tirto.id - “Bagaimana sih hidup yang ideal bagi seorang anak itu?”
Jali, perwakilan dari komunitas Youth Proactive, melontarkan pertanyaan tersebut ke puluhan orang yang datang ke Mondo by Rooftop, Cilandak, Minggu (9/9). Salah seorang hadirin angkat suara dan mengatakan bahwa penerimaan orangtua penting untuk menciptakan kehidupan ideal bagi anak.
“Bagi gue pertama hadir orangtuanya dulu deh. Orangtuanya mau menerima anaknya apapun bentuk dan jiwanya,” katanya.
Anak muda itu lalu balik bertanya ke Jali tentang masa kecil yang ideal menurut pendapatnya. Laki-laki bertubuh besar tersebut menjawab dengan cepat bahwa masa kecil yang ideal baginya adalah seperti yang dirasakan Sadam dan Sherina di film Petualangan Sherina. Jawabannya Jali disambut tawa para hadirin.
Malam itu, Youth Proactive khusus datang untuk mengisi acara “Electronic Music Against Child Abuse (EMACA) yang diselenggarakan oleh komunitas Kolektiva Muda. Selain Youth Proactive, ada pula seniman yang hadir membacakan puisi dan memainkan musik elektronik. Selama acara berlangsung, hadirin juga bisa menikmati pameran karya seni, pemutaran video, dan berbagi cerita di sesi bertajuk "Sharing Story Together".
Kepada Tirto, Arif Maulana selaku ketua pelaksana EMACA mengatakan bahwa acara ini dibuat untuk mengampanyekan pencegahan kekerasan terhadap anak kepada kaum milenial.
Arif mengaku ide awal acara ini muncul dari keresahan anggota Kolektiva Muda yang sebagian punya trauma akibat mengalami kekerasan ketika masih kecil. Dari sanalah EMACA didirikan dengan agenda memutus rantai kekerasan agar anak-anak di masa depan tak lagi mengalami hal tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan pada anak hadir dalam berbagai macam bentuk, mulai dari kekerasan fisik hingga eksploitasi. UNICEF menjelaskan bahwa kekerasan anak pada dasarnya bisa dibedakan menjadi lima jenis, yakni fisik, seksual, emosional, pengabaian, dan eksploitasi.
Kekerasan fisik meliputi tindakan menampar, memukul, meninju, membakar, menyakiti, dan memberikan hukuman fisik. Selain itu, kekerasan yang dilakukan pasangan intim, kekerasan dalam berkencan, kekerasan berbasis gender, serta tindakan yang membahayakan bahkan menyebabkan kematian anak juga masuk dalam kategori kekerasan fisik.
Lebih lanjut, kekerasan seksual yang dialami anak terdiri dari pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan, kekerasan seksual, inses, usaha perkosaan, pernikahan paksa, dan pemaksaan untuk berhubungan seks. Kekerasan dalam berkencan, kekerasan berbasis gender, kekerasan yang dilakukan pasangan intim, dan perkosaan dalam situasi konflik juga merupakan bentuk kekerasan seksual pada anak.
Perilaku meremehkan, mengejek, dan mendiskriminasi anak, di sisi lain, masuk dalam kategori kekerasan emosional. Sementara kekerasan dalam bentuk pengabaian, masih menurut keterangan UNICEF, ditunjukkan dalam kasus-kasus di mana anak dibiarkan tak punya tempat tinggal, kelaparan, kesehatan yang buruk, kurang gizi, serta mendapat perawatan dan pengawasan yang tidak tepat.
Bentuk kekerasan yang lain, yakni eksploitasi, bisa dilihat dari kasus-kasus kerja paksa, kemunculan pekerja dan pelacur anak, perdagangan anak, perbudakan, dan pornografi anak.
Kasus pelanggaran hak anak di Indonesia masih terjadi hingga kini. Tenaga Ahli dan Analis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Naswardi., ME., MM mengatakan kepada Tirto bahwa tiap tahun KPAI menerima laporan rata-rata 4.500 kasus pelanggaran hak anak. Sebagian besar (40 persen) berkaitan dengan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), yaitu kondisi di mana anak berkonflik dengan hukum sebagai pelaku tindak kekerasan, sebagai korban kekerasan, maupun sebagai saksi tindak pidana.
Menurut Naswardi, kekerasan yang dominan terjadi pada anak saat ini adalah kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Sebagian besar pelakunya adalah orang terdekat, mulai dari orangtua, ayah atau ibu tiri, saudara, teman terdekat, dan lain sebagainya. Pada 2018, sebanyak 16 anak meninggal akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtua.
Berdasarkan riset KPAI tahun 2015, Naswardi mengatakan bahwa ayah dan ibu kandung menempati posisi teratas sebagai pelaku kekerasan (28 persen dan 21 persen). Selanjutnya, guru (10 persen) dan ayah tiri (6 persen) adalah orang terdekat yang sering melakukan kekerasan pada anak.
Persoalan anak seringkali dianggap sebagai urusan internal keluarga. “'Anak saya mau ditampar, cubit, tendang, itu persoalan privat saya', kira-kira begitu jalan pikirannya. Orangtua tidak sadar kalau permasalahan anak bukan urusan orangtua tapi publik. Ketika anak yang berusia 0 sampai 18 tahun menjadi korban kekerasan, urusannya sudah bukan di lingkup keluarga lagi, melainkan jadi urusan masyarakat dan negara,” tegas Naswardi.
“Yang dibutuhkan anak itu bonding, pelukan, kasih sayang, dan kebersamaan. Jika dulu di ujung rotan ada emas, sekarang sudah tidak jaman lagi mengasuh anak seperti itu,” ujar Naswardi menegaskan pentingnya orangtua mengubah cara pandang terhadap pengasuhan dan pendidikan anak.
Mengutip survei nasional KPAI tahun 2015, Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati menjelaskan bahwa sebanyak 75 persen pasangan meniru pengasuhan yang diwariskan orangtua mereka. Hanya sekitar 25-26 persen saja yang mencari informasi terkait pengasuhan anak sebelum menikah. “Artinya, kecakapan mengasuh dianggap akan muncul secara natural saja, tidak membutuhkan ilmu, tidak menyiapkan diri. Padahal itu juga butuh komitmen dan pengetahuan,” tegasnya kepada Tirto.
Karena itulah pasangan perlu memperkaya pengetahuan ketika memutuskan hendak menikah dan punya anak. Komitmen dari segi waktu dan perhatian pun dibutuhkan agar sang anak mendapatkan pengasuhan yang berkualitas. "Sebenarnya pengasuhan yang tepat seperti apa sifatnya tarik ulur dengan kondisi anak masing-masing. Tapi pola asuh yang demokratis, komunikatif, dan dialogis adalah kuncinya,” pungkas Rita.
Editor: Windu Jusuf