tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mendorong Bank Perkreditan Rakyat (BPR) agar dapat terus relevan dengan masyarakat. Salah satu aspek yang menjadi rekomendasi OJK adalah dorongan bagi BPR untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad menilai tantangan yang dialami BPR saat ini sangatlah besar. Menurutnya, persaingan bagi BPR datang dari berbagai jenis lembaga keuangan, baik yang berskala besar maupun kecil.
Kendati tidak mengungkapkan secara gamblang, namun Muliaman mengindikasikan perlu adanya kewaspadaan bagi BPR apabila melihat tren layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) yang menjamur belakangan ini.
“Tidak secara khusus diarahkan seperti itu,” kata Muliaman di Hotel Aryaduta, Jakarta, pada Senin (10/7/2017) lalu.
“Karena begini, BPR juga harus mampu menyediakan produk yang tidak kalah (bervariasi). Katakanlah disrupsi, yang mana itu bisa muncul dari berbagai sudut. Sekarang ini, penguatan daya tahan dan kemampuan BPR menjadi prioritas utama,” ujar Muliaman.
Akan tetapi, di sisi lain Muliaman turut menekankan bahwa keharmonisan antara BPR dengan industri start-up sangat perlu dilakukan. Dengan begitu, keduanya dinilai mampu berjalan beriringan.
“Itu karena OJK juga punya kewajiban untuk membangun start-up melalui berbagai fintech ini juga. Jadi kita beri kesempatan seluas-luasnya kepada siapa saja pelaku itu, apalagi kalau tujuannya membuka layanan keuangan seluas-luasnya kepada masyarakat,” jelas Muliaman.
- Baca juga:Bulan Madu Perbankan dan Fintech
Senada dengan Muliaman, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto turut menyebutkan keberadaan fintech tidaklah bersifat disruptif. Akan tetapi, dampak dari persaingannya dinilai relatif besar.
“Dalam rangka mengikuti perkembangan layanan berbasis teknologi, yang harus dilakukan BPR ini adalah terus melakukan peningkatan layanan. Untuk itu, service level BPR haruslah ditingkatkan,” kata Joko di Jakarta pada Senin (10/7/2017) lalu.
“Pekerjaan rumah BPR ini kan kalau teknologi lawannya investasi, kemampuan kita terbatas. Maka yang menjadi tugas adalah bagaimana capex (belanja modal) itu tetap pada perusahaan partner kita, tapi operatingexpense dari kita,” tambah Joko.
Penambahan Konten Teknologi
Dengan tantangan zaman yang begitu besar, Muliaman meyakini BPR punya cukup modal untuk bisa bertahan. “BPR ini industri yang besar, karena ada di seluruh Indonesia. Jaringannya 6.000 lebih. Asetnya Rp 115 triliun lebih, dan BPR ini kita harapkan bisa memberikan kontribusi nyata untuk membuka akses keuangan kepada seluruh masyarakat karena (kedudukannya) ada di garis depan,” jelas Muliaman.
Oleh karena itu, dengan perbaruan citra (rebranding) BPR yang menjadi lebih melek teknologi, diharapkan masyarakat yang menggunakan produk dan layanannya semakin banyak.
“Kita ingin BPR bisa lagi masuk pasar, melayani pedagang-pedagang di pasar. Selain itu, kita juga ingin BPR terus masuk ke sektor-sektor informal,” kata Muliaman lagi.
Dengan menambah konten teknologi di BPR, kata Muliaman, diharapkan BPR bisa menyentuh banyak lapisan masyarakat, sekaligus memberikan beberapa aspek kemudahan dan kenyamanan bagi nasabah BPR.
Industri fintech sendiri saat ini memang tergolong bertumbuh pesat. Berbagai produk dan layanan pun mereka hadirkan, dan tidak sedikit yang menyasar langsung kepada segmen masyarakat kelas menengah maupun pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Sebagaimana tertulis dalam Peraturan OJK tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh BPR dan BPR Syariah Pasal 2 Ayat 1, disebutkan bahwa industri BPR dan BPR Syariah memang telah diwajibkan menyelenggarakan teknologi informasi guna mendukung pelaksanaan kegiatan usahanya. Minimal keduanya itu harus dibekali dua hal, yakni Core Banking System dan Data Center.
Sementara itu, bentuk dari Core Banking System adalah aplikasi untuk memproses transaksi sehari-hari yang mencakup fungsi nasabah, simpanan, pinjaman, akuntansi, dan pelaporan. Sementara Data Center bertujuan untuk melakukan proses back up data secara penuh, meliputi aplikasi dan data seluruh aktivitas BPR dan BPR Syariah.
Terkait penerapan teknologi dalam kegiatan operasional BPR, Deputi Komisioner Perbankan IV OJK Boedi Armanto berharap 1.600 unit BPR yang tersebar di seluruh Indonesia dapat bersinergi. Dengan begitu, Boedi menilai upaya bagi mereka untuk belanja teknologi dapat berjalan secara efektif dan efisien.
“Sebetulnya kalau BPR mau (mengembangkan) teknologi informasinya itu akan mahal. Karena kan kecil-kecil (skalanya). Makanya kita harapkan BPR mampu bersinergi menjadi satu. Lewat kolaborasi itu, barulah deal dengan perusahaan IT, sehingga cost mereka hanya pada operationalcost,” ungkap Boedi.
“Tentunya kerja sama dengan perusahaan IT tidak bisa dilepaskan dari peran Perbarindo, karena kita minta dukungan dari mereka. Berhubung BPR ini (skalanya) ada yang kecil sampai yang besar, maka kita juga akan buat koridor siapa yang bisa ikut dan syarat apa yang harus dipenuhi,” jelas Boedi lagi.
Sampai sejauh ini, salah satu vendor yang turut berperan aktif dalam pengembangan teknologi BPR adalah Telco. Adapun saat disinggung perihal langkah konkret penerapan teknologi tersebut, Boedi lantas memaparkan bahwa ada sejumlah tahapan untuk melakukan rebranding.
“Tahapan pertama tentu kan pengenalan dan edukasi. Kemudian tahap kedua adalah kita melakukan implementasi, yang dimulai dengan pilot-pilot project. Selanjutnya untuk tahap ketiga, kita akan melakukan evaluasi dan pengembangan,” kata Boedi.
Sejumlah pemerintah daerah pun rupanya mendukung inisiatif dari OJK terhadap eksistensi BPR ini. Salah satunya seperti yang dilakukan di Kalimantan Selatan. Ketua Perbarindo Kalimantan Selatan Isnaeni mengaku tidak keberatan apabila sejak diawasi secara intensif oleh OJK nantinya, akan ada perampingan dari segi jumlah BPR.
Sedangkan untuk di Bandung, meskipun tidak secara langsung mengaitkannya dengan inisiatif OJK, namun Pemerintah Kota Bandung mengaku akan mendukung upaya penguatan peran BPR di tengah masyarakat.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, BPR selaku bank milik daerah harus fokus memberikan kredit bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Ia menyebut, kredit mikro ini pangsa pasar yang seringkali tidak banyak tersentuh oleh lembaga-lembaga keuangan formal lainnya. Selain itu, Emil juga berpendapat BPR seharusnya bisa melakukan sejumlah fungsi lain, seperti melakukan pendampingan bisnis dan menawarkan kemudahan pinjaman.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz