tirto.id - Dunia hiburan kembali ramai dengan isu perceraian. Kali ini tentang kasus perceraian antara Lina dan Sule yang menghangat setelah munculnya foto Lina bersama dengan seorang pria bernama Teddy. Dilansir dari Liputan6 kuasa hukum Lina, Abdurrahman membantah tudingan perselingkuhan yang dituduhkan kepada kliennya.
“Saya pas ada berita itu muncul sudah konfirmasi ke Lina, dia bilang ‘Apa yang diinikan (klarifikasi) Pak, dia itu mah teman biasa,” ujar Abdurrahman.
Abdurrahman membeberkan, penyebab perceraian antara Lina dan Sule bukanlah perselingkuhan, namun akibat pertengkaran yang telah terjadi sejak lama.
Suara.com mengabarkan, akibat perceraian tersebut, Siti M Kemi alias Ica, mantan istri dari Teddy menyampaikan bahwa Rizky Febian sempat memohon kepada ibunya agar kembali ke pria bernama asli Entis Sutisna itu.
“Dia mohon-mohon sampai kaki Teh Lina dicium supaya Teh Lina balik. Tapi Teh Lina nggak mau,” ungkap Ica.
Perceraian dan Anak
Hingga taraf tertentu, lelucon lawas "penyebab perceraian adalah pernikahan" yang telah jadi klise rupanya perlu diseriusi. Masalahnya, memang tak banyak pasangan mengantisipasi jika seandainya pernikahan mereka harus berakhir dengan perpisahan. Faktor anak menambah berat beban perceraian, tak hanya buat pasangan, tapi juga untuk anak.
Psikolog Carl E. Pickhardt dalam “The Impact of Divorce on Young Children and Adolescent” (2011) yang diterbitkan Psychology Today mengatakan bahwa perceraian berdampak besar pada anak-anak tak peduli jenis kelamin dan usianya.
“Menyaksikan kedua orangtua kehilangan cinta, memiliki orangtua yang melanggar komitmen pernikahan, membiasakan diri untuk bolak-balik ke dua rumah tangga yang berbeda, dan absennya satu figur orangtua tiap kali ia tinggal dengan pasangan barunya,” tutur Pickhardt mencontohkan beberapa aktivitas anak yang orangtuanya bercerai.
Dunia anak sangat bergantung pada orangtua, pola asuh, dan lingkungan keluarga. Sungguh berbeda dengan remaja yang hidupnya lebih mandiri dengan pergaulan yang lebih luas dari keluarga.
Orangtua yang bercerai menciptakan dua rumah tangga yang berbeda, sehingga anak harus terbiasa untuk tinggal bergantian dengan ayah dan ibunya. Hal tersebut membuat anak merasa janggal, tidak stabil, dan gamang karena sebelumnya terbiasa hidup bersama dua orangtua yang lengkap.
“Ini artinya terdapat tiga R yang dibutuhkan anak untuk memulihkan kepercayaan anak dalam hal keamanan, keakraban, dan ketergantungan, yakni Rutinitas (Routine), Kebiasaan (Rituals), dan Jaminan (Reassurance),” kata Pickhardt.
Robert E. Emery, seorang profesor psikologi dan direktur dari Center for Children, Families, and the Law di The University of Virginia pernah menulis opini berjudul “How Divorced Parents Lost Their Rights” di New York Timespada 2014 terkait isu perdebatan dalam penentuan hak asuh anak pasca-perceraian.
“Para ahli berdebat berapa banyak waktu yang harus dihabiskan bayi hanya dengan satu orangtua, dibandingkan dengan kedua orangtua. Banyak yang percaya bahwa bayi membutuhkan keterikatan yang kuat dengan satu orangtua (biasanya dengan ibu),” ujar Emery.
Namun Emery mengatakan jika perpisahan dapat merusak rasa aman sang anak. Minimnya kontak antara anak dan orangtua berpotensi melemahkan kedekatan kedua belah pihak.
Yang Sering Diabaikan Orangtua Ketika Cerai
Dalam studi berjudul “Life-Span Adjusment of Children to Their Parents’ Divorce” (PDF, 1994), Paul R. Amato mengemukakan bahwa anak-anak yang hidup dalam keluarga penuh konflik berisiko umumnya punya banyak masalah. Perceraian, menurut Amato, dapat membawa akibat buruk terhadap kondisi ekonomi sehingga menurunkan kualitas hidup anak. Padahal dampak ekonomi itu bisa berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan perilaku anak di lingkungannya.
“Menyaksikan konflik terbuka dapat mengakibatkan stres pada anak-anak. Selain itu, orangtua yang menggunakan kekerasan fisik secara tak langsung mengajarkan kepada anak bahwa pertikaian merupakan cara yang tepat untuk menyelesaikan perbedaan,” tulis Amato.
Namun, bagaimana jika perceraian tak terhindarkan lagi? Jawabannya akan terdengar sederhana tapi sangat sulit dipraktikkan: jangan tambah beban anak.
Studi bertajuk “Children’s reactions to parental separation and divorced” yang ditulis oleh Catherine M. Lee dan Karen A. Bax (PDF, 2000) menyatakan bahwa penyelesaian konflik antara kedua orangtua seringkali mengabaikan hak anak. Tantangan yang harus dipikirkan ketika memutuskan untuk berpisah adalah membangun hubungan baru sebagai orangtua dengan mantan pasangan.
“Sayangnya, banyak ayah yang menghadapi hubungan yang pahit dengan mantan pasangan mereka malah terputus dari kehidupan anak mereka. Jika hal itu terjadi, anak-anak dapat mengalami dampak psikologis negatif dari kehilangan orangtua, serta kehilangan dukungan finansial,” ungkap Lee dan Bax.
Orangtua yang bercerai disarankan untuk membuang perasaan negatif serta membangun kerja sama dengan mantan pasangan.
“Hak asuh fisik bersama terjadi ketika kedua orangtua berbagi keputusan terkait pengasuhan, sehingga disarankan agar anak hidup tidak menghabiskan waktu lebih dari 60% dan tidak kurang dari 40% dengan masing-masing orangtua,” kata Lee dan Bax.
Selain itu, Lee dan Bax juga mengatakan bahwa orangtua harus pandai mengatur emosi selama proses perceraian sehingga tak membebani anak. Apalagi ketika anak membutuhkan dukungan serta kehangatan dari ayah dan ibu mereka. Ketika memutuskan untuk berpisah, mereka harus siap dengan reaksi dari sang buah hati yang lebih mudah marah dan suka menuntut.
Editor: Windu Jusuf