprov DKI, dirinya bisa mendapatkan rumah tapak di pinggiran Jakarta.

Menurutnya ada hal berbelit-belit yang harus dipatuhi pemilik rusun seperti perpanjangan hak guna bangunan (HGB) dari lahan yang ditempati bersama. “Sudah begitu rumah enggak bisa seenaknya direnovasi, dan kesannya sumpek," ujar Ferna.

Sedangkan Riski Fauzi, salah satu guru honorer di Jakarta Barat juga berpendapat serupa. Status kepemilikan unit rusun seperti HGB di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) juga Sertifikat Hak Milik (SHM) atas Suatun Rusun juga menjadi pertimbangan untuk lebih memilih rumah tapak.

Menurut dia, status kepemilikan rumah tapak lebih terjamin dan harganya tak berbeda jauh dengan rusun DP 0 rupiah. Pembeli rumah tapak bisa mendapatkan sertifikat hak milik terhadap tanah di atas rumah yang mereka beli.

“Rp350 juta kalau buat di daerah Bekasi atau Tangerang ada. Dan ada sertifikat tanahnya juga,” kata pria yang tinggal di kelurahan Kota Bambu, Jakarta Barat ini.

Baca juga artikel terkait RUMAH DP NOL PERSEN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz