tirto.id - Novel Baswedan menjadi penyidik KPK sejak 10 tahun yang lalu. Dia berhasil menyeret orang-orang besar ke dalam penjara, dari vonis dua tahun hingga hukuman seumur hidup. Tapi di antara gelimang kasus, dia kerap dihantam diteror dan dikriminalisasi.
Terakhir, kerabat dari Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ini diserang dengan air keras dan harus dirawat di Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading. Dia diteror penyiraman air keras usai salat Subuh, Selasa (11/4/2017). Hingga saat ini belum bisa dipastikan motif dan siapa dua orang yang menjadi pelakunya.
Peristiwa itu terjadi saat Novel diagendakan untuk memaparkan kasus e-KTP di Kementerian Hukum dan HAM. Kasus yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun tersebut melibatkan lusinan anggota DPR, pemerintahan, dan panitia tender serta para pengusaha.
Pada Rabu (14/10/2015) yang lalu, jelang tengah malam, cucu dari anggota BPUPKI Abdurrahman Baswedan itu, pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di Dompu, Nusa Tenggara Barat. Novel harus dirawat selama 2 hari. Kala itu dia bertugas melakukan pengecekan fisik pengadaan e-KTP.
Novel pun sempat dijegal upaya kriminalisasi. Kala itu dia menangani kasus korupsi proyek simulator ujian SIM Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Lawannya ialah ikan besar, yakni Irjen Djoko Susilo dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Soekotjo S Bambang.
Kasus tersebut kian melipatgandakan perseteruan antara KPK dengan Polri saat Lemdikpol Komjen Budi Gunawan, ditetapkan sebagai tersangka kasus rekening gendut oleh KPK. Budi Gunawan saat itu nyaris menjadi Kapolri dan sudah lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR-RI.
Dampaknya tahun lalu, Novel digelandang penyidik Bareskrim Polri pada Jumat (1/5/2015) dini hari dari kediamannya. Novel memang sejak tahun 1999 hingga 2005 bekerja di Polresta Bengkulu. Pada 2004 dia didapuk menjadi Kasat Reskrim Polresta Bengkulu. Saat menangani kasus Simulator SIM, Novel dituding melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seseorang pelaku pencurian sarang burung walet, di Pantai Panjang Ujung, Kota Bengkulu, 18 Februari 2004. Pelapornya ialah Yogi Hariyanto.
Kasus tersebut sempat ditunda pada 2012 lalu atas permintaan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan soal laporan yang menimpa Novel, Ombudsman RI menyatakan bahwa: (1) Pelapor tidak memenuhi kualifikasi; (2) Adanya penundaan penanganan yang berlarut; (3) Rekayasa dan manipulasi Surat Keputusan Penghukuman Disiplin; (4) Rekayasa dan manipulasi Berita Acara proyektil/Anak Peluru; (5) Rekayasa dan manipulasi Berita Acara Laboratoris Kriminalistik tentang uji balistik terhadap senjata api; (6) Penggeledahan rumah, penggeledahan badan dan penyitaan yang tidak sesuai prosedur; (7) Ketidaksesuaian urutan tanggal dalam administrasi penyidikan; (8) Penggunaan alat bukti yang tidak relevan.
Kasus Novel terus berjalan. Melalui pengacaranya, dia sempat mengajukan gugatan praperadilan terkait tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri pada 1 Mei 2015 lalu. Akan tetapi hakim tunggal Zuhairi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (9/6/2015) menolak seluruh gugatan praperadilan tersebut.
Baca juga: Jejak-jejak Teror Novel Baswedan
Akan tetapi, akhirnya Novel Baswedan bernapas lega setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 22 Februari 2016 memutuskan menghentikan penuntutan kasus dugaan penganiayaan yang menjerat Novel itu. Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu meneken surat keterangan penghentian penuntutan (SKP2) Nomor B-03/N.7.10/EP.1/02/2016.
Di sisi lain, kasus yang dia tangani juga tetap berjalan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diketuai Roki Panjaitan, menolak banding yang diajukan Irjen Djoko Susilo. Vonis Djoko dikembangkan dari 10 tahun menjadi 18 tahun penjara. Selain itu Djoko dikenakan denda Rp1 miliar dan membayar uang pengganti Rp32 miliar. Sedangkan Brigjen Didik Purnomo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta. Kemudian Sukotjo S Bambang dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Tapi Budi Gunawan lolos. Setelah melalui serangkaian kehebohan yang dahsyat, termasuk peredaran foto-foto mesra yang dikampanyekan sebagai sosok Abraham Samad dan penangkapan Bambang Widjajanto selaku Komisioner KPK oleh Polri, kasus Budi Gunawan pun terhenti. Budi Gunawan memenangkan gugatan pra-peradilan. Budi kemudian bahkan menjadi Wakapolri.
Spesialis Kasus Besar
Novel kerap diserahi tugas menyidik kasus besar yang ujung-ujungnya membuat kiprah KPK semakin dikenal. Orang-orang besar tanpa pandang bulu diseret Novel dengan masa hukuman mulai 2 tahun hingga seumur hidup.
Novel sempat menjadi penyidik kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat, M. Nazaruddin. Belakangan Nazaruddin divonis 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan terhadap Nazaruddin. Hakim tindak pidana Korupsi menyatakan bahwa Nazaruddin terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang.
Dari Nazaruddin pula, kasus Korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang disisir Novel. Beberapa pihak yang tercokok kasus tersebut ialah Nazaruddin sendiri, Angelina Sondakh, Direktur utama PT DGI Dudung Purwadi, dan Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet Rizal Abdullah. Dalam kasus itu KPK menduga ada penggelembungan harga yang mengakibatkan kerugian negara Rp25 miliar.
Dari Manajer Pemasaran PT DGI Idris, Nazaruddin diduga menerima Rp 23.119.278.000. Idris divonis dua tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Hal tersebut lantaran Rizal menerima uang ucapan terima kasih, karena PT DGI memenangi pengerjaan proyek wisma atlet SEA Games. Sedangkan Nazaruddin yang kala itu menjadi anggota DPR, membantu meloloskan kemenangan PT DGI. Sedangkan Angelina Sondakh, MA mengabulkan Pengajuan Kembali, vonis yang diboyongnya selama 12 tahun penjara, dipangkas menjadi kurungan 10 tahun penjara, ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Novel juga berhasil mengungkap dan memenangkan di pengadilan terkait kasus suap cek pelawat pada pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Kasus itu menjerat istri mantan Wakil Kepala Polri Komjen (Purn) Adang Daradjatun, Nunun Nurbaeti dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom.
Nunun divonis 2 tahun dan 6 bulan kurungan penjara. Dia terbukti melakukan suap kepada anggota DPR 1999-2004 sebesar Rp24 miliar dalam pemilihan Miranda sebagai Gubernur Senior Bank Indonesia. Nunun juga diharuskan membayar denda Rp150 juta yang dapat diganti kurungan tiga bulan.
Sedangkan Miranda, divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 3 tahun dan denda senilai Rp100 juta. Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan bersama-sama menyuap anggota DPR. Miranda memberikan cek pelawat kepada anggota DPR 1999-2004 melalui Nunun Nurbaeti.
Selain itu, Novel berhasil mengungkap kasus Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa Pilkada. Beberapa di antaranya yakni Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500.000 dollar AS), serta Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp3 miliar).
Maka dari itu MA menolak permohonan kasasi Akil. Dia tetap divonis hukuman kurungan seumur hidup.
Novel juga berhasil menguliti kasus suap proyek penyesuaian infrastruktur daerah. Atas kasus tersebut, Politikus PAN Wa Ode Nurhayati divonis 6 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Dia terbukti menerima suap Rp6,25 miliar dari pengusaha untuk mengusahakan agar Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah dan Kabupaten Minahasa sebagai daerah penerima alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun anggaran 2011.
Wa Ode juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kedua primair Pasal 3 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Wa Ode dinilai terbukti menempatkan, mentransfer, menitipkan, mengubah bentuk dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kekayaanya, secara berulang kali selama kurun waktu tahun 2010-2012 hingga berjumlah Rp50,5 miliar.
Sebelum Wa Ode, Politikus Partai Golkar Fahd El Fouz atau Fahd A Rafiq, dijatuhi hukuman 2 tahun dan 6 bulan kurungan penjara. Dia juga didenda Rp50 juta yang bisa diganti dengan mendekam dalam bui selama 2 bulan. Fahd terbukti secara bersama-sama menyuap Wa Ode.
Kasus itu juga menyeret Mantan Bupati Buol Amran Batalipu. Dia divonis hukuman penjara selama 7 tahun dan 6 bulan. Selain itu Amran juga diharuskan membayar denda Rp300 juta subsider 6 bulan penjara. Amran dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa uang Rp3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM) dalam dua tahap.
Meski berhasil menangkan berbagai kasus besar, namun proses pengungkapannya tak mudah. Novel dihajar teror dan kriminalisasi yang berlarut-larut. Ancaman yang diterimanya merupakan bagian dari rapuhnya hukum di Indonesia.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS