Menuju konten utama

Kekerasan Aparat di Cileungsi, Mengapa Berulang Tanpa Efek Jera?

YLBHI menilai reformasi yang belum selesai membuat kasus kekerasan TNI dengan korban sipil sulit dipantau dan sukar mendapat keadilan.

Kekerasan Aparat di Cileungsi, Mengapa Berulang Tanpa Efek Jera?
Klarifikasi dan permohonan maaf sopir mobil Gran Max, Afif yang terlibat cekcok hingga dipukul anggota TNI di Cileungsi Kabupaten Bogor Jawa Barat. foto/Dok. Dinas Penerangan TNI AL.

tirto.id - Publik sempat dihebohkan dengan beredarnya video viral warga yang dipukul anggota TNI, yang diduga TNI AL dari pakaian yang dikenakan di daerah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Namun, tidak diketahui duduk perkara dari kasus tersebut. Informasi yang bisa dipastikan adalah warga yang dianiaya adalah supir katering.

Pada Rabu (1/5/2024), pihak TNI AL, lewat Dinas Penerangan TNI AL, merilis video keterangan bersama antara anggota TNI yang memukul dengan korban. Korban yang bernama Afif (22) itu membenarkan dirinya adalah korban penganiayaan dari Kopka Khairul Anam.

"Bahwa benar, pada Senin, 29 April 2024 sekitar pukul 15.15 WIB di daerah Cileungsi telah terjadi pemukulan oleh Kopka Khairul Anam terhadap saya, pengendara mobil pickup Gran Max dikarenakan saya menyalip mobil Kopka Khairul dengan jarak yang cukup dekat," kata Afif dalam video keterangan bersama Anam dalam video yang diterima dari Dinas Penerangan TNI AL sebagaimana dikutip Tirto, Kamis (2/5/2024).

Afif mengakui bahwa dirinya adalah pengendara mobil pickup Gran Max yang melakukan pelanggaran lalu lintas dengan mengendarai mobil dengan kencang dan ugal-ugalan. Ia pun sempat meminta penjelasan kepada Anam tentang aksi pemukulan tersebut.

"Setelah terjadinya tindakan pemukulan dengan maksud untuk mengejar mobil Bapak Khairul Anam untuk meminta penjelasan mengapa terjadi pemukulan tersebut yang mematahkan spion kiri mobil Kopka Khoirul," kata Afif.

Afif pun mengaku bahwa video yang viral adalah hasil rekaman temannya berinisial R. Ia pun meminta maaf atas kehadiran video tersebut yang menjadi viral. Ia pun meminta maaf kepada TNI AL atas viralnya video tersebut. Sementara itu, Anam yang ikut hadir dalam pemberian keterangan mengakui aksi pemukulan dan mengklaim sudah saling memaafkan.

"Benar, saya telah melakukan tindak pemukulan terhadap Saudara Afif dan saya beserta Saudara Afif telah saling memaafkan atas kesalahan masing-masing," kata Anam.

Pihak TNI tidak menjelaskan spesifik tentang kejadian tersebut. Namun, mereka memastikan kasus dugaan kekerasan aparat di Cileungsi ini telah selesai.

Danpuspom TNI Mayor Jenderal TNI Yusri Nuryanto mengklaim bahwa aksi dugaan penganiayaan anggota TNI AL terhadap pengemudi di Cileungsi beberapa waktu lalu. Ia mengklaim kasus tersebut sebatas miskomunikasi dan sudah ditangani.

"Sudah kita tindaklanjuti dan sudah ada mediasi dari dansatnya. Jadi memang ada miskomunikasi, ada perselisihan di jalan dan sudah ditindaklanjuti oleh dansat ya dan sudah kita tangani," kata Yusri saat memberikan keterangan kepada media di Mabes TNI, Cilangkap, Kamis (2/5/2024).

Yusri mengatakan, penanganan kasus akan melihat situasi dan kondisi di lapangan. Ia pun mengatakan, tema pembahasan hari ini seperti masalah bentrok anggota TNI-Polri hingga soal pelat mobil bermasalah mengacu pada tren masalah saat ini.

"Masalah tema ya intinya bukan hanya, kita melihat tren ya. Kita melihat tren, kita juga bisa dengan tren yang terjadi juga kita bisa bagaimana mengantisipasi kejadian-kejadian yang dimungkinkan akan terjadi dan yang akan datang," kata Yusri.

Rakornis POM TNI-Propam Polri 2024

Sejumlah anggota POM TNI dan Propam Polri bersenda gurau disela pembukaan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) POM TNI - Propam Polri TA 2024 di Aula Gatot Soebroto, Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (2/5/2024).ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

Mengapa Kasus Sama Terus Berulang?

Kejadian penganiayaan yang dialami Afif mendapat sorotan serius dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sebagai salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan, YLBHI menilai ada dua masalah. Pertama, mereka melihat reformasi TNI masih belum selesai dalam peradilan militer.

Ketua YLBHI, M Isnur, menilai bahwa reformasi peradilan militer sebagai amanat pasal 65 dan 66 Undang-Undang TNI masih belum dijalankan lantaran pelanggaran pidana umum seharusnya diselesaikan di pidana umum dan bukan pidana militer.

Isnur menilai, reformasi yang belum selesai membuat kasus kekerasan TNI dengan korban sipil sulit dipantau dan sukar mendapat keadilan.

"Akhirnya apa? Akhirnya ya yang terjadi adalah ruangnya, ini tertutup, seringkali juga berujung pada impunitas atau perlindungan bagi pelaku gitu," kata Isnur, Kamis (2/5/2024).

Kedua, Isnur melihat masih banyak ruang yang belum diperbaiki TNI meski banyak kejadian serupa. Ia melihat aksi kekerasan dan arogansi masih terjadi padahal kejadian arogansi sudah banyak sebelum kejadian Cileungsi.

"Artinya apa? Artinya ternyata PR mengubah kultur militeristik, militerisme, dan mencegah ya, arogansi, mencegah kesombongan, mencegah dimana merasa bahwa punya senjata dan lain-lain itu masih PR yang besar," kata Isnur.

"Jadi ini saya pikir adalah bentuk ya, sebuah situasi atau fakta dimana problem atau PR untuk perbaikan kultur TNI yang masih menonjolkan kekerasan dalam banyak aspeknya perlu diperbaiki. Ini PR buat bukan hanya atasannya, tapi juga Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, dan juga DPR ya. DPR perlu memberikan perhatian serius kepada kasus-kasus seperti ini," tutur Isnur.

Dalam kasus Cileungsi, Isnur tidak memungkiri upaya klarifikasi dan permintaan maaf adalah upaya menghentikan proses perkara yang dilakukan anggota TNI kepada warga.

YLBHI menilai, perlu ada upaya penegakan hukum meski sudah ada aksi memaafkan. Isnur menegaskan proses hukum berupa sanksi harus tetap diberlakukan agar tidak menjadi contoh buruk impunitas.

"Jadi yang penting bagaimana kasus-kasus seperti ini tidak menjadi contoh buruk ya bagi yang lain ketika didiamkan. Penting untuk memberikan sanksi yang tegas, secara kelembagaan agar kemudian masyarakat melihat bahwa secara kelembagaan TNI punya komitmen yang kuat untuk tidak menoleransi perbuatan yang seperti ini," kata Isnur.

Sementara itu, analis militer sekaligus Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, pun menyoroti soal kebiasaan TNI dalam menyelesaikan masalah di luar proses hukum. Ia mengakui bahwa mediasi memang bisa dilakukan, tetapi tidak selalu menyelesaikan masalah.

"Menurut saya, yang harus disoroti adalah adanya kebiasaan menyelesaikan masalah di luar hukum. Mediasi memang dikenal dalam proses hukum. Tapi tidak semua pelanggaran atau perbuatan melawan hukum bisa diakhiri atau diselesaikan melalui mediasi atau yang dikenal publik sebagai "penyelesaian secara kekeluargaan"," kata Fahmi, Kamis (2/5/2024).

Dalam kasus Cileungsi, Fahmi mengakui bahwa kekerasan di Cileungsi tidak bisa sepenuhnya dinilai arogansi akibat keterangan yang terbatas. Namun, ketika pelaku benar memukul akibat korban yang merupakan pengendara bersikap ugal-ugalan, pelaku tidak serta-merta melakukan main hakim sendiri dengan menganiaya.

Tidak Ada Efek Jera

Ia juga mengingatkan bahwa kekerasan yang dilakukan anggota TNI tidak bisa dianggap perkelahian biasa. Anggota TNI terikat sumpah prajurit dan Sapta Marga. Oleh karena itu, mereka harus memiliki standar integritas dan moral tinggi. Penyelesaian konflik kekerasan antara aparat TNI dengan warga sipil tidak bisa sekadar lewat mediasi. Ia mengatakan, upaya memaafkan bukan lah solusi dan penyelesaian masalah.

"Kalau saling memaafkan dianggap sebagai bentuk pengakhiran masalah, ini bisa menjadi praktik pengesampingan hukum dalam penyelesaian masalah kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Ini jelas tidak mendidik, tidak memberi efek jera, melanggengkan inferioritas sipil dan justru mendorong pelaziman atas hal-hal yang tidak menghormati sumpah," kata Fahmi.

Hal yang sama juga berlaku bagi si pengemudi korban pemukulan yang diduga berkendara secara ugal-ugalan. Perilaku pengendara yang mengabaikan bahkan membahayakan keselamatan pengguna jalan lainnya, tetap harus diproses secara hukum. Oleh karena itu, prinsip keadilan atau fairness tetap harus ditindak. Fahmi mendorong agar proses hukum pidana maupun hukum disipilin tetap harus berjalan.

"Tidak ada yang boleh dibiarkan menjadi kebal hukum hanya karena mediasi oleh organisasi TNI. Apalagi kita juga tidak tahu seperti apa prosesnya sampai mereka saling bermaafan," tegas Fahmi.

Fahmi mendorong agar internalisasi kepatuhan di internal TNI perlu diperkuat. TNI harus mengakhiri kebiasaan bahwa penyelesaian di luar hukum sebagai prioritas dalam penanganan masalah yang melibatkan prajurit dan personel lembaga lain maupun warga masyarakat. Penyelesaian sosial tidak boleh membuat ketentuan hukum dikesampingkan.

"Saya kira komitmen-komitmen para Panglima TNI sebelumnya, seperti yang ditunjukkan oleh Jenderal Andika Perkasa dan Laksamana Yudo Margono harus diteruskan oleh para pimpinan TNI saat ini," kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait KASUS KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Polhukam
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri