Menuju konten utama

Kasus Peretasan Para Pemrotes Omnibus Law UU Cipta Kerja

Beberapa orang 'yang memiliki massa' akunnya diretas. Juga organisasi sejenis. Peretasan diduga terkait dengan penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

Kasus Peretasan Para Pemrotes Omnibus Law UU Cipta Kerja
Seorang pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) memakai masker bertuliskan Tolak Omnibus Law saat berunjuk rasa menuju Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (20/10/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/hp.

tirto.id - Setelah UU Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020, gelombang penolakan lewat demonstrasi menjamur di beberapa daerah. Bersamaan dengan itu, beberapa peretasan terjadi terhadap orang-orang yang 'memiliki massa' dan menolak peraturan ini.

Salah satunya dialami Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Fajar Adi Nugroho. Whatsappnya diretas satu hari sebelum turun ke jalan pada 8 Oktober.

“Malam itu saya sedang membuka Twitter, lalu mendapatkan pesan masuk melalui SMS berisikan kode verifikasi Whatsapp,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (21/10/2020).

Fajar tidak menggubris permintaan kode tersebut. Ketika memeriksa Whatsapp, ternyata sudah keluar tanpa persetujuan. Saat itu ia sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk turun aksi menolak UU Cipta Kerja. “Sedang melakukan finalisasi berkaitan dengan aksi tanggal 8, seperti koordinasi dan teklap dengan beragam elemen.”

Ia harus menunggu 7 jam untuk bisa mengakses Whatsapp kembali. Ia segera menghubungi orang-orang yang bergabung dalam grup lewat platform lain untuk “minta agar dikeluarkan demi keamanan.”

Saat dapat mengaksesnya lagi, ternyata “riwayat pesannya hilang semua.” Sampai sekarang ia tidak mengetahui pelaku dan motif peretasan tersebut.

Pada hari yang sama, kepada reporter Tirto, Rabu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat juga gagal mengakses Whatsapp. Ia sedang sibuk mempersiapkan aksi mogok buruh yang sudah berjalan sejak 6 Oktober hingga rencananya 8 Oktober.

Saat sedang berkoordinasi dengan para anggota, tiba-tiba muncul pesan di telepon pintarnya: “Nomor telepon anda tidak lagi terdaftar di Whatsapp pada telepon ini. Mungkin karena anda telah mendaftarkannya pada telepon lain. Jika anda tidak melakukan ini, verifikasi nomor telepon anda untuk masuk kembali ke akun anda.”

Mirah harus menunggu 15 hari untuk bisa mengakses Whatsapp kembali. Selama itu, menurut rekan-rekannya, “status WA saya online.

Mirah juga tidak mengetahui pelaku dan motif peretasan. Ia hanya bisa menduga itu berkaitan dengan “gencar-gencarnya koordinasi mogok nasional” yang sedang kaum buruh upayakan.

Akun Whatsapp Ketua SPSI Kepulauan Riau Saiful Badri juga diretas. Ia mengirimkan pesan bohong kepada grup-grup WA buruh agar membubarkan diri saat aksi menolak UU Cipta Kerja pada 8 Oktober.

Peretasan juga menyasar organisasi, misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Nomor rekening donasi di laman resmi mereka diubah oleh orang tak dikenal saat akan mengadakan diskusi dampak omnibus law pada 14 Oktober. Lalu akun Twitter Fraksi Rakyat Indonesia. Mereka sampai harus membuat akun baru pada 20 Oktober 2020.

Dugaan Pelaku

Abul Hasan Banimal, staf Monitoring SAFEnet, jaringan pembela hak digital di Asia Tenggara, menilai tidak semua kasus bisa digolongkan peretasan. Bisa pula disebabkan perilaku penggunaan sehingga dianggap melanggar ketentuan oleh mesin.

Meski demikian, dalam konteks ini, ia yakin sangat terkait dengan apa yang korban peretasan lakukan, yaitu menolak UU Cipta Kerja.

“Tindakan semacam ini hanya bisa dilakukan aparat negara yang dilengkapi fasilitas pendukung,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu.

Ia juga menduga peretasan ini berkaitan dengan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang diterbitkan pada 2 Oktober. Beberapa isinya adalah pengerahan fungsi intelijen dan deteksi dini terhadap elemen buruh dan masyarakat yang berencana berdemonstrasi dan mogok nasional dan melakukan patroli siber di pada media sosial.

Jika benar terkait, menurutnya ini sama saja seperti pembungkaman yang semestinya “telah ditinggal jauh oleh perkembangan reformasi.”

SAFEnet mencatat terdapat 16 kasus peretasan dan phising terjadi selama Oktober 2020, baik terkait atau tidak terkait dengan omnibus law. 4 kasus menyasar Whatsapp, 11 media sosial, dan 1 website.

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berpendapat tak ada proses hukum terhadap korban peretasan semakin menguatkan dugaan bahwa pelaku bagian dari negara. Ini bertolak belakang dengan kewajiban negara itu sendiri untuk melindungi privasi warganya. Toh mereka punya perangkat pencegahan dan pelindungan dan pernah melakukan itu saat situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) diretas.

“Intinya negara sanggup. Selama ini bila mereka mau [mengusut perkara], dengan cepat menangkap [terduga pelaku]. Kenapa yang menyasar aktivis, jurnalis, dan akademisi yang menolak UU Cipta Kerja atau UU KPK, tak diungkap?” kata dia, Rabu. “Ketika negara tak mengungkap, [artinya] negara melanggar HAM.”

Terlepas dari itu ia berharap setiap orang memproteksi diri dan gawai agar tak jadi korban peretasan. “Kita harus belajar menjaga semua perangkat, juga mengembangkan kemampuan untuk mengungkap itu.”

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi & Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Penulis: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino