Menuju konten utama
Miroso

Kalih Welas! Belajar Seni Menunggu dari Bakmi Jawa

Bakmi Jawa adalah salah satu hidangan yang paling enak jika dimasak satu per satu.

Kalih Welas! Belajar Seni Menunggu dari Bakmi Jawa
Header Miroso Belajar Sabar dari Bakmi Jawa. tirto.id/Tino

tirto.id - Suatu hari saya dititipi almarhum ayah untuk membeli bakmi Jawa favoritnya di sekitar Taman Siswa, Yogyakarta. Sebelum saya pergi, ayah sudah kasih wanti-wanti kalau antrenya bakal lama.

“Nanti coba saja tanya harus nunggu berapa antrean lagi,” pesan beliau.

Saya manggut-manggut.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 15-20 menit dari arah Janti, saya sampai. Benar saja pesan ayah. Di ujung warung tenda itu terlihat seorang bapak jelang sepuh, saya memperkirakan usianya di awal 50-an, sedang sibuk menghadap wajan yang dibakar oleh bara arang di anglo yang warna cokelatnya sudah pudar dan beralih jadi cemong.

Asistennya ada yang memotong bawang, juga menyuwir ayam. Satu rewang lagi membuat biang teh.

“Tinggal pinten, Pak?” tanya saya pada si bapak, dengan Bahasa Jawa halus patah-patah.

“Kalih,” ujarnya. Dua.

Saya tersenyum lega. Menunggu dua antrean tak akan lama.

“Kalih welas,” sahut si bapak tanpa menoleh ke saya. Dua belas.

Saya nyengir. Pahit. Dua belas antrean tidak berarti dua belas bungkus, lho. Bisa saja satu pembeli memesan dua, lima, tujuh, bahkan 12 bungkus.

Untunglah karena sudah diberi peringatan dulu, saya tak kaget-kaget amat. Ini pertama kalinya saya makan bakmi Jawa di sini. Sebelumnya ayah selalu mengajak ke dua warung bakmi favoritnya: Pak Pele dan Kadin. Kalau mau menempuh agak jauh perjalanan, Mbah Mo di Bantul selalu jadi jujugannya.

Nama-nama mapan itu kemudian goyah dan mendapat penantang berat, ketika suatu hari ayah diajak keponakannya makan di warung bakmi Taman Siswa itu. Saya lupa nama pastinya, begitu pula ayah. Namun karena keponakan ayah menyebutnya sebagai bakmi Taman Siswa, maka kami ikut saja.

Sejak diajak keponakannya, bakmi Taman Siswa ini jadi referensi utama ayah. Sama seperti bakmi Jawa mayoritas, masaknya pakai tungku dan arang. Mienya pakai mie kuning, bisa dicampur dengan bihun. Ayamnya pakai ayam kampung. Favorit ayah pakai tambahan brutu, kalau saya pakai uritan. Untuk telur, lebih sedap kalau pakai telur bebek.

Yang tak bisa ditawar: masaknya harus satu per satu.

Selo dan Tak Tergesa

Di Yogyakarta, bakmi Jawa sudah jadi identitas kuliner, serupa gudeg. Sama seperti kuliner lain, rekomendasi bakmi Jawa terbaik sudah pasti tidak akan pernah dapat suara bulat. Setiap orang bakal punya preferensi masing-masing.

Bagi saya, Pak Pele adalah pilihan paling aman. Tak lain tak bukan karena ini adalah bakmi Jawa pertama yang saya coba di Yogya. Setiap ke kota ini, Pak Pele dan Kadin selalu jadi jujugan. Kualitasnya relatif terjaga, meski cara masaknya mungkin sudah agak berbeda ketimbang dulu. Kemudian ketika lanjut kuliah di Yogya medio 2011, saya mulai rutin makan di Bakmi Jumpa Pers yang tak jauh dari kampus. Ini juga bakmi langganan Pak Umar Kayam.

Suatu hari, Yitno Purwoko, seorang kawan kuliah, mengajak ke warung bakmi favoritnya di kawasan Minomartani. Menuju ke sana jalannya agak membingungkan, banyak lewat gang kecil. Buka selepas Isya, warung Bakmi Bu Heru yang hanya cukup menampung enam hingga delapan orang ini tak pernah sepi. Jejeran ayam rebus menggantung di gerobak, lengkap dengan aneka jerohan di dalam lemari kaca.

Kalau kami sedang suntuk menggarap tugas, tinggal janjian di warung ini. Jika sedang bulan November dan Desember, pilihan saya hampir absolut: bakmi kuah dengan cabai rawit, plus uritan. Ugh, kuahnya medok dan kental, pakai telur bebek, membuat gurih kaldu ayam kampungnya terasa mlekoh. Cabai rawit memberikan cubitan kecil ke lidah. Beri tambahan merica untuk rasa hangat ekstra.

Infografik Miroso Belajar Sabar dari Bakmi Jawa

Infografik Miroso Belajar Sabar dari Bakmi Jawa. tirto.id/Tino

Melihat banyak penjual bakmi Jawa dengan penggemar masing-masing di Yogyakarta --termasuk Yitno yang menjadikan Bu Heru sebagai juara dalam senarai bakmi Jawa favorit, menyingkirkan banyak nama besar-- membuat saya berpikir bagaimana kuliner ini bisa menjelma jadi serupa identitas kota.

Ini hasil pengamatan singkat saya. Bakmi Jawa, juga gudeg, menggambarkan pola hidup dan nilai-nilai yang dianut banyak orang Yogya dan Jawa Tengah: selo, sabar, dan tak tergesa.

Bakmi Jawa termasuk jenis hidangan yang lebih enak kalau dimasak satu per satu. Distribusi panas bara turut ambil bagian penting di sini. Belum lagi kalau bicara penyebaran bumbu yang pasti lebih pas kalau dibuatper porsi, bukan keroyokan. Karena itu, di banyak warung yang masih memegang teguh nilai luhurnya, masak bakmi Jawa pasti satu-satu. Tak peduli seberapa ramai yang antre.

Saya pernah cengengesan mendengar Bu Heru menjawab santai keluhan seorang pembeli yang tampak gridu dan berkali-kali tanya kapan pesanannya selesai.

“Kalau buru-buru, cari warung lain mawon, Mas.”

Karena itu, bagi saya: menyantap bakmi Jawa itu adalah sebuah pengalaman bersantap yang utuh. A whole experience. Dalam lingkar pengalaman ini, menunggu adalah bagian tak terpisahkan. Jika lapar dan tak mau sabar menunggu, memesan bakmi Jawa sepertinya bukan hal bijak. Sebaliknya, jika ingin mempelajari menunggu sebagai sebuah seni, maka memesan bakmi Jawa bisa jadi latihan awal yang baik.

Dalam pengalaman menyantap bakmi Jawa yang otentik, lingkarannya dimulai dari memesan, kemudian menunggu. Selama menunggu, kita akan disajikan wangi aroma bawang putih, kemiri, dan aneka bumbu yang ditumis di minyak panas. Bunyi sreng sreng sreng dari wajan dan letupan kecil upo dari tungku, membuat indera pendengar terangsang.

Dari sana bakmi dituang ke wajan. Diaduk. Jika pesan bakmi goreng, maka kita akan melihat kecap dituangkan. Pilihan kecap juga akan menentukan perbedaan rasa di tiap warung bakmi Jawa. Setelah matang, diampruki bawang goreng, bakmi Jawa siap disantap.

Ketika bersiap menyantap pun, hidung akan mengalami aroma-aroma yang berbaur. Dari wangi bumbu, aromatik dari seledri dan bawang goreng, juga gurih-manis samar dari kecap. Setelahnya, baru lidah yang akan ambil urusan.

Tentu ada banyak hal berubah setelah sekian lama. Yogyakarta yang sudah jadi kota favorit wisatawan pun mau tak mau ikut terseret ke arus deras pariwisata. Di dunia ini, kecepatan dan pelayanan sering diagungkan, bahkan dijadikan kewajiban.

Banyak penjual bakmi pun ikut beradaptasi. Ada beberapa warung bakmi populer yang mulai masak dalam porsi besar. Ada juga yang mengakali dengan menyediakan banyak anglo, untuk menyiasati pesanan dalam jumlah banyak tapi tetap bisa dimasak satu per satu. Memasak per porsi dan menunggu lama untuk makan bakmi, bisa jadi akan tinggal romantika belaka dan sisa-sisa cerita seorang eyang ke cucunya.

Semua orang yang tinggal di Yogyakarta pasti tahu, bahwa kota ini memang sedang menuju perubahan besar, baik dari segi budaya hingga pembangunan. Dan sama seperti perubahan besar lain, pasti akan ada yang terpinggirkan. Termasuk cara masak yang selo dan santai itu.

Meski begitu, di area-area yang menjauh dari pusat kota dan wisata, ada banyak warung bakmi Jawa yang masih memegang prinsipnya. Mungkin berburu bakmi-bakmi seperti ini bisa jadi kegiatan menyenangkan selepas penat dan jenuh mendengar kata pariwisata, kemajuan bersama, dan juga pembangunan. []

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Irfan Satryo Wicaksono