Menuju konten utama

Restu Orang Tua Tak Kunjung Diterima, Mesti Gimana?

Ada banyak faktor penyebab, tapi bukan berarti tak ada jalan keluarnya.

Restu Orang Tua Tak Kunjung Diterima, Mesti Gimana?
Header diajeng-lyfe Restu. tirto.id/Quita

tirto.id - Jatuh cinta berjuta rasanya? Ups, tapi ingat ya—salah satu dari sekian rasa itu adalah sengsara. Apalagi jika orangtua tak mau memberi restu.

Lucia Reiningtyas, 25 tahun, pernah mengalami masa suram itu beberapa tahun silam. Orang tuanya tak suka kekasihnya lantaran perbedaan status sosial.

“Dia memang cuma sekolah sampai SMA, enggak lanjut kuliah karena adiknya banyak. Biaya untuk sekolahnya dikasihkan ke adiknya. Orang tua [juga] menganggap pekerjaannya enggak mapan,” ungkap perempuan yang biasa disapa Rei ini.

Meski tak direstui, perempuan yang kini menjadi jurnalis ini nekat mempertemukan sang kekasih dengan orang tuanya. Alih-alih mendapat respons positif, ibunya tetap kerap menyindir pacarnya.

Rei sempat kesal dan kabur dari rumah selama dua minggu. Namun orang tuanya bergeming. Sang pacar akhirnya menyerah. Mereka pun putus di bulan keempat setelah menjalin hubungan.

Header diajeng Restu

Header diajeng-lyfe Restu. (FOTO/iStockphoto)

Perbedaan juga jadi masalah bagi hubungan Hana Eliza (32) dan pacarnya. Sejak Hana remaja, orang tuanya telah mewanti-wanti agar tidak menjalin asmara dengan pria yang berbeda agama dan suku. Namun, apa daya, ia jatuh hati kepada pria dengan latar belakang yang "terlarang" tadi.

“Papaku penginnya yang seagama, sopan, dan orang Jawa. Satu-satunya pacar yang direstui ya cuma suamiku,” kata Hana yang saat ini memilih menjadi ibu rumah tangga.

Faktor Penyebab Hubungan Tak Direstui

Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, menyampaikan, ada banyak alasan orang tua tak merestui hubungan sang anak. Alasan bisa disebabkan oleh sang anak, pasangannya, atau dari orang tua itu sendiri.

“Misalnya pacarnya terlihat tidak sesuai kriteria, belum memiliki pekerjaan, enggak sopan, penampilannya terlihat ugal-ugalan, atau bisa karena perbedaan agama dan suku. Kalau dari sisi anak, bisa jadi orang tua anggap anaknya belum dewasa untuk berpacaran,” ungkap Anna.

Dari sisi orang tua, menurut Anna, ada beberapa yang khawatir akan ditinggalkan oleh buah hatinya. Selain itu, faktor budaya juga bisa menjadi alasan tak adanya restu untuk berpacaran.

Anna melanjutkan, “Misalnya ada beberapa agama atau budaya yang melarang pacaran, tapi langsung menikah melalui proses perkenalan yang berbeda dengan pacaran. Atau bisa saja orang tua merasa situasinya kurang pas: ketika ada masalah keluarga, tiba-tiba anak mengenalkan pacarnya,”

Kisah Bambang Sutrisno adalah contoh dari uraian Anna. Perjuangannya tak tanggung-tanggung, sampai 11 tahun, sampai akhirnya bisa menikahi kekasihnya, Tata.

“Awalnya enggak disetujui karena waktu itu dianggap masih remaja, domisili, masa lalu orang tua, dan masalah adat. Biasalah, orang Jawa kan ada semacam perhitungan weton kayak gitu,” ungkap Bambang.

Ia mulai berpacaran dengan Tata saat SMA. Mereka berdua adalah tetangga satu desa sekaligus teman satu sekolah. Selepas lulus SMA, mereka harus menjalani hubungan jarak jauh karena Tata pindah ke Jakarta.

Menjalin hubungan jarak jauh ditambah tak mengantongi restu bukanlah hal yang mudah dijalani. Apalagi selalu ada benturan waktu antara pekerjaan Bambang sebagai pemeriksa jalur kereta api dan jam perkuliahan Tata. Waktu libur Bambang pun tak banyak.

Meski hampir menyerah, mereka bertahan dengan saling meyakinkan satu sama lain. Akhirnya, pada 2017 Bambang memberanikan diri untuk menikahi Tata.

Orangtua Harus Membuka Telinga

Tentu saja, setiap orang tua pasti ingin anaknya dapat yang terbaik. Namun, menurut psikolog Anna, orang tua harus ingat bahwa anaklah yang menjalani kehidupan mereka.

“Orang tua jangan terlalu masuk ke dalam kehidupan anak. Memberi pertimbangan adalah hal yang baik, namun bukan mengatur kehidupan anak,” kata Anna.

Header diajeng Restu

Header diajeng-lyfe Restu. (FOTO/iStockphoto)

Ketika tak setuju dengan hubungan asmara sang buah hati, ada baiknya orang tua tak menutup mata. Konselor percintaan, Arabella Russel, dalam artikel berjudul "I Don’t Like My Child’s Partner-What Do I Do" menyatakan orang tua harus berpikir jernih untuk mencari tahu alasan ketidaksukaan mereka terhadap pasangan anaknya.

Ketika tak merestui hubungan anaknya, orangtua harus punya alasan kuat. Kalau hubungan atau kekasih sang anak terlihat membahayakan, wajar orang tua turut campur. Namun, jika tak ada soal yang sungguh membahayakan anak, orang tua harus memeriksa penilaiannya.

“Jika kalian membesarkan anak agar mandiri, kalian harus menerima bahwa inilah yang mereka inginkan,” tulis Russel.

Anak Harus Dewasa

Buat kamu yang tengah galau karena hubungan dengan kekasih tak kunjung direstui orangtua, Anna Surti Ariani menyarankan perlunya tetap melakukan introspeksi.

“Anak harus melihat kriteria, apa sih yang memang sudah perlu. Orang tua ingin anaknya punya pacar yang seperti apa, kriteria yang diinginkan bagaimana. Kalau memang kriteria kita beda dengan orang tua, tunjukkan prestasi kekasih kita,” tutur Anna.

Iya, memang tak mudah untuk memperjuangkan pasangan di depan orang tua, tapi seperti disampaikan oleh Anna, jangan sampai lari dari masalah ya.

“Jadi menurut saya, tetap dahulukan mencari restu. Jangan kemudian kabur dan yakin bahwa pilihan dia baik. Karena yang sering terjadi, si anak yang sudah dewasa ini kemudian merasa kenapa orangtua enggak setuju, kemudian kabur dengan pacarnya. Ini bukan solusi,” tegas Anna.

Lalu, bagaimana solusinya?

Orang tua pasti punya pertimbangan-pertimbangan khusus saat tak merestui hubungan asmaramu. Menyampaikan pendapat masing-masing merupakan solusi terbaik. Jika hubunganmu dengan orang tua tak terlalu dekat, kalian bisa saja menyampaikan melalui orang yang sama-sama dipercaya.

“Balik lagi saran yang sama seperti orang tua. Anak juga membutuhkan orang yang bisa menyampaikan pendapat agar didengar orang tuanya, dan meyakinkan [bahwa] oke kok pacaran sama si ini,” ujar Anna.

Apabila kamu dan orang tuamu memang berniat untuk diskusi langsung, cari waktu yang tepat. Ada baiknya buat janji dulu, sehingga kamu dan orang tuamu dalam kondisi nyaman saat berbicara.

“Jangan misal orang tua lagi masak, anak ngomong. Atau saat orang tua sedang sibuk banget. Perhatikan kondisi psikologis orang tua juga, jangan [bicara saat] keluarga lagi ada masalah,” kata Anna.

Anna juga mewanti-wanti agar orang tua maupun anak sama-sama menggunakan kata-kata positif dan tidak saling menghakimi.

Saat berbicara, kamu juga harus menjaga intonasi. Yakin deh, kata-kata yang tenang akan lebih menguntungkan. Lagipula, tidak perlu intonasi tinggi kan untuk mengungkapkan pendapatmu? Cukup berikan argumen, tetapi tetap dengan kalimat yang sopan. Nah, mari mencoba!

*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait ASMARA atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih