tirto.id - Upaya peretasan terhadap akun milik jurnalis kembali terjadi. Kasus teranyar dialami sejumlah karyawan media Narasi TV yang menjadi korban aksi peretasan orang tidak dikenal. Data per Senin, 26 September 2022, setidaknya ada 24 kru Narasi TV yang jadi korban upaya peretasan.
“Hingga siang ini pukul 2 ada sekitar 24 orang awak narasi yang bukan hanya bagian dari news room, tapi juga ada dari bagian finance, human capital bahkan support system atau support product-nya Narasi itu ada yang mencoba diakses, dicoba diretas,” kata Head of Narasi Newsroom, Laban A. Laisila dalam konferensi pers daring, Senin (26/9/2022).
Laban menuturkan, aksi penyerangan sudah dimulai sejak Jumat, 23 September 2022. Upaya peretasan menyasar akun media sosial mulai dari WhatsApp, Telegram, Instagram, Facebook hingga Twitter.
Pihak Narasi menuturkan mereka masih melakukan upaya pemulihan untuk satu akun. Selain itu, mereka juga sudah melakukan investigasi internal bahwa upaya peretasan menggunakan telepon pintar dan peramban daring.
Akan tetapi, mereka belum mengetahui motif dari peretasan tersebut, meski ada yang mengaitkan dengan pernyataan pendiri Narasi TV, Najwa Shihab soal gaya hidup polisi.
“Kami sangat meyakini ketika melihat metode status dan kronologinya ini dilakukan selama dua hari berturut-turut dan kami meyakini ini dilakukan secara sistematis. Tapi kami belum bisa menyampaikan apa motif di belakang upaya peretasan terhadap puluhan, sekitar 24 [kru] sampai saat ini,” kata Laban.
Mengecam Aksi Peretasan & Mendesak Aparat Bertindak Tegas
Kasus ini membuat sejumlah organisasi masyarakat sipil buka suara. Mereka tak hanya mengecam keras aksi peretasan kepada kru Narasi TV, melainkan juga mendesak aparat mengusut tuntas kasus ini.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim mengecam aksi peretasan kepada jurnalis Narasi TV. Ia menilai, aksi peretasan sebagai serangan kepada pers dan pekerja publik.
“Serangan ini adalah serangan kepada kebebasan pers, yang kedua ini adalah serangan kepada publik karena jurnalis, kantor media ketika mendapat serangan ini artinya informasi yang seharusnya didistribusikan kepada publik kemudian menjadi terhambat. Karena itu, kami sangat mengecam sekali serangan ini dan harus secepatnya dihentikan,” kata Sasmito dalam keterangan daring.
Sasmito mendorong agar kepolisian memproses hukum upaya peretasan tersebut. Ia menilai polisi harus turun secara inisiatif untuk mengusut tuntas kasus ini, apalagi pihak yang diserang sudah menyasar berbagai pihak di internal Narasi.
“Ini tanpa ada laporan sekalipun seharusnya polisi sudah bergerak, mencari, mengusut siapa pelaku serangan peretasan terhadap kawan-kawan, rekan-rekan dan awak Narasi,” kata Samsito menegaskan.
Sasmito menilai, aparat penegak hukum seperti kepolisian seharusnya mampu mengungkap kasus peretasan seperti yang dialami kru Narasi TV.
Di sisi lain, Sasmito mengakui bahwa aksi peretasan dan doxing kerap terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data advokasi AJI dalam laporan kondisi kebebasan pers 2020, ada 84 kasus yang menyerang jurnalis, salah satunya serangan digital.
Ia menuturkan, serangan yang dialami Narasi TV tidak berbeda jauh dengan para aktivis demokrasi seperti yang dialami dirinya. Beberapa waktu lalu, Sasmito juga sempat menjadi korban peretasan yang menyasar akun media sosialnya.
“Artinya memang perlu upaya yang serius dari pemerintah untuk kemudian menjamin data-data milik teman-teman jurnalis, milik perusahaan ini menjadi terlindungi dengan baik. Saya pikir perlu juga transparansi karena ini lagi-lagi kalau katakan kasus-kasus serangan yang dialami oleh jurnalis itu hampir sebagian besar atau bisa dikatakan tidak ada yang tuntas,” kata Sasmito.
Sasmito menambahkan, “Saya pikir perlu ada transparansi dari penegak hukum, kenapa kasus ini bisa berlangsung dengan cepat? Kemudian kasus yang dialami teman-teman jurnalis oleh perusahaan pers ini sangat lama?” kata Sasmito mempertanyakan.
Serangan yang Berulang
Peneliti sekaligus advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ahmad Fathanah mengamini pernyataan Sasmito bahwa serangan kepada Narasi TV bukan kasus yang pertama. Ahmad mengingatkan beberapa media pernah mengalami serangan serupa, seperti Tempo, Tirto, dan Kompas.
Ahmad juga mendesak agar aparat bisa memproses kasus secara cepat. Ia menyinggung bagaimana kinerja aparat yang berhasil menangkap dan menetapkan status tersangka pada peretas laman Setneg dalam hitungan hari pada 2021.
“Kalau kita mau melihat logika aparat penegak hukum, itu tidak mesti tunggu laporan untuk menindaklanjuti adanya dugaan tindak pidana peretasan ini. Kalau bisa, aparat penegak hukum sebagaimana kasusnya Setkab peretasan itu harus dilakukan juga penindakan karena menurut BAP belum sampai 2 minggu apalagi 1 bulan ini sudah ada ditetapkan tersangka,” kata Ahmad.
Ahmad menyoal bila aparat tidak bisa memproses cepat kasus yang dialami kru Narasi TV ini. Ia khawatir ada tebang pilih aparat dalam menangani kasus yang dialami jurnalis dengan Setkab.
Karena itu, ia mendesak ada upaya pro justicia dalam kasus peretasan Narasi TV. Ia menilai aparat bisa menindak dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Pers.
“Kalau misalnya itu diproses kepolisian seperti kasus Setkab, itu kita bisa mengawal karena memang di dalam, baik di dalam Pasal 30 itu, kan, ada terkait peretasan bahasa kasarnya. Itu salah satu delik yang mengatur terkait ada upaya peretasan,” kata Ahmad.
Kedua, kata Ahmad, dalam Undang-Undang Pers pun mengaturnya. “Pasal 18 [UU Pers] sebenarnya apa yang dilakukan oleh peretas ini terhadap teman-teman Narasi, itu merupakan satu tindakan yang menghalang-halangi pekerjaan jurnalistik,” kata Ahmad.
“Dua pasal dan dua undang-undang itu yang sebenarnya bisa menjadi dasar untuk melakukan tindak lanjut terhadap dugaan ada upaya peretasan dan penghalang-halangan kerja jurnalistik,” kata Ahmad.
Perwakilan dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Nenden S. Arum juga mengakui, kasus kru Narasi TV adalah bukti kekerasan jurnalis bukan yang pertama. Ia mengatakan, kasus peretasan seperti Narasi TV kerap terjadi saat media merilis berita sensitif.
“KKJ sendiri melihat dan menilai gitu ya, bahwa ada tren bagaimana serangan ini selalu terjadi, gitu. Biasanya serangan digital ini banyak terjadi saat jurnalis atau media itu menunjukkan sikap kritis terhadap suatu tindakan atau kebijakan tertentu,” kata Nenden secara daring, Senin (26/9/2022).
“Jadi biasanya selalu ada peningkatan serangan digital pada saat momentum-momentum politis ataupun pada saat isu-isu yang sedang hangat dan sedang viral gitu,” kata Nenden.
Nenden menilai peretasan terjadi juga pada media lain dalam bentuk berbeda, misal serangan kepada individu seperti yang dialami Sasmito maupun serangan kepada media, yaitu berupa DDos yang dialami Project Multatuli dan media lain seperti Magdalene atau Konde.co.
Nenden menilai, serangan ini bisa juga dikategorikan sebagai upaya teror kepada para jurnalis demi membungkam isu sensitif. Oleh karena itu, ia menilai keseriusan aparat dalam menyelesaikan kasus peretasan dan kasus berkaitan kebebasan pers sangat penting.
Ia mengingatkan kebebasan berekspresi dilindungi undang-undang nasional maupun internasional.
“Makanya dari Komite Keselamatan Jurnalis juga mendesak agar penegak hukum benar-benar serius untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan secara menyeluruh terhadap kasus peretasan, tidak hanya di Narasi sebetulnya, tapi juga pada kasus-kasus sebelumnya dan juga dilakukan secara terbuka supaya kita semua tahu, publik tahu bagaimana proses penyelesaian kasusnya, kemudian hasilnya seperti apa,” kata Nenden yang juga aktif di SafeNET.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz