Menuju konten utama
Misbar

Judi dan Spiritualitas dalam The Wonderful Story of Henry Sugar

The Wonderful Story of Henry Sugar memuat cerita berbingkai karya Roald Dahl. Temanya berkisar pada pencarian akan pencerahan ke Timur.

Judi dan Spiritualitas dalam The Wonderful Story of Henry Sugar
Header Misbar Kisah Indah Henry Sugar. tirto.id/Parkodi

tirto.id - The Wonderful Story of Henry Sugar merupakan film pendek berdurasi 41 menit arahan Wes Anderson yang diadaptasi dari cerpen berjudul sama karya pengarang kenamaan Roald Dahl. Film ini telah tayang di Netflix bersama tiga judul lainnya, yaitu The Swan, The Ratcatcher, dan Poison.

Kisahnya dinarasikan Roald Dahl sendiri (diperankan oleh Ralph Fiennes) dari ruangan kerjanya. Metode ini juga diulang sang sutradara pada tiga film pendek lainnya dalam seri ini. Di sana, tampak kegemaran sang sutradara untuk menggunakan karakter penulisnya sekalian sebagai narator cerita. Karakter-karakter seperti dr. Chatterjee (Dev Patel) maupun Henry Sugar (Benedict Cumberbatch) turut berbicara ke arah kamera, memandu para penonton.

Pengambilan gambar masih ditangani sinematografer kolaborator tetapnya, Robert Yeoman. Anderson, sebagaimana biasa, membangun dunia rekaan yang distingtif dengan set bagai panggung teater dan sesekali menyertakan diorama dan sekuens animasi. Visualnya masih sarat dengan warna-warna pastel nan lembut, sementara pendekatan deadpan senantiasa digunakan sebagai “brand” komedinya.

Sang sutradara pun masih memiliki “kemewahan” untuk mempekerjakan para aktor berkelas, yang seluruhnya pun turut tampil dalam tiga film pendek lainnya.

Yang berbeda kali ini adalah absennya denting ceria musik gubahan Alexandre Desplat. Dia hanya menerapkan score dan sound effect sederhana demi memberi lebih banyak ruang fokus pada suara para narator.

Alasan pemilihan cerpen The Wonderful Story of Henry Sugar untuk dialihwahanakan agaknya cukup mudah disimpulkan. Mulai dari naratifnya yang memuat cerita berbingkai juga temanya yang berkisar pada pencarian akan pencerahan ke Timur. Ini mengingatkan kita pada film terdahulunya The Darjeeling Limited atau kentalnya pengaruh Satyajit Ray dalam pendekatan filmnya.

Di antara judul-judul lainnya dalam seri ini, The Wonderful Story of Henry Sugar cukup aman untuk dikatakan sebagai yang terbaik. Durasinya yang cukup panjang—terpanjang di antara yang lain—jadi mengesankan keutuhan. Kronik naratifnya juga tak hanya yang paling lengkap, tapi juga paling ringan dan memberi nuansa feel-good.

Pengadaptasiannya pun tak berlebihan dan lugas seperti materi aslinya, terutama bila dibandingkan dengan film-film terakhir Anderson seperti The French Dispatch dan Asteroid City.

Kisah Penebusan Bagai Mimpi

The Wonderful Story of Henry Sugar pertama kali dipublikasikan Dahl pada 1977. Cerpen ini juga menjadi judul untuk salah satu buku kumpulan cerpen sang pengarang (yang juga memuat kisah The Swan).

Sebagaimana filmnya, cerpen ini pun dituturkan oleh beberapa narator berbeda. Hal itu karena hadirnya cerita-dalam-cerita yang mengambil waktu di India awal abad ke-20. Dalam mengadaptasinya, Anderson menggeser latar waktunya ke akhir abad ke-19 dengan beberapa pemangkasan (terutama soal kisah Imdad Khan) serta beberapa perubahan pada karakter sampingan.

Inti ceritanya tetap sama, yakni menyoroti kronik hidup lelaki kaya bernama Henry Sugar yang narsistik dan berprivilese. Dia dikisahkan tak pernah bekerja sehari pun dalam hidupnya serta memiliki teman-teman yang semuanya kaya dari warisan. Dia nyaris mati kebosanan karena kekayaan itu sampai tak sengaja mendapati kisah Imdad Khan, sosok waskita yang mampu melihat dengan mata tertutup.

Kisah Henry Sugar dan Imdad Khan lantas jadi paralel dalam hal sama-sama menggunakan agama dan yoga untuk fortune and fame. Keduanya juga nyaris berakhir serupa: sama-sama tamat hidupnya sebagai ganjaran telah memberitahukan rahasia kekuatannya sendiri di hadapan publik.

Bedanya, kendati pada awalnya ditujukan demi mengeruk keuntungan semata, Henry Sugar menemukan hasrat murni pada yoga. Ada kesan untuk menjadikannya sebagai proses yang benar-benar spiritual, bahkan transendental. Pasalnya, dunia mendadak jadi kelewat materialistis bagi Henry. Teman-teman elite dan kenalannya sontak menjelma orang-orang yang vulgar.

Hidupnya pun lantas bergeser drastis menuju pengujung yang wholesome. Dia kini tahu batas, paham soal ajal yang kian merapat, banyak terbantukan oleh yoga dalam mengubah pemikiran soal hidup.

Sebagai cerita, cerpen ini merupakan karya Dahl yang mudah diikuti dan paling page-turner ketimbang kisah-kisahnya terdahulu. Ia ditulis dengan diksi-diksi sederhana, meski di beberapa bagian terkesan diseret-seret akibat disesaki detail.

Anderson lantas memotong banyak proses panjang Henry Sugar mempelajari hidup, yang bahkan mencapai tahap obsesif. Dia menghakhiri kisah Henry Sugar dengan renungan mendalam, sementara Dahl menulisnya dengan lebih dramatis.

Anderson mungkin tak hendak mengulangi pendekatan serupa, mengingat dia juga telah mengadaptasi tema serupa dalam Fantastic Mr. Fox yang juga diangkat dari kisah rekaan Dahl.

Format film pendek lantas jadi pilihan jitu karena narasi jadi bisa dibuat lebih fokus dengan struktur yang juga lebih padat. Pada saat yang sama, dia tetap menyertakan keakuan dari sang pengarang, semisal saat Dahl menyelinap ke dalam naratif rekaannya dengan menegaskan diri sebagai penulis fiksi yang kompeten.

Beberapa adegan lainnya pun dengan mulus menempel alami pada plot utama yang diusung sang sutradara. Penyampaian humornya pun tetap dibuat “kering” dengan pendekatan deadpan yang khas Anderson.

Sebagai pengarang yang ramai dikenang selaku penulis kisah anak populer, adaptasi cerpen-cerpen Dahl yang lebih dewasa pun jadi pilihan unik dan segar. Kisah-kisahnya membumi, tapi juga sekaligus “ajaib” lantaran diselipi elemen-elemen fantastis dengan kadar yang terukur. Cerita-cerita itu, selain memperkaya khazanah kita tentang dunia fiksi Dahl, sekaligus menjadi penyegaran dalam perjalanan kreatif Anderson.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi