tirto.id - “Jika struktur ekonomi dunia abad ke-19 dibentuk oleh peristiwa Revolusi Industri di Inggris, maka struktur politik dan ideologinya diwujudkan dengan pengaruh Revolusi Prancis yang kental,” tulis Eric Hobsbawm dalam The Age of Revolution 1789-1848 (1989:73).
Pernyataan itu menegaskan pentingnya Revolusi Prancis dalam konstelasi politik dunia. Sejak kerusuhan di penjara Bastille pada 14 Juli 1789, tepat hari ini 232 tahun silam, revolusi bergema ke berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Bertahun-tahun kemudian, pengaruhnya meluas ke kota-kota di luar Paris dan hampir seluruh Eropa. Di beberapa kota industri Eropa barat, kerusuhan itu sekaligus menjadi simbol penanda munculnya kelompok borjuis modern yang punya kekuatan finansial dalam sistem kapitalis. Di Prancis, kemunculan golongan baru ini terlihat jelas di kota Lyon.
“Lyon adalah pusat industri yang besar. Dikenal sebagai kota manufaktur penghasil sutra, Lyon punya kapasitas dua kali lebih besar dari Manchester. Dengan prinsip-prinsip kapitalis yang berkembang pesat, kota ini dengan jelas memperlihatkan aspek perjuangan kelas. Selain Paris, kota ini juga bergolak dengan hebat,” tulis R.R. Palmer dalam Twelve who Ruled: The Year of the Terror in the French Revolution (2005:153)
Di kota-kota utama, masyarakat Prancis sedang menghadapi dua bahaya yang bisa menyerang kapan saja: tekanan dari pihak asing dan kekerasan fisik serta kerusuhan di antara kawan sendiri di dalam negeri. Bagi para pemimpin termasuk raja, kegagalan menguasai keadaan akan membuat mereka dipenggal massa, atau paling ringan dijebloskan ke penjara. Tapi di saat bersamaan, mereka yakin bahwa jika mereka berhasil: liberty, equality dan fraternity (kebebasan, keadilan, dan persaudaraan) akan terwujud.
Kota Lyon yang punya basis permodalan dari industri manufaktur dengan cepat menjadi basis bagi gerakan kontra revolusi. Kota itu juga memiliki beberapa keuntungan strategis: posisi mereka memungkinkan untuk menjadi pusat komunikasi antara Switzerland, Piedmont, dan Lembah Rhone. Secara politis, Lyon juga punya sejarah panjang perlawanan mempertahankan otoritasnya dan resistensi total terhadap Paris dan Versailles.
Sebagai kota nomor dua setelah Paris, Lyon termasuk kota penting di Eropa. Populasinya yang 150 ribu jiwa, membuat Lyon sanggup mempertahankan diri dari represi asing. Di kota ini, golongan moderat dan Royalis radikal berebut kekuasaan antara tahun 1792-1793.
Kala itu, Lyon sangat ideal dijadikan pelarian bagi para tokoh yang dianggap kriminal oleh massa di kota-kota lain. Maklum, di masa yang dikenal dengan The Reign of Terror (sekitar 1793), segala bentuk pembunuhan bisa diartikan sebagai aksi bela negara atau melindungi semangat Revolusi Prancis. Maka itu, sebagai lokasi pelarian, batas-batas antara kehidupan pribadi individu dan militansi politik hampir tidak terlihat lagi.
Richard Cobb, sejarawan Prancis, melihat komitmen kontra revolusi Lyon sebagai pernyataan sikap yang didasarkan pada aspek-aspek penting kota itu seperti perdagangan, geografi, pola kegiatan ekonomi, dan masa lalu yang kelam serta penuh upaya balas dendam. Di kota itu, Joseph Chalier, revolusioner ahli hukum yang juga politikus, menduduki posisi penting dalam perjuangan resistansi dan menjaga Lyon yang sangat konservatif.
Pada November 1792, Chalier maju untuk pemilihan Mayor kota Lyon. Tapi ia kalah dari Antoine-Marie Bertrand yang diusung golongan Royalis. Kemenangan dalam pemilihan Mayor Kota membuat penguasa baru dan jajarannya memaksakan penarikan pajak yang tinggi bagi orang-orang kaya untuk membiayai program revolusi. Siapa saja yang melawan diancam dengan hukuman penjara dan pengadilan di Revolutionary Tribunal.
Bagi Chalier, kegagalan menjadi pejabat membuatnya mengalihkan perhatian politik ke kelompok Jacobin--kelompok revolusioner paling berpengaruh di Prancis. Keahlian diplomasi dan hukum dengan cepat mengantarkannya naik menjadi salah satu tokoh penting Jacobin.
Jacobin Club dan Kejatuhan Lyon
Jacobin Club adalah kelompok anti-Royalis yang berdiri tahun 1789 dan pengaruh politiknya cukup menentukan. Crane Brinton, sejarawan Amerika, menyatakan perlunya memahami aspek religiusitas di dalam tubuh Jacobin untuk mengerti alasan-alasan mereka dalam setiap keputusan besar.
“Bagi orang-orang religius di dalam kelompok Jacobin, segala praktik ritual agama bukanlah praktik yang tidak masuk akal melainkan sebuah kenyataan yang tidak terhindarkan seperti cuaca,” tulisnya dalam A Decade of Revolution 1789-1799 (1934:159).
Jacobin bukan kelompok religius dalam konsepsi Katolik dan menolak Ateisme. Mereka membangun sebuah sekte baru yang menjunjung tinggi logika dan akal sehat. Belakangan, Jacobin mengadopsi konsep Deisme--meyakini Tuhan tidak berwujud dan hanya menciptakan alam semesta tanpa campur tangan lebih dalam kehidupan manusia--yang ditawarkan oleh Robespierre untuk mengganti agama Katolik.
Di masa teror akhir abad ke-18, mayoritas anggota Jacobin menunjukkan temperamen teologis yang lekat dengan tradisi Katolik tradisional dengan memandang lawan-lawan politik mereka sebagai orang-orang berdosa. Dengan latar belakang ini, pemerintahan teror diwujudkan oleh para tokoh seperti Robespierre, Saint-Just, Bullaud-Varenne, dan Couthon.
Sebagai salah satu orang kepercayaan kelompok Jacobin, Chalier punya tanggung jawab besar mempertahankan kota Lyon dari ancaman luar. Pada Juli 1793, Robespierre telah bergabung dengan Committee of Public Safety, sebuah kelompok yang diisi 12 orang yang bertindak sebagai komite eksekutif pemerintah. Komite ini menjadi penanda dimulainya sebuah pemerintahan revolusioner baru. Salah satu tugas pertama mereka adalah memberantas pemberontakan di berbagai provinsi dan kantong perlawanan di wilayah-wilayah terpencil.
Sejarawan Prancis George Rude menganggap kelompok 12 orang ini sebagai tim yang kompak dan efektif.
“Mereka punya kompetensi yang baik dan bisa bekerjasama dengan baik. Mereka sama sekali tidak membentuk kelompok partai yang hanya digunakan untuk memaksakan banyak tujuan karena mereka hanya fokus pada agenda revolusi yang sejati,” tulis Rudé dalam Revolutionary Europe 1783-1815 (1974:142)
Kala itu para anggota komite di Paris telah memutuskan untuk menduduki kota-kota di sebelah Selatan agar bisa diatur dari pusat dan memudahkan koordinasi berskala nasional. Untuk keperluan itulah George Couthon, salah satu anggota Committee of Public Safety yang juga kerabat dekat tokoh revolusi penting lain seperti Danton dan dan Saint-Just, diutus Robespierre untuk mendatangi Lyon.
Couthon tiba di Lyon membawa pesan ancaman dari Paris. Ia segera mengumpulkan dewan urusan perang di kota itu. Beberapa perwakilan sempat menyampaikan bahwa penduduk kota sedang mengalami ancaman kelaparan, Maka itu mereka menunggu kabar baik dari Paris untuk mengambil alih perjuangan revolusi secara damai. Namun, kenyataannya upaya damai itu tidak sesuai harapan. Instruksi dari komite di Paris telah disampaikan secara eksplisit: dalam suasana genting menghadapi ancaman pemberontakan di kota-kota di bagian Selatan, Lyon harus segera ditundukkan.
Couthon segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Setelah menguasai keadaan, ia memerintahkan toko-toko untuk buka seperti biasa. Kemudian ia mengeluarkan larangan bagi komite lokal untuk berkumpul agar tidak membuka ruang bagi pemberontakan baru yang bisa muncul kapan saja. Couthon sebenarnya mencoba meminimalisasi hukuman-hukuman yang tidak perlu, dan menjalankan agenda nasional dengan mengembalikan Lyon sebagai basis kekuatan ekonomi Prancis.
Di sisi lain, Joseph Chalier mengorganisasi kantong-kantong gerakan revolusi lain di penjuru kota dan memimpin Jacobin menangkap sejumlah besar Royalis pada tanggal 5 dan 6 Februari 1793. Gerakan ini membuat posisi Chalier berseberangan dengan Marie Bertrand sang Mayor kota Lyon yang mendapat dukungan dari Garda Nasional. Tapi Chalier tidak gentar. Ia justru memerintahkan untuk terus menuntut konvensi agar segera membentuk pengadilan revolusioner dan menempatkan tentara revolusioner berjaga di dalam kota Lyon.
Tuntutan itu ditolak tegas oleh Konvensi Nasional pada 15 Mei 1793. Tensi politik yang memanas berujung pada kekerasan di jalan. Selanjutnya, Jacobin berhasil digulung dan Chalier ditangkap. Pada 15 Juli 1793 ia dibawa ke pengadilan Rhone-et-Loire dan dijatuhi hukuman mati. Sehari kemudian kepalanya dipenggal dengan guillotine.
Kematian Chalier hanya berselisih dua hari dari pembunuhan berdarah Jean Paul Marat di Paris. Jacobin di Paris menempatkan Chalier dan Marat sebagai martir revolusi. Di Lyon, kematian Chalier menandai kejatuhan kota itu dan memuluskan jalan bagi diterapkannya pemerintahan teror ala Paris.
Editor: Irfan Teguh