tirto.id - Lengangnya kota kecil dengan desain yang rada mengingatkan pada The French Dispatch, dengan latar alam yang dilukis sebagaimana dalam Asteroid City, dalam suasana lebih rileks ketimbang Poison. Begitulah suasana yang dibangun Wes Anderson dalam The Rat Catcher, film pendeknyayang diangkat dari cerpen berjudul sama karya Roald Dahl dan ditayangkan di Netflix sejak September lalu.
Tanpa musik, hanya ditimpali nuansa dan efek suara, The Rat Catcher tampil distingtif dari gambaran tren Wes Anderson yang marak di Tiktok dan berbagai platform media sosial lainnya sepanjang 2023 ini. Meski begitu, The Rat Catcher tetap hadir dengan sentuhan khas Anderson, sebutlah dengan komposisi gambar simetris, penggunaan whip pan dan tableau shots arahan sinematografer Robert Yeoman, dengan estetika desain vintage,serta warna-warna lembut teredam yang disatukan dengan color gradingkekuningan.
Dalam film pendek ini, Richard Ayoade berlaku sebagai narator sekaligus salah satu karakter. Gaya bicaranya terdengar merepet, tapi juga bisa dibilang lebih santai ketimbang para narator lain dalam seri film pendek ini (bersamanya ada pula The Swan, The Wonderful Story of Henry Sugar, dan Poison).
Bersama Claud (Rupert Friend), dia juga jadi penyaksi sesumbar seorang penangkap tikus yang dipanggil Rat Man (Ralph Fiennes). Nama terakhir bisa jadi hadir dengan penampilan paling mengesankan dalam rangkaian seri ini. Dia menampilkan Rat Man dengan reaksi, ekspresi, dan gerak-gerik yang jitu—jadi salah satu karakterisasi paling berwarna dalam senarai karakter-karakter Anderson yang lazimnya tak begitu mendalam dan minim emosi.
Sang sutradara punya kecenderungan membuat dunianya sebagai diorama, baik secara harfiah maupun kiasan, sekalian membuat karakter-karakternya terkesan satu dimensi belaka. Ralph Fiennes menyatu dengan semangat itu, tapi di saat bersamaan juga mendorong batas-batasnya sehingga menjadi salah satu karakter terbaik dalam filmografi Anderson (simak misalnyaThe Grand Budapest Hotel).
Maka tak mengherankan sang aktor juga turut memerankan Roald Dahl dalam seri ini.
Turut melibatkan beberapa stagehand, The Rat Catcher berlaku tak ubahnya sandiwara di panggung teater. Ia mengambil tempat di satu kota kecil tanpa banyak penjelasan, tapi jelas tampak di suatu sudut Eropa (tepatnya Inggris, jika mendengar logat British para karakternya) pada masa lampau yang juga tak jelas lini masanya.
The Rat Catcher bertumpu sepenuhnya pada dialog di antara tiga karakternya. Pembicaraan itu pada permukaannya memang soal pembasian hama tikus, tapi di lapis-lapis dalamnya mereka membincangkan banyak isu lain. Karenanya, judul film pendek ini sebenarnya mengundang interpretasi lebih lanjut dari penontonnya.
Ihwal Perburuan Tikus dan Jualan Imajiner
The Ratcatcher (tanpa spasi) merupakan cerpen pertama dalam rangkaian empat cerpen dalam seri Claud's Dog yang ditulis Roald Dahl di Wisteria Cottage, Buckinghamshire, Inggris, pada akhir 1940-an. Itu adalah kumpulan cerita yang terinspirasi dari kisah-kisah warga di area barat laut London. Ia pertama kali dipublikasikan dalam kumpulan cerpen Someone Like You pada 1954.
Dalam materi asalnya, kisah itu berfokus pada satu sekuens perburuan tikus dan sangat bergantung dengan dialog di antara karakter-karakternya. Wes Anderson menyadari hal itu dan mengadaptasikannya dengan luwes ke medium film pendek.
Tambahan paling mencolok darinya ialah kehadiran sosok Dahl (diperankan Ralph Fiennes) dalam film. Dahl menjadi karakter yang seolah menjadi penyampai “catatan kaki” dalam cerita. Pastinya, karakter Dahl tak hanya muncul di The Rat Catcher saja, tapi juga di seluruh film pendek dalam serial ini.
Dalam cerpen The Ratcatcher, Dahl tampak berhati-hati. Pasalnya, dia punya kecenderungan untuk menampilkan kekejian tertentu—terutama terhadap hewan—yang dilakukan oleh karakter-karakter manusianya. Sudut pandang orang pertama dalam ceritanya (dalam karakter Gordon sekaligus narator) sedari mula memandang jijik perilaku bahkan penampilan Rat Man.
Dahl juga punya kecenderungan menampilkan penggambaran antropomorfik (hewan berkarakter manusia) sebagaimana sederet kisah anak-anaknya, semisal Fantastic Mr. Fox—telah diadaptasi ke dalam feature film oleh Anderson. Namun, The Ratcatcher adalah kebalikannya: Rat Man adalah karakter manusia yang lebih menyerupai hewan.
Meski dilambari petunjuk-petunjuk bahwa cerpen ini bakal jadi fantastis atau supranatural dengan karakter manusia setengah tikus (atau setengah ferret), karakter Rat Man justru berkembang menuju arah berbeda. Dia menganggap tikus sebagai makhluk cerdik dan karena itu menganggap dirinya sebagai makhluk superior lantaran mampu menaklukkan hewan pengerat itu.
Kebanggaan itu berlanjut pada upaya mencapai kejayaan barang sebentar, entah melalui validasi orang-orang akan kepiawaian, kecerdikan, dan maskulinitasnya atausekadar mencari teman cengkerama. Pasalnya, tak hanya menyerupai tikus, Rat Man bahkan diperlakukan selayaknya hewan tersebut; dikucilkan, dijauhi masyarakat, bahkan oleh kelas pekerja sekalipun.
Rat Man menyerupai makhluk buruannya dalam berbagai lapisan—yang diterjemahkan Anderson sesuai dengan gambaran Dahl. Sang sutradara juga menampilkan pendekatan unik dalam penuturannya dengan menampilkan penggambaran benda yang tak kasat mata di beberapa momen. Ferret, salah satu tikus, racun, dan tali pengikat tikus sepenuhnya ditampilkan imajiner. Begitu pun adegan Rat Man memasukkan dan membiarkan tikus dan ferret berkejaran di dalam bajunya. Satu tikus hadir dalam sekuens animasi, tapi selebihnya, tema imajiner jadi pokok presentasi.
Ini mungkin semacam metode mystery box dalam cerita, jika bukan sekadar upaya penghematan anggaran. Boleh jadi juga sekadar keengganan Anderson menampilkan kebrutalan pada hewan. Hal itu juga bisa dibaca sebagai penekanan soal “dagangan” Rat Man—alih-alih pembasmi tikus profesional, dia sebetulnya lebih tampak seperti trickster atau con man belaka.
Bila dikembalikan ke upaya mempertahankan semangat atau keanehan serupa cerpennya, metode ini tetap berhasil. Cerpen Dahl memang menggambarkan beberapa adegan secara lebih mendalam, tapi juga membiarkan pembaca mengimajinasikan sendiri apa yang dilakukan Rat Man terhadap tikus tangkapannya pada momen puncak.
Jadi, menarik untuk melihat dasar apa yang dipacak Anderson dalam memilah cerita-cerita Dahl yang hendak diadaptasinya ke medium gambar bergerak. Sebagai penulis prominen kisah anak-anak, kisah-kisah Dahl lazimnya diikuti pesan moral. Namun, cerita yang lebih menyasar pembaca dewasa seperti The Ratcatcher, mestinya tak harus demikian.
The Ratcatcherbarangkali hanyalah “cerita yang sekadar cerita” dari penduduk setempat. Barangkali juga, ia tak lebih dari perkara menggambarkan orang-orang yang terkucilkan dan gagal mengesankan di sekitar kita.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi