tirto.id - Polri sedang membahas Peraturan Kapolri (Perkap) tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Dalam rancangan Perkap itu, semua perwira Polri akan diwajibkan menyerahkan LHKPN.
Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, selama ini anggota Polri yang wajib menyerahkan LHKPN adalah pemegang anggaran dan pejabat penyelenggara negara. Dengan peraturan baru yang sedang dirancang seluruh perwira pertama, perwira menengah dan perwira tinggi wajib melaporkan LHKPN.
"Pembelian barang mewah, mobil dan properti dengan harga mahal, dia harus jelaskan dari mana asal uangnya, mudah-mudahan kewajiban LHKPN bagi perwira ini bisa mengerem korupsi di Kepolisian. Data LHKPN nantinya disimpan di Inspektorat Polri," ujar Jenderal Tito di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Tito juga mengatakan akan menjatuhkan sanksi terhadap perwira yang membangkang dari aturan ini. "Sekarang akan ada sanksinya, yang tidak mengisi LHKPN, tidak akan diizinkan sekolah dan tidak akan diperbolehkan mengikuti seleksi promosi jabatan," jelas Kapolri.
Seperti dikabarkan Antara, dalam menggodok aturan LHKPN di internal Polri ini, pihaknya telah menggelar rapat bersama beberapa divisi Polri yakni Divisi Teknologi Informasi, Divisi Hukum dan Brimob.
MoU Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK
Masih dalam rangka pemberantasan korupsi, pada hari ini, Kapolri telah menandatangani nota kesepamahaman dengan KPK dan Kejaksaan Agung.
"MoU ini pembaruan dari MoU kami yang lama pada 2016, yang akan habis masa berlakunya, sehingga harus diperbarui hari ini dan akan berlaku hingga Maret 2019," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Mabes Polri.
Menurut Agus, nota kesepahaman berisi kesepakatan ketiga pimpinan aparat penegak hukum untuk saling memberitahukan bila terjadi pemanggilan terhadap salah satu personel institusi. Bila salah satu institusi [misal KPK] memanggil personel yang sedang dalam penanganan pihak lainnya [misal Kejaksaan Agung], maka pihak yang melakukan pemanggilan [KPK] harus memberitahu pemimpin pihak yang menangani personel itu [Kejaksaan Agung].
Selain itu, bila salah satu pihak melakukan penggeledahan, penyitaan, atau memasuki kantor pihak lainnya, maka pihak yang melakukannya harus memberitahu pemimpin pihak yang menjadi objek dilakukannya tindakan tersebut, kecuali dalam operasi tangkap tangan.
Nota kesepahaman juga menyebutkan bahwa ketiga pihak akan bekerja sama dalam sosialisasi, pendidikan dan pelatihan terkait upaya pemberantasan korupsi.
Agus mengatakan perbedaan nota kesepahaman yang baru dengan yang sebelumnya antara lain berkenaan dengan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Elektronik (e-SPDP).
"Jadi SPDP ini nantinya akan online supaya di tingkat pusat, baik KPK, Polri dan Kejagung punya data dan info yang sama terkait penanganan Tipikor di seluruh Indonesia," kata Agus.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan agar ketiga lembaga bisa saling mendukung dalam kerja penegakan hukum.
"KPK punya kelebihan dalam kewenangan, dia bisa menggeledah, menyita, memanggil, menyadap, memeriksa. Sementara kalau Polri dan Kejaksaan perlu izin dari pihak yang punya kewenangan. Ketika menyita, harus izin pengadilan. Ketika memeriksa pejabat, harus izin sesuai UU," kata Prasetyo.
"Polisi dan Kejaksaan punya jaringan luas hingga ke daerah, sementara KPK cuma ada di pusat. Dengan MoU ini, saling melengkapi kewenangan dan mengisi keterbatasan sehingga penanganan korupsi bisa lebih intensif," ujar Prasetyo.
Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan kerja sama itu akan meningkatkan kemampuan negara dalam menangani kasus-kasus korupsi.