Menuju konten utama
Misbar

Poison: Racun Tanpa Penawar Berwujud Rasisme

Poison merupakan bagian dari seri film pendek garapan sutradara Wes Anderson yang tayang di Netflix. Mengadaptasi Cerpen dari penulis besar Roald Dahl.

Poison: Racun Tanpa Penawar Berwujud Rasisme
Header misbar Poison. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Berikan Wes Anderson ruang, maka dia akan terus berkembang. Mungkin jadi makin tak keruan atau jadi kian terasa “asyik sendiri” seperti dalam dua feature film terakhirnya, The French Dispatch dan Asteroid City.Namun, Wes Anderson tetaplah Wes Anderson. Dua film itu boleh jadi tak begitu sesuai dengan selera khalayak, tapi sebetulnya tetappunya daya pikat.

Dan kali ini, Anderson kembali melalui medium baru: film pendek. Ini seolah jadi sarana tepat untuk melihat eksplorasi sang sutradara dalam penceritaan yang lebih ringkas dan penuturan yang sederhana.

Poison jadi salah satu karya terbaru Anderson dalam rangkaian tiga film pendek yang semuanya diadaptasi dari cerita pendek karya pengarang prominen Roald Dahl. Bersama dengan The Rat Catcher, The Swan dan The Wonderful Story of Henry Sugar, Poison ditayangkan melalui platform pengalir Netflix sejak akhir September 2023.

Ketiga film pendek itu tentunya hadir dengan visual dan estetika khas Anderson. Masih dengan warna-warna pastel yang membuat segala latar pula situasinya jadi tampak lebih manis ketimbang semestinya, dengan pengarahan yang mencitrakan kecanggungan yang bisa mengubah rasa kisah yang mana pun.

Poison mengambil latar tempat di sebuah perkebunan rami, tepatnya di rumah kayu untuk petugas kolonial Inggris di India. Itu ditampilkan dengan metode cutaway yang biasa diterapkan dalam film-film Anderson lainnya. Pun masih dengan kerja kamera dengan angle tak lazim arahan sinematografer Robert Yeoman.

Timber Woods (Dev Patel) celingak-celingukdi antara penonton dan karakter lain. Dia menarasikan kisah dengan merepet, bahkan menjelaskan setiap polahnya persis narator dalam cerita medium tulisan.

Suatu malam, dia mendapati Harry Pope (Benedict Cumberbatch), seorang Inggris di tanah jajahan, merasakan ada ular krait menaiki perutnya. Dia lantas memanggil dr. Ganderbai (Ben Kingsley), seorang dokter lokal, untuk menangani kejadian ini.

Poison adalah 17 menit yang cukup intens. Tak ada musik ceria, begitu pun tembang lawas yang biasa bergemericik mengiringi film-film Anderson. Bahkan hanya ada sesekali bebunyian di sana. Suara kadang muncul hanya di kanan atau kiri telinga penonton.

Sifat cerita yang tegang seperti itu rupanya bisa jadi lucu berkat pergerakan karakter dan kamera yang mendadak. Juga berkat penyampaian keseluruhan para karakter yang kikuk dengan akting deadpan.

Terasa laiknya teater, para stagehand memasuki panggung sesekali untuk membantu plot bergerak, sementara para karakternya berbicara atau sekadar menatap ke layar. Poison betul-betul terasa seperti penuturan yang ditranslasikan secara harfiah ke dalam medium film. Bila cerpen terang-terangan dialihwahanakan jadi gambar bergerak, alih-alih disesuaikan naskahnya, mungkin inilah contoh paling pakemnya.

Racun Bernama Rasisme

Kenyataannya, cerpen berjudul sama yang ditulis Roald Dahl pada 1950 itu juga tak jauh berbeda. Hanya ada sedikit perubahan dalam dialog maupun lines, dengan satu tambahan mencolok, yakni hadirnya sosok Dahl sendiri (diperankan Ralph Fiennes) yang ikut menarasikan cerita.

Poison merupakan cerita yang mudah dibayangkan, dengan gaya bertutur Dahl yang lazimnya sarat humor, dengan gaya yang kadang melebih-lebihkan. Semua itu ternyata selaras benar dengan dunia-dunia rekaan Wes Anderson. Karenanya, kau mungkin tak bakal mendapati banyak perubahan kala menonton filmnya usai membaca materi sumbernya.

Satu perubahan yang cukup krusial dari Anderson malah soal karakternya. Karakter Timber Woods (hanya disebut Woods di film) jadi semacam warga lokal yang dipekerjakan kolonial Inggris. Ia lebih menyerupai pelayan atau ajudan untuk opsir kulit putih, alih-alih temannya. Memilih Dev Patel (aktor Inggris keturunan India) pun jadi pilihan tepat.

Tambahan lain yang didalami dalam filmnya berupa komentar terhadap piyama yang dikenakan Harry. Woods yang seorang warga lokal tak pernah memiliki piyama semacam itu. Sebuah komentar yang bisa dibaca sebagai upaya untuk mempertajam jurang di antara kaum penjajah dan yang terjajah.

Cerpennya ditutup dengan kalimat dari dr. Ganderbai, "Semua yang ia [Harry] butuhkan adalah liburan yang baik". Penutup yang juga bisa mengimplikasikan soal penjajahan, khususnya yang dilakukan Inggris di India. Adapun ide pokok yang lebih terang ialah soal “racun” yang dimaksud dalam kisah ini sebenarnya tak lain adalah rasisme.

Sebagai salah satu penulis kisah anak terbaik sepanjang masa, Roald Dahl sekilas jadi penulis yang “aman” reputasinya seiring waktu berjalan dan nilai-nilai sosial berubah. Namun, itu tak otomatis membuat dia lepas dari tuduhan rasisme. Tak juga menjadikan karya-karyanya cukup bersih untuk dicetak berulang.

Di tahun ini, Penguin Books sempat berupaya “membersihkan” karya-karya Dahl. Kasus ini lalu ramai dengan sebutan Roald Dahl revision controversy. Poison setidaknya cukup aman diadaptasi lantaran ia sekadar menyoroti perkara rasisme—bahwa racun yang dimaksud ialah lapisan dalam cerita, antara bisa ular dan rasisme yang mendera orang-orang India, prasangka antara para penjajah dan terjajah.

Dalam cerpennya, karakter Harry bisa dikatakan lebih kasar ketimbang versi filmnya. Rentetan umputan diluncurkannya saat memaki Ganderbai, diikuti perendahan warna kulit bahkan agama. Anderson tampaknya enggan menempuh langkah serupa. Dia memang tetap membawa motif rasial, tapi setidaknya menyingkirkan agama dari makian yang keluar dari congor Harry.

Dengan beberapa perubahannya, Poison tetap jadi kisah yang dengan singkat mampu menyoroti rasisme secara tajam. Baik secara simbolis maupun harfiah maupun power play dari yang kuat terhadap yang lemah. Poison versi Anderson bahkan mungkin lebih pesimistis lagi, lantaran ditutup dengan tak adanya penawar untuk racun rasisme itu.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi