tirto.id - Sejak remaja, Katy—bukan nama sebenarnya—sudah sering menangis tanpa sebab yang jelas. Di sekolah, ia mengalami kesulitan konsentrasi dan lantas dicap sebagai anak bermasalah. Tak jarang pula perempuan ini merasa kehabisan energi, kepercayaan diri, dan merasa tidak mampu bersosialisasi dengan teman-temannya. Masih belum bisa menentukan jelas problem yang menghantuinya, Katy sudah kadung dilabeli buruk oleh mereka.
“Orang-orang melihatku sebagai ratu drama. Aku merasa sendirian. Pikiranku seperti terpenjara,” aku Katy.
Masalah yang dihadapinya terus berlangsung sampai dewasa. Performa kerjanya merosot lantaran ia sulit fokus dan mengingat sesuatu. Berkali-kali pula ia gagal membina relasi romantis karena hal ini.
Pernah sekali waktu ia menjajal antidepresan, tetapi hal tersebut hanya membuat dirinya merasa semakin buruk. Baru pada usia 32, tahun 2016, ia menemui terapis yang mendiagnosisnya mengidap distimia.
Kisah Katy ini dimuat dalam sebuah artikel di Lancashire Post. Sekilas, bila orang tak mengetahui cerita kehidupan Katy sejak muda, ia akan dipandang hanya sedang mengalami hari yang apes sehingga mood-nya memburuk. Sebagian orang yang mengalami hal serupa Katy juga tak jarang mengabaikan kondisi psikologis seperti ini. Padahal, bermacam-macam masalah lebih besar telah menanti bila mereka tak segera mengidentifikasi pemicu perubahan emosinya dan mencari jalan keluarnya.
Distimia, Depresi ‘Lunak’ yang Bisa Berujung Bahaya
Distimia, atau yang juga dikenal sebagai persistent depressive disorder (PDD) merupakan salah satu gangguan mental yang tercantum dalam buku panduan psikiatri dari AS, Diagnostic and Statistical Manual (DSM). Hal ini merujuk pada kondisi saat seseorang mengalami depresi berkepanjangan, minimal selama dua tahun berturut-turut pada orang dewasa atau setahun pada anak-anak dan remaja.
Dilansir MayoClinic, penderita distimia akan kesulitan merasa bahagia sehingga kerap dipandang sebagai pemurung. Gejala-gejalanya sebagaimana yang dialami Katy, ditambah gangguan tidur, kehilangan nafsu makan atau justru sebaliknya, mudah marah, sering merasa bersalah saat mengingat masa lalu, dan merasa terus kehilangan harapan.
Distimia pada orang-orang di bawah usia 21 bisa berasosiasi dengan risiko tinggi gangguan kepribadian dan penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol. Tidak hanya itu, kendati tergolong depresi ‘lunak’, distimia bisa mendorong munculnya depresi berat pada saat bersamaan atau yang dikenal sebagai double depression. Dalam keadaan depresi berat, bukan tidak mungkin seseorang memiliki pemikiran menyakiti atau bunuh diri.
Akar Masalah Distimia
Para pakar psikiatri belum menentukan penyebab pasti distimia atau depresi. Ada kemungkinan hal ini terkait faktor genetis, tetapi pada sebagian penderita distimia tidak ditemukan rekam jejak keluarga dengan masalah sejenis. Ada pula kemungkinan fungsi abnormal di otak yang menjadi akar masalah distimia.
Penjelasan lebih lanjut mengenai faktor gangguan di otak yang terkait distimia diberikan Brett Wingeier, CTO dan salah satu penggagas Halo Neuroscience, dalam Forbes.
Ia mengatakan, saat terjadi momen manis, otak manusia akan mengeluarkan senyawa kimia yang mengatur perasaan bahagia. Begitu pun saat terjadi peristiwa pahit, sistem otak akan mengaktivasi senyawa kimia terkait perasaan sedih. Dalam keadaan normal, fungsi otak ini berjalan seimbang. Namun, pada pengidap distimia, sistem yang mengatur perasaan buruk akan jauh lebih aktif dan sistem pengatur mood tak merespons dengan baik kondisi-kondisi menyenangkan.
Selain dua kemungkinan ini, distimia juga disebut-sebut dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa buruk dalam relasi atau pekerjaan yang pernah dialami seseorang, penyakit fisik, serta efek obat.
Masih Disepelekan
Masalah depresi masih menjadi momok bagi sebagian orang. Alih-alih menceritakan hal ini kepada orang terdekat atau tenaga medis, mereka memilih untuk bungkam. Hal ini merupakan pilihan yang memperburuk situasi mental mereka menurut Dr. David Mischoulon, psikiater di Massachusetts General Hospital.
Dalam Harvard Health Publishing ia menyatakan, “Kesalahan mereka adalah mereka percaya bahwa perasaan buruk yang terjadi hanyalah situasional dan akan hilang sendiri. Mereka tidak nyaman membicarakan perasaannya dan takut dipandang lemah oleh orang lain.”
Stigma buruk terhadap pengidap depresi juga bisa diakibatkan oleh minimnya pengetahuan orang-orang mengenai penyakit mental. Mereka yang tidak pernah mengalami hal tersebut akan sulit memahami pengalaman pengidap depresi dan menunjukkan empati.
Misalnya saat pengidap depresi berulang kali mengonsumsi antidepresan. Cukup jamak anggapan bahwa pengidap depresi adalah pecandu obat dan kerap menyalahgunakan hal ini. Saat terjadi generalisasi, orang yang benar-benar menderita penyakit mental dan mesti melakukan terapi dengan obat-obatan sesuai anjuran dokter pun akan terimbas mendapat cap buruk semacam ini.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani