tirto.id - Orang-orang Prancis seperti tidak pernah kehabisan bahan dan alasan untuk turun ke jalan demi mengekspresikan ketidakpuasan. Dari bentrokan antargereja pada abad ke-16, diikuti kerusuhan akibat kenaikan harga gandum serta Revolusi Prancis dua abad berselang, hingga protes buruh dan protes Covid-19 pada 2021.
Jessica Reed di The Guardian menggambarkan relasi antara warga Prancis dan pemerintahnya sebagai berikut: "Pernahkah Anda hidup dengan pasangan yang sangat Anda cintai, yang dengannya hidup akan jadi sempurna–jika saja mereka bisa… berubah?" Orang-orang Prancis sadar bahwa hanya dengan turun ke jalanlah suara mereka bakal didengar sang pasangan alias pemerintah.
Kadang-kadang mereka menang alias tuntutan dikabulkan. Tapi tak jarang pula segala unjuk rasa dan kerusuhan itu hanya berujung pentungan.
Satu dari sekian protes paling dikenang sepanjang masa terjadi pada 53 tahun silam, tepatnya pada Mei 1968. Setelah itu hingga nyaris dua bulan kemudian para mahasiswa dan buruh menduduki kampus dan pabrik. Mereka baru dapat dijinakkan oleh pemerintahan Charles de Gaulle setelah mengumumkan akan melibatkan militer. De Gaulle sendiri mundur dari jabatannya satu tahun kemudian.
Aksi Mei 68 terus dikenang orang-orang Prancis sebagai salah satu momen terpenting sejak Perang Dunia II. Revolusi politik gagal dan tiang gantungan urung digunakan, tetapi momen ini tetap dianggap sukses sebagai sebuah revolusi sosial.
Menantang Hierarki Otoritas
Mei 68 bukanlah peristiwa yang terjadi mendadak. Tanda-tanda kerusuhan jelas terlihat jauh sebelum kejadian. Demonstrasi mahasiswa, misalnya, sudah membara sejak 1963.
Film dokumenter In The Intense Now (2017) garapan sutradara Brasil João Moreira Salles menampilkan anggapan bahwa Mei 68 dimulai sebagai reaksi terhadap kampus yang bersikeras membuat undang-undang tentang kencan dan seks. Ketika itu sudah ada aturan yang melarang mahasiswa mengunjungi asrama mahasiswi. SementaraSmithsonian Magazine menyebut pergerakan itu dimulai oleh para mahasiswa di dua kampus Universitas Paris, Nanterre dan Sorbonne. Mereka berkampanye untuk mengubah tata kelola institusi akademik sendiri agar lebih baik. Namun, dalam arti lebih luas, mereka juga "memprotes kapitalisme, imperialisme Amerika, dan Gaullisme–kebijakan konservatif dan kekuasaan eksekutif terpusat yang diperintah oleh Presiden Charles de Gaulle."
Aparat merespons protes dengan kekerasan. Penindasan polisi terhadap para mahasiswa membuat jalanan Prancis saat itu tak ubahnya perang sipil.
Para mahasiswa lalu meminta serikat-serikat buruh dan partai-partai kiri bergabung. Gayung bersambut. Represi aparat memicu pemogokan simpatik besar-besaran yang diserukan oleh konfederasi serikat buruh. Pemogokan menyebar cepat, melibatkan 11 juta pekerja atau lebih dari 22% total penduduk saat itu. Ekonomi pun lumpuh.
Orang-orang tua menonton dari balkon, yang lebih muda dan berdaya memutuskan semuanya di jalanan. Mobil-mobil dibakar atau dibalikkan menjadi barikade, molotov beterbangan. Grafiti seperti "kebahagiaan adalah gagasan baru" diguratkan. Di arena unjuk rasa, kekuatan para pemrotes terletak pada spontanitas tak terkendali, suatu leaderless movement atau kerap juga disebut wildcat strike action.
Demonstrasi telah meluas ke pabrik-pabrik, termasuk pabrik mobil seperti Citroen dan Renault, pada pertengahan Mei.
"Hierarki otoritas ditantang di universitas, pemerintahan, perusahaan, keluarga, dll," ujar sejarawan Michelle Zancarini-Fournel. Meskipun tuntutan para pekerja bisa dibilang berbeda dari para mahasiswa, mereka berbagi kemuakan yang sama pada kesewenang-wenangan kelas yang berkuasa.
Mereka adalah mahasiswa yang tertidur saat mendengarkan Jean-Paul Sartre bercakap soal sistem perkuliahan; pemrotes yang bersimpati secara emosional dan ideologis dengan Ho Chi Minh, komunis yang memimpin perjuangan kemerdekaan Vietnam dari Prancis.
Mereka menyerukan de Gaulle untuk mengundurkan diri dari jabatannya, menuntut Prancis untuk tidak menjadi "negara polisi" yang mengizinkan penggunaan senjata gas yang sama dengan di Perang Vietnam. "Gantung de Gaul!" teriak para demonstran di jalanan.
Pada 24 Mei, saat negara lumpuh, de Gaulle yang tua dan letih tampil di televisi dan berpidato. Sang Presiden dianggap tidak mengerti betapa seriusnya situasi.
Malam hari setelah de Gaulle berpidato menjadi waktu terburuk, terbrutal selama Mei 68. Dua orang tewas di tengah pusaran kerusuhan. Di Lyon, inspektur polisi René Lacroix tewas ditabrak truk tanpa pengemudi yang dikirim oleh para perusuh. Di Paris, Philippe Metherion ditikam selama pertengkaran di antara para demonstran.
Pada 29 Mei, de Gaulle menghilang selama beberapa jam. Tidak ada yang tahu keberadaan orang nomor satu di Prancis itu. Pemerintahan berhenti berfungsi.
Para pejabat dilaporkan mulai membakar dokumen, mencoba mendapatkan pesawat pribadi, mengganti identitas atau bertanya kepada ajudannya seberapa jauh mereka dapat melarikan diri dengan mobil jika kaum revolusioner merebut pasokan bahan bakar. Di luar sana, uang dari bank tak bisa lagi ditarik dan bensin untuk mobil pribadi sudah tak tersedia.
Revolusi yang Urung
Revolusi tampak sudah di depan mata ketika keesokan harinya, 30 Mei, Sang Presiden kembali ke peredaran dan angkat bicara di radio. Kali ini tidak tampak de Gaulle yang tua dan letih. Orang-orang Prancis hanya bisa mendengar suaranya yang mengatakan hal-hal seperti, "Aku tidak akan mundur," "demi republik," dan "Prancis di bawah ancaman kediktatoran."
Setelah menghilang dan menelantarkan tampuk kekuasaan barang sehari, de Gaulle kembali dan membuat publik terkenang akan jasa-jasa dia tatkala Perang Dunia II. Sang Presiden juga memerintahkan para pekerja untuk kembali berproduksi, jika tidak, state of emergency bakal diberlakukan. Pemerintah juga membocorkan kepada media bahwa tentara sudah berjaga di luar Paris.
Lebih lanjut de Gaulle turut mengumumkan pemilihan legislatif bakal diselenggarakan, hanya berselang setahun sejak pemilu sebelumnya digelar pada 1967. Kubu komunis menyetujui hal itu.
Sekitar setengah juta orang (sumber lainnya menyebutkan 800 ribu) lantas berkumpul di Champs-Élysées untuk menunjukkan dukungan mereka kepada de Gaulle. Itu adalah massa yang berbeda dengan mereka yang telah berminggu-minggu memeriahkan jalanan Prancis. Mereka hadir dalam balutan pakaian yang lebih mahal, datang dari kelas yang berkuasa, tidak terkecuali pemilik bisnis-bisnis kecil yang gemetar dengkulnya melihat anarkisme mengambil alih. Dari menjadi protagonis aksi, mahasiswa pun lantas menjadi "extra" belaka, background actor.
Ancaman revolusi pun usai.
Partai Gaullist, Union of Democrats for the Republic, berjaya di pemilu dengan meraih kemenangan terbesar dalam sejarah parlementer Prancis dalam pemilihan yang digelar pada Juni 1968. Mereka meraup 353 dari 486 kursi, bandingkan dengan Sosialis yang mendapatkan 57 kursi dan Komunis hanya 34 kursi.
Belakangan diketahui bahwa "hilangnya" de Gaulle sama sekali bukan untuk mempertimbangkan pengunduran diri. Beberapa jam kekosongan kekuasaan itu digunakan Sang Presiden untuk menemui Jenderal Jacques Massu yang saat itu ditempatkan di Baden-Baden, Jerman. Usai menggenggam dukungan militer, berkat bujukan Massu, de Gaulle kembali dan menyampaikan pidato pada 30 Mei itu.
Meskipun dianggap gagal, Mei 68 mengilhami serangkaian reformasi sosial dan modernisasi bertahap dalam pendidikan, kesejahteraan, tenaga kerja, dan peradilan pidana di Prancis. Julian Bourg, profesor sejarah intelektual Eropa di Boston College, menyebut Mei 68 sebagai permulaan dari periode berkelanjutannya aktivisme, unjuk rasa, bahkan tak hanya di Prancis. "Karena skala, besar, dan intensitasnya peristiwa Prancis, itu [Mei 68] segera disebut di mana-mana sebagai kemungkinan jangkauan terjauh. Jika kita bekerja untuk mengubah masyarakat di dunia, ini adalah contoh seberapa jauh hal-hal dapat berjalan," katanya.
Mei 68 juga menginspirasi banyak karya dalam budaya populer, lagu-lagu yang berangkat darinya digubah oleh band hardcore macam Refused hingga para rockstar macam The Rolling Stones dan The Stone Roses. Dari ranah sinema, Mei 68 tak hanya memengaruhi karya-karya sineas yang juga pionir French New Wave seperti Jean-Luc Godard tapi juga hingga luar Prancis seperti film arahan sutradara Italia Bernardo Bertolucci, The Dreamers (2003) yang dibintangi Eva Green.
Yang terkini, ia hadir dalam film yang menurut sutradaranya, Wes Anderson, sebagai "surat cinta untuk para jurnalis," The French Dispatch (2021). Salah satu dari tiga cerita dalam film itu, 'Revisions to a Manifesto', mengikuti kisah seorang jurnalis (dimainkan oleh Frances McDormand) yang beredar dalam protes Mei 68.
Untuk memahami dalam kerangka paling mendasar bagaimana Mei 68 mengubah kehidupan sehari-hari dan selamanya di Prancis, barangkali kutipan jurnalis Prancis Laurent Joffrin bisa dikedepankan: "Wanita tak ingin lagi pulang ke rumah, homoseksual tidak ingin bersembunyi lagi, pekerja tidak lagi merasa wajib melepas topi setiap kali mereka melewati para mandor."
Editor: Rio Apinino