Menuju konten utama

Kasus SPK Fiktif Tak Cukup Sanksi Disiplin, Harus Proses Pidana

Alih-alih hanya dijatuhi sanksi disiplin berupa pemecatan, pelaku kasus SPK fiktif juga harus dipidanakan agar memberi efek jera dan bukti ketegasan hukum.

Kasus SPK Fiktif Tak Cukup Sanksi Disiplin, Harus Proses Pidana
Seorang pekerja melintas di samping koil baja untuk bahan dasar pipa baja di Pabrik PT BPI (Bakrie Pipe Industries) yang merupakan anak usaha PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (25/1/2024). Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) produk pipa baja yang diproduksi PT BPI hampir mencapai 60 persen dan telah mengekspor produk pipa baja ke Australia, Amerika Serikat Kuwait dan Iran. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/rwa.

tirto.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membongkar kasus Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif yang dilakukan oleh pegawai inisial LHS sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi (Direktorat IKHF) Tahun Anggaran 2023.

Kasus ini berawal dari aduan masyarakat yang kemudian dilakukan pemeriksaan secara internal.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan internal, seluruh paket pekerjaan yang diadukan tidak terdaftar pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) 2023. Terlebih paket pekerjaan dimaksud memang tidak terdapat dalam alokasi DIPA Kemenperin Tahun Anggaran 2023.

“Hasil pemeriksaan internal kami menemukan penipuan yang dilakukan oleh LHS dengan membuat SPK fiktif,” jelas Febri dalam pernyataanya, dikutip Selasa (7/5/2024).

LHS membuat SPK kepada pihak lain. Seolah-olah SPK tersebut merupakan SPK resmi dari Kementerian Perindustrian.

“Perbuatan LHS ini tidak diketahui ataupun diperintahkan oleh atasan atau pimpinannya dan merupakan perbuatan pribadi yang bersangkutan,” tegas Febri.

Dari laporan atau pengaduan yang masuk, terdapat empat SPK yang dilaporkan masyarakat kepada Kemenperin dengan nilai kerugian Rp 80 miliar. Terdapat SPK fiktif yang diterbitkan oleh LHS selaku PPK untuk kegiatan Fasilitasi Pendampingan IKHF. Salah satunya senilai Rp23 miliar.

Nilai tersebut tidak sesuai dengan anggaran dan jenis kegiatan Fasilitasi Pendampingan IKHF sebagaimana tercantum dalam DIPA Direktorat IKHF Tahun 2023 yang hanya sebesar Rp590 juta dari total pagu anggaran sebesar Rp10 miliar.

“Yang perlu ditegaskan adalah kasus ini tidak menimbulkan kerugian pada keuangan negara,” jelas Febri.

Dari kasus tersebut, Kemenperin melakukan proses penindakan atas pelanggaran disiplin berat dengan hukuman maksimal pemecatan. LHS saat ini telah dibebastugaskan dari jabatannya sebagai PPK. Kemenperin tidak menoleransi dan akan menindak tegas perbuatan-perbuatan pelanggaran sejenis.

“Selanjutnya, kami mengimbau masyarakat termasuk para penyedia jasa untuk memperhatikan secara saksama kegiatan-kegiatan pengadaan barang jasa di Kemenperin melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE),” tutup Febri.

Kasus SPK fiktif tidak hanya terjadi di Kemenperin. Pada 2023 sebanyak tiga pejabat Dinas Kesehatan Sukabumi terlibat kasus serupa.

Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi berhasil menyita uang senilai Rp4,3 miliar dari sejumlah perusahaan di Kabupaten Sukabumi yang diduga merupakan uang hasil korupsi pada kasus SPK pembangunan dari Dinkes kabupaten Sukabumi.

PASAR SEMEN KELEBIHAN PASOKAN

Pekerja membongkar muat semen di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Rabu (25/7/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Harus Dipidanakan

Pakar hukum pidana dari Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andinia, mengatakan kasus SPK fiktif yang terjadi di lingkungan Kemenperin jelas merupakan tindak pidana. Artinya tidak cukup dengan regulasi dan evaluasi secara internal maupun sanksi pemecatan, tapi harus dipidanakan.

“Memang paling tepat tidak cukup hanya sanksi administrasi, tapi harus pidana supaya tidak menjadi fenomena gunung es,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (7/5/2024).

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menambahkan dari sisi penindakan, Kemenperin perlu melaporkan kepada aparat penegak hukum tentang tindak pidana ini. Apakah masuk tindak pidana pemalsuan, tindak pidana korupsi, atau tindak pidana lain.

“Kalau tindak pidana korupsi mungkin bisa dicek di pasal 9 UU Tipikor. Tapi di sana intinya itu pemalsuan data-data, pemalsuan buku catatan. Apakah itu masuk atau tidak, biar aparat penegak hukum yang menentukan,” ungkapnya kepada Tirto, Selasa (7/5/2024).

Namun, yang jelas, kata Zaenur, tindakan SPK fiktif ini merupakan satu bentuk tindak pidana. Tinggal nanti tergantung penyidik yang menentukan apakah tindak pidana korupsi, tindak pidana pemalsuan, atau penipuan, tergantung dari kontruksi bagaimana peristiwanya secara utuh.

“Itu nanti akan dipilih kesesuaian perbuatan pelaku dengan rumusan di dalam pasal. Tapi itu syaratnya tadi, kalau korupsi itu harus dokumen pengawasan yang dipalsukan,” ujarnya.

Untuk memberikan efek jera agar kasus serupa tidak terjadi, kata dia, seharusnya memang dilaporkan ke aparat penegak hukum. Jika ada pihak yang dirugikan atau siapapun penyedia barang dan jasa, bisa melaporkan kepada aparat penegak hukum dengan pasal penipuan.

“Saya belum paham tujuan dari pelaku itu apa membuat SPK fiktif ini. Karena artinya tidak ada proyek tidak ada kegiatan dan program, tetapi kemudian membuat perintah kerja kepada penyedia barang dan jasa. Dugaan saya mau nipu orang,” ujarnya.

PERTUMBUHAN INDUSTRI FARMASI

Seorang asisten apoteker meracik obat di Apotek Arcamanik, Bandung, Jawa Barat, Rabu (21/3/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Bisa Masuk Tindak Pidana Korupsi?

Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, dalam kasus perkara SPK fiktif jika dilakukan para pihak swasta, maka masuknya tindak pidana umum. Sementara jika dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kementerian, maka masuk dalam tindak pidana korupsi.

“Kalau SPK itu dilakukan pemerintah kementerian, korupsi, karena itu fiktif, memperkaya diri sendiri dan orang lain. Arahnya kan kesana (tindak pidana korupsi),” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (7/5/2024).

Kendati begitu, kata Hibnu, tetap perlu dilihat dulu subjek dan objek perkaranya. Kalau kerugian sudah besar dan tidak bisa ditoleransi, maka bisa dibawa ke pidana pemalsuan. Namun, jika angka kerugian sekitar Rp80 miliar, maka sudah bisa masuk sebagai tindak pidana korupsi.

“Makanya tergantung objek SPK-nya, kalau kecil-kecilan, ya, okelah kita selesaikan,” ujarnya.

Tapi, kalau kejahatan sudah luar biasa fiktif kemudian kerugiannya besar, maka sudah seharus diberikan efek jera. Menurutnya, tidak bisa lagi hanya dihukum disiplin. Apalagi SPK merupakan proyek-proyek vital yang tidak boleh dimaafkan dan harus ditindak seberat-beratnya.

Hibnu menambahkan, untuk meminimalkan terjadinya SPK fiktif di kemudian hari, maka pemerintah atau kementerian dan lembaga perlu meningkatkan integritas pada pegawainya dengan melakukan pengawasan secara ketat.

“Ini kan oknum ya, jadi peningkatan integritas para pelaku itu harus nomor satu. Jadi saling melaporkan, tidak ada iri. Begitu ada kecurigaan lapor dan tindak. Harus diungkapkan seperti BUMN-BUMN, itu cukup manjur. Transparansi yang betul-betul terbuka,” jelasnya.

Sementara itu, Orin Gusta menambahkan, selain meningkatkan integritas yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghentikan fenomena gunung es, juga mengedukasi manfaat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) ke pihak-pihak terkait.

Pemerintah juga harus aktif membuka kanal laporan atau aduan, termasuk menyiapkan sarana cek ulangSPK apakah fiktif atau tidak.

Menurutnya, sarana cross check atau cek ulang perlu dilakukan. Karena jika merujuk hanya ke LPSE, bisa jadi ada pembicaraan di belakang mengapa belum dipublikasi pada LPSE. Namun, jika dibuatkan sebuah sistem sebagai sarana untuk melakukan cek ulang akan lebih baik dan bisa dilakukan pemerintah.

“Yang jelas pemerintah harus berupaya untuk meluaskan transparansi SPK supaya masyarakat terhindar dari pemanfaatan jabatan seseorang yang akhirnya melakukan penipuan,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KEMENPERIN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi